12 Juni 2011

Kearifan Lokal

Semakin banyak saya membaca informasi tentang kepercayaan lokal suku suku di Indonesia semakin yakin jika kearifan lokal itu merupakan manifestasi kepercayaan kepada Tuhan.

Di Indonesia ini diakui 5 agama sebagai agama resmi, jika ada yang masih menganut kepercayaan lama, ia harus memilih 1 dari 5 agama tersebut dan meninggalkan apa yang diyakininya

Saya semakin ragu, apa di luar pemeluk ke 5 agama tersebut adalah sesuatu yang buruk.  Apa yang membuat kita dengan sewenang wenang berani mengklaim ke 5 agama itu adalah yang paling benar.  Apa karena jumlah umatnya?

Hari ini saya membaca tentang epik kuno Bugis - Ila Galigo yang telah diakui oleh PBB sebagai ingatan dunia.  Epik ini bahkan lebih panjang dari Mahabharata.

Pembacaan epik ini tidak bisa dilepas dari sosok Bissu atau pendeta dalam agama kuno yang dianut oleh orang Bugis. 

Sosok Bissu ini uniknya adalah selalu seorang waria, waria yang dipercaya untuk berhubungan dengan dewata.  Bissu ini tidak boleh berhubungan sex selama hidupnya, mirip dengan selibat Pastur.

Sangat unik, apabila waria di kehidupan modern selalu ditertawakan dan dianggap cacat, dalam kebudayaan masyarakat Bugis, ada waria yang merupakan penjaga adat dan budaya.

Jika agama lokal dengan bijaksana mengajarkan harkat dan kedudukan manusia yang sederajat, apa yang membuat kedudukan agama ini lebih rendah dari 5 agama resmi?

Kenapa kita selalu menggembar gemborkan agama yang kita anut merupakan satu satunya jalan kebenaran sehingga tidak ada tempat bagi orang yang berbeda dari kita.

Tidak ada komentar: