27 Februari 2013

Slamet Muljana dan Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa

Beberapa hari ini saya mengulang-baca sebuah buku klasik karya Profesor Slamet Muljana tentang Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa.

Slamet Muljana mendasarkan tulisannya pada catatan dari Klenteng Sam Po Kong yang dibandingkan dengan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.  Nampaknya Slamet Muljana tidak melihat sendiri catatan-catatan tersebut.  Dalam pengantarnya ia menyebut nama Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan sebagai salah satu referensi.

Adanya catatan atau kronik dari klenteng Sam Po Kong nampaknya tidak dilihat langsung oleh Slamet Muljana, ia mendasarkankannya pada buku Tuanku Rao yang ditulis oleh Ir. Mangaradja. Di buku tersebut Ir. Mangaradja mencantumkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Residen Poortman yang ditugaskan menyelidiki asal usul Raden Patah.

Siapakah Raden Patah tersebut?

Umum telah mengetahui jika Raden Patah berayah Raja Majapahit beribukan putri Cina.  Namun tentu bukan itu yang menjadi satu-satunya pembahasan.

Bahwa Wali Songo merupakan sekumpulan ulama Tionghoa muslim, itulah yang menjadi sumber protes dari berbagai kalangan.

Identitas para anggota Wali Songo pun masih dalam ranah perdebatan.  Ada anggapan bahwa Wali Songo adalah tokoh-tokoh dongeng yang tidak nyata, namun tidak kurang banyak yang meyakini bahwa Wali Songo sungguh-sungguh ada.


Kembali pada penelitian Residen Poortman,
Sayangnya hasil penyelidikan Residen Poortman yang katanya berklasifikasi rahasia diragukan keberadaannya.  Benarkah penyelidikan itu ada? benarkah dokumen-dokumen itu berada di klenteng Sam Po Kong?.

Dennys Lombard, penulis buku Nusa Jawa Silang Budaya bahkan memerlukan datang ke Rijswijk, Belanda untuk menemukan prasaran dari Poortman yang dikatakan berada di museum tersebut.  Namun nihil.

Dokumen-dokumen dari klenteng yang katanya adalah sumber utama dari Prasaran Poortman juga tidak ditemukan.

Namun baru-baru ini seorang novelis sejarah yang sedang berkibar namanya mengaku telah membaca dokumen-dokumen tersebut.

Yang jelas karya klasik Slamet Muljana ini sempat dilarang terbit mengingat Orde Baru begitu phobia dengan hal-hal yang berbau Cina, tanpa menyelidiki lebih dahulu kebenarannya.

Di sisi lain memang agama Islam sejarahnya tidak dapat dilepaskan dari peran para pendatang asal Tiongkok, terlepas dari benar atau tidaknya analisa dari Slamet Muljana tersebut.  Walaupun kini kita membutakan diri dari sejarah dan lebih senang mengafiliasikan diri dengan dunia Arab.

Slamet Muljana menyebut nama Njoo Lay Wa sebagai Raja Majapahit yang diangkat oleh Panembahan Jin Bun atau Raden Patah.  Njoo Lay Wa memang orang Tionghoa asli beragama  Islam yang diangkat menjadi Raja menggantikan Kertabhumi yang tak lain ayah dari Raden Patah.  Kertabhumi yang mungkin kita kenal sebagai Prabu Brawijaya.

Pengangkatan Njoo Lay Wa sebagai raja Majapahit tak pelak menimbulkan kemarahan dan rasa terhina dari para bangsawan.  Tentu saja mengingat moyang mereka Prabu Kertanegara dan Raden Wijaya mati-matian mengusir balatentara Tar-Tar dari tanah Tarik dan sekarang mereka terpaksa tunduk kepada musuh yang dulu mereka usir.

Yang pernah membaca karya Agus Sunyoto tentang Syaikh Siti Jenar pasti akan banyak mendapatkan banyaknya nama muslim Tionghoa yang berperan dalam awal pendirian Kesultanan Cirebon, dan kebetulan bersamaan dengan suramnya kejayaan Majapahit akhir.

Namun dalam 7 jilid buku tersebut, Agus Sunyoto yang bersandar pada babad Cirebon tidak pernah menyebut nama Njoo Lay Wa sebagai raja Majapahit.

Hal yang menarik lainnya adalah dalam buku Slamet Muljana, secara eksplisit kalau boleh saya sebutkan, keruntuhan kerajaan Majapahit adalah akibat penggerogotan kekuasaan dari kaum Cina muslim yang dipimpin oleh Raden Patah; juga disebutkan sejumlah kaum ulama Cina (dalam buku ini disebutkan bahwa Wali Songo merupakan keturunan Cina) yang mengambil peran aktif dalam pemerintahan.

Terlepas dari adanya stigma negatif dari salah satu pihak terhadap perkembangan Islam pada masa suram Majapahit ada banyak hal yang patut menjadi catatan tentang biasnya penyebab keruntuhan kerajaan Hindu Budha.  Namun sedikit banyak saya setuju pada penggambaran dalam novel Agus Sunyoto, bahwa ambruknya suatu peradaban disebabkan oleh menurunnya kualitas pemimpin dalam hal ini Raja yang tidak berpandangan jauh ke depan dalam menyambut jaman dan para pemimpin keagamaan yang semakin jauh dari mumpuni.

Masuknya Portugis dengan budaya barat yang lebih modern dan agresif serta semboyan Gold, Glory and Gospel turut mempercepat pelapukan tatanan Hindu Budha yang ratusan tahun dianut oleh penduduk Jawa.

Slamet Muljana telah mengawali kemungkinan pembacaan ulang terhadap sejarah, benar atau tidaknya biarlah menjadi kewajiban para ahli untuk menjawabnya.



Tidak ada komentar: