12 November 2013

INDIE VOOR INDIER : Douwes Dekker

Berayah Eropa beribu Pribumi.

Jika terjadi jaman sekarang, masa depannya sudah jelas, minimal jadi pemain sinetron kejar tayang.

Sayangnya saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda masalah percampuran darah itu menjadi sesuatu yang rumit kalau tidak bisa dibilang tabu.

Adanya klasifikasi sekaligus diskriminasi status berdasarkan keturunan menyebabkan masa depan anak-anak berparas bule namun berkulit pribumi cerah itu menjadi tidak jelas.


Orang-orang berdarah Eropa murni menempati strata tertinggi dalam status kependudukan di Hindia Belanda pada masa itu.  Adapun orang-orang pribumi asli namun yang berasal dari kalangan priyayi tinggi/keluarga kerajaan juga menempati status terhormat.  Sampai batas itulah pendidikan diberlakukan.



Sekolah-sekolah seperti ELS dan HBS hanya diperuntukkan bagi warga Eropa dan putra bangsawan tinggi. Pribumi tanpa darah biru tentu saja tidak dianggap.  Tidak heran banyak pribumi yang mengejar karir di pabrik tebu sebagai juru bayar agar mendapat status priyayi meski rendahan.

Dalam novel Trilogi-nya Pramoedya Ananta Toer melukiskan situasi yang dihadapi oleh Robert Mellema, anak dari Herman Mellema, pemilik perkebunan tebu yang berdarah Belanda asli dengan Sanikem, gundik pribuminya.

Robert yang menyadari bahwa ia hanya berdarah separuh Eropa, mati-matian mengingkari darah pribuminya.  Nasib anak-anak berdarah campuran tersebut benar-benar tergantung ayahnya yang berdarah Eropa.  Derajatnya bisa sama dengan orang Eropa murni jika sang ayah mengakuinya sebagai anak.  Namun sial karena kebanyakan para wanita pribumi semata-mata hanya dijadikan pemuas nafsu sehingga banyak benih-benih indo lahir tanpa diinginkan.

Tidak ada yang salah, jika anak-anak indo tersebut menginginkan status sebagai warga Eropa.

Namun selalu ada penyimpangan dalam segala situasi.  Tidak semua yang berdarah separuh Eropa menginginkan status sebagai orang Eropa sepenuhnya.

Adalah Ernest Francois Douwes Dekker, kelahiran Pasuruan yang berayah Belanda totok dan beribu Jerman-Jawa.  Secuil darah pribumi yang ada di dalam nadinya membuat ia lebih merasa pribumi dibanding Eropa.  Tanah Hindia adalah tumpah darahnya bukan Nederland yang berada di seberang lautan.

Tak pelak Ernest memang berstatus Eropa dan berhak atas pendidikan Eropa, walaupun statusnya di bawah orang Eropa murni.  Namun takdir memang aneh. Entah dari pergaulan macam apa Ernest menolak keistimewaan bangsa Eropa atas pribumi, ia tidak menginginkan status ke-Eropaan.  Mungkin saja genetik pemberontak dari Eugene Douwes Dekker, penulis Max Havelaar, adik kakeknya yang dikenalnya sekilas turut memberikan sedikit andil dalam pekertinya.

Para buruh dan kuli di Soember Doeren, perkebunan kopi di daerah Malang menjadi saksi bagaimana jiwa humanis Ernest sebagai pengawas saat itu memperlakukan para pekerja pribumi bertentangan dengan credo pemilik perkebunan. Dan Ernest pun kalah, ia pindah ke pabrik gula Padjarakan, lagi-lagi bertentangan dengan para pembesar pabrik di sana.

Bukan Ernest jika ia menyerah, lagi-lagi jiwa pemberontaknya membawanya berlaga sebagai tentara di Transvaal,  Afrika Selatan. Ia bergabung dengan kaum Boer melawan penjajah Inggris, walau dengan begitu ia harus kehilangan kewarganegaraan Belanda.

Rupanya semangat kaum Boer mendapatkan kemerdekaan mengilhami Ernest untuk menerapkan hal yang sama kepada para pemuda Hindia, tentu bukan dengan angkat senjata.

INDIE VOOR INDIER
Bisa jadi orang indo inilah yang mencetuskan Hindia untuk orang Hindia, kalimat yang sama artinya dengan kemerdekaan. Ia menyusupkan pemikiran tentang kebangsaan Hindia. Mungkin pula Tjipto yang bengal menjadi semakin radikal sejak berkenalan dengan Ernest.

Alih-alih meminta meminta hak lebih sebagai peranakan Eropa ia malah menyerukan agar kaum Indo menjadikan Hindia Belanda sebagai tanah air dan bersama dengan pribumi berjuang demi Hindia.

Ernest menghabiskan 17 tahun hidupnya dalam pengasingan dari Suriname, Afrika Selatan, Kolombo,Belanda sampai penjara dalam negeri.

Sebagai lawan tanding Boedi Oetomo yang menjadi organisasi stagnan, Ernest mendirikan National Indische Partij dengan ide kemerdekaan Hindia. Ide yang bahkan belum terpikirkan oleh para pribumi Hindia pada waktu itu.

Nalurinya sebagai orang pergerakan sekaligus terdidik membuat Ernest sadar bahwa pendidikan amatlah penting bagi pribumi. Ia pun bersiasat dengan menyiapkan tunas-tunas baru melalui Ksatrian Institut di Bandung. Bersama istrinya, Soekarno, Tjipto dan Soewardi Soeryaningrat mereka berjibaku menanamkan harga diri terhadap bocah-bocah pribumi.  Saat sekolah resmi menerapkan ajaran Eropa sebagai lambang supremasi, sekolah ini malah memasukkan unsur-unsur lokal ke dalam kurikulumnya.

Sekolah liar, demikian status Ksatrian Institut di mata pemerintah kolonial. Namun keliaran itu adalah simbol perlawanan terhadap penjajah. Di sekolah itu murid-murid pribumi dikenalkan pertama kalinya dengan sejarah Hindia. 

Di penghujung hidupnya Ernest yang tua renta bahkan masih sempat ditahan Belanda saat Agresi Militer kedua.

Sekali lagi ia membuktikan hasratnya untuk hidup bersama kaum pribumi. Tak sungkan ia melepaskan identitas dasar pertanda keturunan Eropa. Douwes Dekker menjadi Danudirdja Setiaboedi. 

Tahun 1950, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker wafat meninggalkan istri ketiganya Harumi Wanasita.

Darah Ernest adalah darah Hindia, Ia mencintai Hindia bahkan sampai akhir hidupnya.

Sayang, kecintaannya akan tanah Hindia rupanya tidak sempat diwariskan kepada keturunannya. Dari semua anak kandungnya tidak ada satupun yang menetap di Indonesia.

Namun Ernest tetap dikenang sebagai seorang Indo berjiwa pribumi yang berpikiran jauh melampaui jamannya. Ernestlah salah satu penabur benih bagi jiwa-jiwa merdeka.

Ia menjadi salah satu mahaguru pergerakan Indonesia modern.




Tidak ada komentar: