26 September 2009

Mudiknya Orang Indonesia

Mudik.....sebagai warga muslim Indonesia tentu sudah sangat akrab dengan kata itu. Bisa dibilang mudik selalu berkorelasi dengan Lebaran. Di saat hari raya itulah puluhan bahkan mungkin ratusan ribu warga berduyun duyun kembali ke tanah leluhur, kembali ke asal sebagaimana fitrahnya sebagai manusia yang kelak kembali kepada pencipta-Nya.

Mengharukan melihat ribuan manusia yang kebanyakan sedang berpuasa itu serentak melakukan perjalanan panjang yang sering tersendat di tengah teriknya surya. Demi mereguk kembali kesegaran dan kebersihan spiritual di tempat asal. Di tanah leluhur itulah mereka me-recharge batin sebagai bekal menghadapi kembali siksaan rohani di tanah asing Jakarta.

Mudik memang milik Indonesia, sebuah kultur unik yang tidak akan ditemui di tanah Arab sebagai asal Islam. Sebuah kebudayaan yang nyaris menjadi ibadah wajib setelah sholat Ied dan zakat fitrah.

Mudik juga bisa berubah dari merekatkan tali silaturahim menjadi ajang pemanjaan nafsu komsumtif hasil didikan kota besar namun juga merupakan penggerak putaran ekonomi yang luar biasa bagi kampung halaman. Kuatnya panggilan untuk mudik bisa dilihat dari moda transportasi yang digunakan, bukan hal yang aneh perjalanan ke pelosok Jawa yang memakan waktu lebih dari 10 jam dilakukan oleh ayah ibu bersama 2 anak dengan motor, bahkan kadang ditambah dengan tas berisi pakaian yang diletakkan di belakang dengan bantuan sambungan bambu. Tidak jarang 10 orang mudik bersama dengan menggunakan mobil pick up terbuka yang hanya ditutupi terpal. Semua hanya demi bersilahturahmi dengan kerabat di kampung halaman.

Memang moment pulang kampung juga dikenal di negara barat seperti saat Thanksgiving atau Christmas hanya mungkin tidak sefenomenal di negara kita ini. Di Amerika misalnya kota kota termuka tidak hanya Washington sebagai ibu kota tapi juga ada LA, California, Ohio, Chicago, Seatle, Miami dan kota kota modern lainnya dimana penduduk negara adikuasa tersebut tidak perlu tumplek blek hanya di ibu kota untuk belajar atau mencari nafkah. Hal itu ditambah dengan infrastruktur antar kota bahkan negara bagian yang sangat baik.

Sekarang bandingkan dengan Indonesia, Jawa dengan Jakarta sebagai pusat dari segala pusat kegiatan baik ekonomi, pendidikan, pemerintahan dan bahkan juga kemaksiatan. Jakarta adalah tempat ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia dari berbagai pulau untuk tinggal, mencari nafkah dan juga menuntut ilmu. Kota kota seperti Surabaya, Bandung, Yogyakarta masih berfungsi hanya sebagai penyangga. Apalagi kota kota di luar jawa, SDM mereka tersedot ke jawa sehingga perkembangan kota mereka sendiri mandeg.

Jakarta yang hanya setitik kecil di peta Indonesia ternyata harus menampung para manusia dari pulau yang bahkan lebih besar dari Jawa; tidak heran infrastruktur di Jawa tidak pernah mampu mengejar angka urbanisasi yang mengikuti deret ukur. Saat kaum urban serentak bergerak saat itu pula kemacetan luar biasa melanda jawa. Bukankah fantastis keterlaluannya jika Jakarta-Yogya harus ditempuh selama 30 jam perjalanan darat, melebihi lamanya perjalanan Jakarta-Paris dengan pesawat.

Selama pemerintah Indonesia masih tetap mengikuti gaya VOC yang menempatkan Jawa sebagai sentra model pembangunan selama itu pulalah kesemrawutan akan terus berlangsung.

Mudik adalah suatu keindahan spiritual, alangkah dahsyatnya kekuatan mudik apabila pemerintah meninjau kembali kebijaksanaan pembangunan kota kota di jawa dan non jawa. Jangan sampai kota kota itu menjadi seragam karena para pemudik hanya mengenal satu kebudayaan. Kebudayaan Jakarta.


17 September 2009

Antara Noordin dan Munir

Wajah Kapolri Bambang Hendarso Danuri berseri seri, betapa tidak karena bintangnya seakan makin moncer belakangan ini. Kabar terbaru anak buahnya berhasil membunuh Noordin M. Top, teroris paling top se Asia. Tuntas juga akhirnya perburuan jaringan teroris yang memakan waktu bertahun tahun. Perburuan yang nyaris serupa dengan reality show.

Keberhasilan yang disambut gempita saat konferensi Pers karena bagaimanapun perang melawan terorisme adalah jargon yang paling populer saat ini.

Masih ingat tayangan bom Bali dan Marriot 2 dimana para korban yang umumnya orang asing bergelimpangan.

Anggaplah saya rasis, namun tidak bisa tidak ada sesuatu yang menggelitik syaraf usil saya. Apakah harus bule yang jadi korban baru polisi kita jor jor-an memburu para pelaku.

Bagaimana dengan kejahatan lain seperti misteri pembunuhan Munir misalnya, tampaknya polisi bermalas malasan dalam mengungkap pelakunya. Belum lagi kasus hilangnya Wiji Thukul.

Justru dalam bidang kejahatan kemanusiaan, Polisi tampak abai dengan kasus 2 pendekar hak asasi manusia itu.

Bagi saya pribadi pemecahan pembunuhan dua orang penerima penghargaan Yap Thiam Hien award tersebut lebih berharga dibanding pengejaran 100 orang Noordin M. Top. Kematian dua orang yang sangat menghargai kehidupan sangat menyakitkan dibandingkan kelakuan Noordin M. Top yang menghargai murah nyawa manusia. Satu Noordin mati masih ada Noordin lain, namun belum tentu ada pengganti Munir.

Kelakuan Noordin memang menjijikkan menebar teror sekaligus benih keturunan dimana mana, tapi yang paling mengecewakan nampaknya media terpancing untuk mengekspos habis habisan dan polisi akhirnya menjadi banci tampil.

Tampak luar kejahatan telah ditumpas tapi sebenarnya kejahatan dalam bentuk lain telah lahir. Pengkhianatan terhadap rasa kemanusiaan dan keadilan. Aib yang jelas terlihat tapi tidak dirasakan.

Betapa tragisnya, nyawa Munir dan Wiji Thukul seperti tidak ada apa apanya dibanding nyawa bule bule tersebut. Kematian mereka tetap tersembunyi rapat tanpa niatan untuk menguaknya.

14 September 2009

A Short Note for Hatta

Beberapa hari ini ada sesuatu yang terasa mengganjal di hati saya.

Bermula dari membaca tulisan seseorang tentang Mohamad Hatta. Yang menyengat adalah pernyataan orang itu bahwa orang orang seperti Soekarno dan Hatta bukanlah pahlawan tapi hanyalah pendukung pilar sekularisme.

Terus terang saya luar biasa geram, orang yang tinggal menikmati hasil perjuangan para bapak bangsa tersebut dengan enaknya melemparkan tuduhan keji seperti itu.

Terutama terhadap Hatta, siapa yang meragukan kebersihan hati seorang Hatta. Seorang Buya Hamka saja mengakui pemikiran beliau dengan memuat tulisannya di Panji Masyarakat, Majalah yang dipimpin oleh Hamka.

Hatta telah berjuang sejak belia untuk Indonesia. Sebagai ketua Partai PNI Baru ia membangun jaringan diantara kaum pelajar dan menggalang persatuan. Melalui pidatonya "Indonesia Vrij" ia terang terangan menggugat penjajahan Belanda atas Indonesia. Bertahun tahun ia menjalani pembuangan di Banda Neira bersama Tjipto Mangunkoesoemo seorang tokoh Indische Partij.

Siapa pun mengakui bahwa Hatta adalah seseorang yang selalu sesuai antara pernyataan dan tindakannya; seorang zuhud yang tidak silau dengan jabatan. Ia justru mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden saat merasa tidak sesuai dengan tindakan Bung Karno yang merubah tatanan pemerintahan menjadi demokrasi terpimpin yang sentralistis.

Melalui tulisan "Demokrasi Kita" yang dimuat di majalah Panji Masyarakat, ia mengeritik pelaku demokrasi, para pemimpin partai yang mengejar jabatan dalam kabinet. Memang dalam demokrasi multipartai saat itu terdapat perselisihan yang menyebabkan kabinet bolak balik mengalami pergantian sehingga banyak program pembangunan yang terbengkalai. Tapi sekali lagi Hatta membedakan antara pelaku demokrasi dengan sistem demokrasi itu sendiri.

Jauh sebelum marak sebutan ekonomi kerakyatan yang kini digembar gemborkan oleh para pahlawan kesiangan itu, Hatta telah merancang sistem perekonomian berbasis kerakyatan seperti Koperasi.

Hatta memang menghapuskan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang kini dipermasalahkan orang orang picik tersebut yaitu "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" namun sebenarnya itu tidak menghilangkan esensi kewajiban sebagai seorang pemeluk agama. Hatta adalah muslim yang sesungguhnya.

Ia melakukan itu demi persatuan bangsa Indonesia karena menyadari negara ini dibangun atas pengorbanan anak negeri yang berasal dari multi agama. Bahwa tidak perlu penulisan formal terhadap suatu agama, yang penting adalah penerapan ajaran agama terhadap diri pribadi.

Bahkan Quraish Shihab juga menegaskan untuk memilih pemimpin yang benar benar menerapkan ajaran agama yang dianutnya apapun agama tersebut karena menurut beliau agama apapun pasti mengajarkan kebaikan.

Tulisan saya kali ini merupakan penghormatan saya terhadap Mohamad Hatta sebagai seorang bapak bangsa sekaligus sebagai seorang muslim.

06 September 2009

Setetes Nasionalisme

Siang itu matahari bersinar terik, 2 anak perempuan berseragam SMP terlihat berjalan sambil mengobrol. Obrolan berkisar pada dunia remaja seperti musik dan artis.

"Selera elo rendah!" kata si gadis yang satu kepada temannya seorang anak perempuan bertubuh kurus seperti lidi.

Si kurus terhenyak, tanpa segan ia memamerkan wajah sebalnya. "Ngapain sih elo suka sama lagu lagu Indonesia?" serang temannya sekali lagi. "Emang kenapa?" tanya si kurus tandas.,,,,"Kampungan, tahu!!" balas temannya lagi.

Kali ini anak kurus itu tidak berkata kata kecuali terdiam,,,,

Penggalan dialog puluhan tahun silam itu tiba tiba terngiang lagi saat sedang ramainya klaim budaya Indonesia oleh Malaysia.

Anak kurus yang kini telah dewasa itu hanya bisa tersenyum sinis mendengar orang orang yang terbiasa menari balet dan salsa, menyukai musik Jazz tiba tiba ikut berteriak saat reog Ponorogo dan tari pendet dicolong oleh Malaysia. Orang orang yang selalu bangga bila cas cis cus dalam bahasa Inggris kini seperti kebakaran jenggot.

Tiba tiba rasa bangga akan budaya dan bahasa Indonesia demikian meruak.

Ia hanya bisa mengurut dada, Ia produk masa kini tapi tak pernah bisa lebur dengan kekinian. Ia mencintai segala sesuatu yang kuno dan usang yang berasal dari negerinya. Seperti lagu lagu Ismail Marzuki yang diciptakan jauh sebelum ia lahir, film film jadul seperti Gita Cinta dari SMA. File file sejarah yang dilupakan orang tapi justru terlihat sexy di matanya.
Ia benci Jazz, musik barat yang menampilkan nada nada setengah dan selalu tanggung itu serta selalu heran kenapa jika Java Jazz bisa diadakan setahun sekali dengan gegap gempita tapi tidak ada dana untuk event musik tradisional yang dipadukan dengan musik pop Indonesia misalnya.
Ia mengagumi bahasa bahasa etnis kepulauan dan selalu menunggu nunggu karya iklan rokok yang menampilkan budaya Indonesia.

Benar ia pernah menyukai boys band luar negeri seperti Boyzone, Backstreetboys tapi itu tidak menghilangkan kesukaannya akan pemusik pemusik lokal seperti Chrisye, Kahitna, Gigi dan sederet group musik pada masa itu. Ia justru bertepuk tangan keras keras saat melihat konser Chrisye yang menampilkan Waljinah.

Kali ini ia menggeleng geleng, sesuatu yang dianggap kampungan di masa lalu kini menjadi trend. Trend nasionalisme.

03 September 2009

Farag Fouda - kebenaran Yang Hilang

Baru baru ini saya membaca buku karangan Farag Fouda, seorang intelektual Mesir. Sebelumnya saya belum pernah mendengar nama tersebut, namun setelah research singkat di Google ternyata nama ini cukup menghebohkan di kalangan agamawan. Buku ini direferensikan oleh beberapa orang seperti Goenawan Mohamad dan Ahmad Syafii Maarif tapi dihujat oleh beberapa kelompok Muslim yang lain.

Al Khulafa Al Rasyidun atau 4 khalifah pertama setelah Nabi Muhammad SAW adalah orang orang yang sangat dihormati di dunia Islam, dan jaman mereka dianggap sebagai jaman keemasan tapi dengan gamblang Fouda menuliskan kematian Khalifah ketiga Usman bin Affan yang tragis akibat dibunuh sesama muslim dimana jenazahnya bahkan sempat ditolak untuk dimakamkan di pemakaman Muslim. Hal ini sudah tentu menyulut kemarahan dunia Islam. Banyak hujatan terhadap Fouda karena apa yang dituliskan dianggap tidak berasal dari sumber yang sahih.

Jaman 4 Khalifah itupun menurut Fouda hanyalah jaman biasa saja bahkan penuh dengan peperangan diantara kaum muslimin yang merupakan para sahabat Nabi.

Saya pernah menulis bahwa jaman setelah keempat Khalifah tersebut tak lebih dari jaman dinasti turun temurun dimana para khalifah jatuh pada hedonisme. Namun Fouda dengan lebih rinci menguraikan Khalifah Yazid yang mempunyai ribuan gundik, Al Walid yang seorang homoseksual dan hobby membidik Al Qur'an dengan panahnya. Atau pendiri dinasti Abbasiyah yang dijuluki Al Saffah alias si penjagal. Keadaan yang sungguh membuat saya tercengang.

Tapi Fouda juga mengungkapkan dengan hedonisme tersebut justru dunia pengetahuan jaman dinasti Abbasiyah berkembang cemerlang. Bahwa pemimpin di bidang agama dan politik atau negarawan memang harus dibedakan. Mungkin Muhammad SAW memang dianugerahi kemampuan sebagai pemuka agama sekaligus pemimpin politik namun hal ini tidak berlaku terhadap pemimpin sesudahnya. Hal ini memang menimbulkan kebingungan jika orang mencampuradukkan antara kedudukan Khalifah sebagai pemimpin negara sekaligus pemuka agama. Karena hampir tidak ada satupun Khalifah baik dari dinasti Abbasiyah maupun Umayyah yang benar benar taat pada hukum hukum Islam.

Tiba tiba saya teringat kepada jaman Amangkurat 1 yang kabarnya telah membantai ribuan ulama justru dengan kedudukannya sebagai Sayyidin Panotogomo Khalifatulah tanah Jawi. Terasa sekali persamaannya.

Saya pribadi kurang menguasai sejarah Islam dan sama sekali tidak menguasai ilmu hadis. Apa yang saya baca dari berbagai buku termasuk dari Farag Fouda ini saya anggap sebagai alternatif pembelajaran. Tapi jika saja Fouda menulis ide idenya ini dengan bahasa yang sedikit lebih halus mungkin akibatnya tidak sefatal sehingga harus kehilangan nyawanya.

Latar belakang Fouda sebagai Doktor ekonomi pertanian dan bukan ahli hadis maupun fiqih bisa jadi turut memacu kemarahan dunia Islam di Mesir khususnya.

Saya juga tidak memungkiri jika masa perkembangan awal Islam memang sebrutal itu, tapi ada banyak orang yang tidak ingin romantisme mereka diganggu dengan pemaparan yang tidak sesuai dengan impian. Sejarah memang tidak sakral maka selalu terbuka kemungkinan penemuan fakta fakta yang bisa merubah pandangan terhadap masa lalu walaupun diperlukan perjuangan berat untuk itu.

Sejarah dan tokoh tokoh agama yang serba suci tak tercela memang lebih pantas untuk diperdengarkan sebagai dongeng untuk anak anak. Tidak mungkin menceritakan pembalasan dendam Al Saffah terhadap bani Umayyah dengan membakari mayat mayat mereka kepada anak anak seperti sama tidak mungkinnya bagi umat Kristiani menceritakan kepada anak anak mereka perihal Daud yang merebut Betsyeba dari tangan Uria.

Ada juga terbersit angan angan apakah sejarah Islam yang berdarah darah itu karena sifat bangsa Arab yang getas dan puritan, apakah tidak salah Tuhan menurunkan wahyu di tanah Arab. Mengapa Islam tidak bermula di Indonesia misalnya, bukankah pada abad ke 6 sudah ada kerajaan Hindu Tarumanegara. Islam yang berprinsip egaliter tentu sesuai dengan keadaan Umat Hindu yang berkasta kasta.

Tapi mungkin juga jika Islam diturunkan di Indonesia pertama kali perkembangannya tidak akan seekspansif sekarang. Mengingat watak kita yang cenderung permisif dan halus, sama sekali bukan tipe penyebar agama dan belum mapannya pelayaran antar negara. Lihat saja agama Hindu dan Budha yang telah datang lebih dulu toh tidak membuat para penganutnya di nusantara melanglang ke belahan dunia lain untuk menyebar ajaran itu.

Tentu berbeda dengan bangsa Arab yang agresif sesuai dengan asalnya di daerah gurun serta berjiwa pedagang dan pengembara dimana semua masalah diselesaikan dengan pedang.

Agama ini akhirnya bertemu dengan super soulmatenya yaitu Kristiani yang juga sangat agresif dalam menyebarkan kepercayaannya. Dua agama pedang bertemu saling memperebutkan tempat pertama sekali lagi atas nama Tuhan dan melupakan kedamaian yang merupakan prinsip dasar.

Sekali lagi buku karya Fouda ini tidaklah harus membuat kita membenci sejarah Islam tapi tidak juga harus ditolak mentah mentah. Buku ini adalah sebuah alternatif pemikiran yang coba meneropong masa lalu dengan lebih manusiawi.