15 Februari 2018

Menyambut Multatuli di Rangkasbitung


"Saya hadir di sini mewakili suatu bangsa yang dua kali datang ke sini untuk melakukan pembantaian yaitu di Jatinegara pada tahun 1811 dan di Surabaya, 10 November 1945".  



Demikian narasi Peter Carey, sejarawan Inggris saat berceramah pada pembukaan museum Multatuli di Rangkasbitung, 11 Februari lalu.



Pagi itu kota kecil Rangkasbitung diserbu oleh para penggiat sejarah dan museum dari Jakarta.  Pasalnya, ada perhelatan langka yang dipimpin oleh bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya yaitu pembukaan museum Multatuli yang disebut-sebut sebagai museum anti kolonialisme pertama di Indonesia.

Sambutan meriah yang diberikan oleh para penggiat sejarah memang wajar, mengingat roman Max Havelaar yang ditulis Multatuli nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang berbicara tentang busuknya kelakuan kolonialisme amat sangat populer dan memicu perubahan-perubahan dalam kebijakan pemerintah kolonial di Hindia Belanda puluhan tahun sesudahnya.  Berkat roman Max Havelaar nama Lebak dan Rangkasbitung dikenal, masyarakat Belanda dibukakan matanya mengenai apa yang diperbuat pemerintahnya terhadap rakyat negeri jajahan.


Museum ini menggunakan gedung Wedana yang dibangun tahun 1838.  Terdapat 7 bagian dalam museum.  Ruang pertama langsung terlihat pose khas Multatuli yang terbuat dari kepingan kaca.  Saat beranjak ke ruangan lain terdapat rendaman daun kopi.  Dalam buku Max Havelaar memang disebut tentang kebiasaan rakyat Lebak minum air seduhan daun kopi.

Pengunjung akan diajak menelisik struktur perintah tanam paksa dari Gubernur Jenderal yang menempati hierarki teratas hingga turun ke para penguasa lokal.

Tulisan Multatuli banyak menginspirasi generasi sesudahnya dari Tan Malaka, Kartini, Soekarno sampai Jose Rizal.

Pergolakan Banten, khususnya Lebak dalam melawan tanam paksa dapat dilihat pada ruangan yang memberikan tempat terhadap tokoh-tokoh lokal seperti Nyi Mas Gamparan dan Haji Wasid.



Bonnie Triyana, sejarawan sekaligus inisiator museum ini mengungkapkan langkanya benda yang berhubungan dengan Multatuli yang dipunyai Lebak sehingga mereka bekerja sama dengan Multatuli Genootschap di Belanda untuk mereplika benda-benda tersebut.

Lebak layak dan pantas untuk mempunyai museum seperti museum Multatuli karena berkat pengalaman Douwes Dekker sebagai asisten wedana di tanah Lebaklah Max Havelaar lahir dan dibaca oleh ribuan orang dari berbagai bangsa.  Max Havelaar memicu perdebatan dalam ruang-ruang parlemen dan memacu lahirnya politik etis, walaupun tidak dengan serta merta.

Multatuli dan Max Havelaar memberikan kita kearifan bahwa diskriminasi dan rasisme itu tumbuh dari kolonialisme dan feodalisme.  Bias rasisme inilah menurut Bonnie Triyana yang menempel pada cara pandang sejarah Indonesia dan akhirnya menciptakan masyarakat diskriminatif.



Dengan adanya museum ini hendaknya kita sadar bahwa sudah saatnya Indonesia menulis sejarahnya sendiri dengan tidak mengabaikan kenyataan masa lalu  bagaimana pun pahitnya.  

Semoga dengan belajar dari museum ini kita semua dapat disadarkan bahwa Indonesia adalah rumah bagi semua perbedaan dan justru karena perbedaan inilah kita dapat menggali nilai-nilai positif dari situ dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat manusia.


Note: tulisan ini dimunculkan di http://latarsastra.com/ dengan penyesuaian


Tidak ada komentar: