19 Desember 2018

Perpustakaan Terbaik di Puncak Bukit

Sekolah di puncak bukit,

SD GMIT Pitungbang



Untuk kali ketiga kaki saya kembali menginjak tanah Alor, satu dari 92 pulau terdepan Indonesia.

Dua kali kunjungan sekedar main-main, kunjungan ketiga lebih serius.

Menjelang jam 12 siang, saya memasuki halaman SD GMIT Pitungbang.  Sekolah ini berada di kampung Otvai, tidak jauh dari kota Kalabahi, ibukota kabupaten Alor namun jalur yang lumayan curam menuju kampung tersebut memang membutuhkan keahlian dalam mengendarai motor.

Baru saja memasuki gerbang sekolah, terdengar sapaan yang membuat saya menoleh, ternyata seorang guru yang biasa dipanggil ibu Wati keluar menyambut dari rumah yang berada di seberang sekolah.

Saat itu saya mengempit kotak kardus berisi beberapa buku.Tidak banyak memang karena dari kumpulan buku pribadi yang kebanyakan bukan bacaan anak.  Ibu Wati menghampiri dan dengan keramahan khas Alor segera mengajak ke ruang guru.

Ternyata di sana sudah ada bapak Jems yang merupakan kepala sekolah.  Langsung kami terlibat obrolan perkenalan.  Dari mereka berdua saya jadi tahu serba sedikit tentang situasi guru-guru asal Alor, masalah guru perbatasan sampai potongan gaji untuk seragam.

Tepat di seberang ruangan ada sebuah bangunan bercat warna-warni meriah.  Di dinding terbaca "Sura Ho Pal I Mate O Samele" yang dalam bahasa Adang berarti "Buku adalah jendela dunia" demikian bapak yang mengantar saya menjelaskan.

Perpustakaan sekolah yang bekerja sama dengan Taman Bacaan Pelangi


Tidak salah lagi itu perpustakaan sekolah yang kerap disebut Taman Bacaan Pelangi Alor karena bekerja sama dengan Taman Bacaan Pelangi yang banyak mendirikan perpustakaan mandiri di wilayah timur Indonesia,.

Hari ini adalah giliran anak kelas VI untuk beraktivitas dalam perpustakaan.  Kemampuan membaca diklasifikasikan dengan beberapa jenis hewan.  Seperti singa untuk yang sudah mahir membaca dan gajah untuk tingkat kemahiran paling tinggi.

Tahun lalu Taman Bacaan Pelangi Alor menjadi pemenang dalam penilaian taman bacaan pusat sehingga dihadiahi renovasi bangunan dan penambahan buku-buku. Pengelolaan buku-buku bacaan juga menjadi hal yang menarik.  Tiap buku yang ada diberikan label sesuai content kesulitan dan kemampuan siswa untuk memahami.  Beberapa buku yang pernah saya kirimkan sebelumnya mendapat label singa.



Yuni, Rosi dan Hul adalah beberapa dari anak kelas VI yang ada di perpustakaan dan bercakap-cakap dengan saya.  Anak-anak berambut dan beralis indah, tebal dan hitam itu memandang heran terhadap rambut saya yang sewarna rambut jagung.  Nama-nama seperti Yuni dan Rosi bukanlah nama asli Alor, masing-masing punya nama asli dalam bahasa Alor dan karena bertempat di kampung Otvai, tempat tinggal suku Adang, dalam hal ini adalah bahasa Adang merupakan rumpun bahasa Alor.



Kampung Otvai yang terletak 600 meter dpl dengan jalur jalan yang menanjak lumayan tajam melewati hutan jati milik Perhutani sebenarnya tidak jauh dari Kalabahi, hanya memang kontur jalan yang lumayan berliku menjadi pr tersendiri bagi yang belum terbiasa. Air menjadi masalah klasik bagi daerah ini.  Dari banyak titik ketinggian akan terlihat pemandangan teluk Mutiara yang kebiruan.

Penduduk desa terbiasa mengambil air dari mata air yang terletak di atas, arah puncak bukit namun jalurnya menurun tajam dan berlumut di beberapa titik untuk mancapai sumber air tersebut.  Yang tidak waspada bisa terjungkal gara-gara menginjak lumut.  Di sekolah saya melihat beberapa anak membawa jerigen-jerigen kecil saat pulang, sepertinya akan mengambil air lebih dahulu sambil menuju rumah masing-masing.

Jagung katema
Anak-anak itu paling senang jika hujan lebat datang karena berarti bak-bak penampungan akan terisi penuh dan mereka tidak perlu jauh-jauh memanggul jerigen air.

Pembicaraan kami terhenti karena lonceng pulang sekolah sudah dipukul kencang.  Anak-anak pulang, saya pun segera berpamitan untuk berkeliling kampung.

Masih ada hari di mana saya kembali ke SD GMIT untuk makan bersama guru-guru.  Kali ini saya mempersenjatai dengan coklat dan permen.  Ternyata sampai di sekolah ada tamu di ruang guru, mas Aris begitu biasanya dipanggil, pria asal kota Solo yang sudah lama merantau, berkeliling dari Timor timur, Kupang, Larantuka dan akhirnya tinggal di Alor.  Mas Aris ini ternyata langganan sekolah-sekolah sekabupaten Alor untuk urusan seragam.  Semua pesanan seragam ternyata dikerjakan di Solo baru kemudian dikirim ke Alor.  Mas Aris menggeleng ketika saya tanya kenapa tidak buka usaha konveksi saja di sini.  Modalnya harus besar,demikian ia menanggapi.  Bahan pakaiannya masih tetap diambil dari Jawa 

Mas Aris, perantau asal Jawa yang berbisnis seragam

Kali ini anak kelas VI tersebut riuh ingin berfoto bareng.  Ternyata bingkisan buku yang saya bawa belum dibuka, sehingga akhirnya dibuka bareng-bareng sambil membagikan coklat dan permen.  Berfoto ramai-ramai menjadi kegiatan kami hari itu.
Setelah segala riuh rendah selesai, ibu Wati mengajak saya ke ruangan lain untuk makan hidangan khas Alor yaitu jagung katema.  Jagung katema itu pipilan jagung yang dimasak dengan kuah bening yang rasanya asam dan dimakan dengan ikan asin dan sambal.



Tidak ada komentar: