15 Mei 2011

Kapitalis dan Bisnis Sosial

Ketika para analis mengatakan bahwa dunia bergerak ke arah dimana manusia semakin terkunci dalam sekat sekat teknologi, dimana proses interaksi secara langsung tidak dibutuhkan dan semua waktu dan tempat akan terhubung secara online, semua mungkin saja terjadi. Apalagi jika membaca “The Next 50 years” – nya Richard Watson. Secara gamblang dipaparkan kehadiran robot yang hampir menyamai fungsi manusia. Saat content berita bukan lagi berasal dari pemilik media dan para ahli namun justru dari konsumen. Atau mungkin dalam rekayasa genetika, DNA yang sekarang dianggap sebagai takdir, nantinya bisa diotak atik supaya bermunculan DNA DNA super. Rasanya di masa itu empati dan simpati akan menghilang dari memori manusia.

Namun rasanya buku itu hanya melihat dari sisi modernitas semata sementara manusia adalah manusia, sosok ciptaan unik yang memiliki sentuhan emosi . Walaupun manusia hidup dalam globalisasi dan kapitalisme yang semakin menggila, Selalu ada sisi sisi kemanusiaan yang menyeruak dan tidak bisa dibendung oleh kekuatan massive modal dan teknologi.

Di tengah hiruk pikuk perebutan modal dan penguasaan sumber daya alam oleh korporasi besar, ada sesuatu yang menarik tumbuh dari sisi manusia. Sebuah bisnis yang bertumpu pada niat untuk memberikan kesempatan pada kaum marjinal.

Saat ini kata kata CSR – Corporate Social Responsibility adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh perusahaan berskala nasional. Banyak yang mengidentikan CSR dengan yayasan yang semata semata melakukan pekerjaan bersifat sosial, dengan dana berasal dari donasi semata.

Namun jika membaca buku Muhammad Yunus tentang bisnis sosial, pendekatan yang dilakukan menggunakan semua analisis bisnis yang berlaku. Bisnis sosial bukanlah yayasan yang menerima sumbangan, tapi ia harus bekerja menghidupi dirinya sendiri. Keuntungan yang didapat digunakan untuk pengembangan bisnis untuk keperluan sosial. Staff yang bekerja dalam bisnis ini dibayar layaknya professional bahkan mereka mendapat keuntungan ganda, gaji dan kesejahteraan yang memadai serta kebahagiaan membantu orang lain. Yunus sudah memulainya saat Grameen memutuskan bekerja sama dengan Danone untuk menjual yoghurt khusus bagi warga kekurangan gizi di Bangladesh.

Edisi SWA yang terakhir juga khusus membahas fenomena bisnis sosial ini. Tercatat pemilik korporasi dunia seperti Bill Gates yang khusus terjun mengurusi bisnis sosialnya. Di Indonesia ada Putra Sampoerna Foundation, Budha Tzu Ci dan lain lain.

Menjadi suatu trend yang menarik, di satu sisi kapitalisme terus tumbuh seperti cendawan musim hujan, namun di satu sisi dan di satu titik tertentu para pemilik modal berusaha mengembalikan apa yang dihisapnya kepada masyarakat. Tentu ini bisa saja dibantah oleh para penentang ekonomi kapitalis.

Ternyata menjadi kapitalis bukan berarti bisa dengan mudah kehilangan kemanusiaan. Mungkin juga the next 50 years, tidaklah seseram seperti yang diramalkan oleh Richard Watson… Who knows?

Coretan di ZOE, sabtu sore.

Tidak ada komentar: