Ia adalah orang Cina, Kristen dan jujur. Minoritas dalam minoritas.
Saya sesungguhnya amat risih mendengar kalimat-kalimat yang berbau rasis dan tendensius seperti itu. Dengan pernyataan itu pola pikir kita memang diset untuk menganggap mayoritas orang Cina pasti Kristen dan penipu. Lalu siapa yang berani menjamin bahwa pribumi pasti muslim dan jujur
Namun apa boleh buat, rasanya kita memang masih akan tetap terjebak pada model-model praduga seperti itu bila menyangkut ras.
Dalam hal ini, suka atau tidak Yap Thiam Hien memang masuk dalam klasifikasi minoritas ganda seperti di atas.
Lahir di Kutaraja, Aceh Yap memang berasal dari keluarga Tionghoa yang cukup berada namun akhirnya bangkrut sehingga Yap harus membiayai sekolahnya sendiri beserta adik-adiknya, beruntunglah ia mendapat kesempatan menimba ilmu hukum di Leiden untuk kemudian menjadi ahli hukum, Meester in de rechten.
Yap memang bukan orang yang suka ikut arus. Segala sesuatu selalu ia pertimbangkan dari aspek legalitas, bukan sekali dua kali Yap harus berseberangan dengan sejawatnya. Bahkan ia tak jeri berhadapan dengan Presiden Soekarno karena menentang keputusan untuk kembali pada UUD 1945 dan juga konsep demokrasi terpimpin.
UUD 1945 terlalu memberi peluang pada Presiden untuk menjadi one man show dan bisa disalahgunakan guna membatasi hak berbicara dan menulis warga untuk berpendapat demikian menurut pandangan Yap.
Kenekatan Yap tentu saja menakutkan bagi rekan-rekannya di Baperki yang condong mendukung bulat-bulat kemauan sang Presiden. Bukan cuma soal UUD yang bikin Yap geram, penahanan terhadap Natsir, Roem dan Syahrir membuatnya meradang sehingga menantang Soekarno lewat tulisan surat kabar.
Dituding membahayakan organisasi, beberapa anggota meminta Yap keluar dari Baperki.
Biarpun berseberangan dalam hal pendirian, antara Yap dan ketua Baperki, Siauw Giok Tjhan tetap saling menghormati.
Saat santernya didengungkan kebijakan asimilasi bagi warga keturunan Tionghoa, Yap menanggapinya dengan kritis. Anjuran pergantian nama dan kawin campur dianggap Yap sebagai pengebirian terhadap hak asasi warga. Kenapa hanya Tionghoa sedangkan keturunan Arab dan Eropa tidak dibatasi dengan peraturan yang sama. Soal nama hanyalah bentuk luar, yang terpenting adalah sikap dan kontribusi bagi Indonesia, demikian Yap berpendapat. Minoritas memang bukan semata soal jumlah tapi juga peraturan.
Polemik panjang soal asimilasi dan pergantian nama antara Yap versus pendukung asimilasi sempat menghiasi Star Weekly, surat kabar pada masa itu, dan teredam saat koran itu dibredel pada pertengahan tahun 1960.
Kegandrungannya pada keadilan membuat Yap tidak pilih bulu dalam menerima klien, siapapun yang tertindas, tukang kecap, pedagang kecil sampai tersangka kelas berat yang dituduh hendak menggulingkan pemerintahan tidak menyurutkan langkahnya bersuara lantang di pengadilan. Tak cuma kerap mengaum di pengadilan, terhadap kliennya pun Yap tak kalah keras. Yap selalu menekankan jika ingin menang jangan menyewanya sebagai pembela, tapi bila ingin mencari keadilan walaupun kalah nantinya, Yap selalu bersedia dengan catatan sang klien bersikap jujur. Tentu saja credo Yap tidak laku bagi yang menginginkan menang di pengadilan Menurut mantan asistennya, kasus-kasus yang mampir di tangan Yap adalah kasus stadium IV.
Tak heran jika Yap kerap bolak balik ditahan. Hariman Siregar, seorang tokoh utama Malari mengenang bagaimana dukungan Yap terhadap para mahasiswa membuatnya diangkut ke penjara militer selama beberapa bulan, saat peristiwa Malari terjadi. Istrinya, Khing Nio bahkan sudah menyiapkan diri jika terjadi sesuatu dengan Yap, mengingat suaminya selalu berhadapan dengan kasus gawat yang kerap melibatkan penguasa.
Pengacara senior Adnan Buyung Nasution pun pernah merasakan bagaimana gawatnya berhadapan dengan Yap Thiam Hien saat Buyung mewakili kliennya, sebuah perusahaan kosmetik Jepang, Tancho yang bersengketa dengan pengusaha Indonesia dalam ihwal merk, Yap menjadi pembela pengusaha Indonesia.
Saat advokat lain tidak berani mengambil kasus yang berlawanan dengan pemerintah, Yap justru menerimanya, dibayar ataupun tidak.
Yang paling membuat orang tersentak tentu saja kesediaannya membela Soebandrio, mantan wakil Perdana Menteri yang dituduh terlibat G30S. Yap memang anti komunis, tapi melihat ketidakberesan penanganan kasus orang-orang yang dituduh terlibat membuatnya menerima permintaan keluarga Soebandrio untuk menjadi pembela.
Bukan itu saja, sebagai orang Cina Yap bahkan bersedia membela orang yang anti Cina. Ialah Rachmat Basuki yang didakwa sebagai otak peledakan bank BCA dan pusat pertokoan Glodok tahun 1984. Dari tuntutan seumur hidup dari Jaksa penuntut, pembelaan Yap berhasil mengurangi masa hukuman menjadi 17 tahun.
Rachmat Basuki, mantan karyawan BNI yang juga menulis soal sepak terjang Hoakiau di Indonesia, akhirnya mengakui,
"tak semua keturunan Tionghoa merugikan, salah satunya adalah Yap Thiam Hien yang berani menegakkan keadilan hukum di Indonesia, kepadanya tidaklah layak disebut Hoakiau tapi saudara sebangsa dan setanah air".
Di balik kenaifannya memandang hukum dan peradilan, Yap menyadari bahwa sengkarut sistem peradilan di Indonesia membuat yang miskin tak berdaya, atas dasar itulah ia memprakarsai berdirinya LBH di tahun 1970 bersama beberapa orang teman termasuk Ali Moertopo.
Yap memang kerap kalah dalam pengadilan sebab ia bukan membela untuk menang melainkan untuk keadilan dan kemanusiaan.
Tahun 1989, singa pengadilan itu pun berpulang saat sedang menghadiri konferensi di Ysermonde, Belgia. Ribuan orang mengiringi pemakaman Yap di Tanah Kusir.
Sekarang nama Yap Thiam Hien lebih dikenal sebagai award untuk para pembela hak asasi manusia. Tentu saja kita dari generasi sekarang kurang atau bahkan tidak mengenal siapa lelaki cina ini. Namun bagi para aktivis dan orang-orang klandestin, nama ini ibarat pelita, kecil namun selalu ajeg menerangi jalan-jalan temaram para pembela keadilan dan hak asasi manusia.
Saya sesungguhnya amat risih mendengar kalimat-kalimat yang berbau rasis dan tendensius seperti itu. Dengan pernyataan itu pola pikir kita memang diset untuk menganggap mayoritas orang Cina pasti Kristen dan penipu. Lalu siapa yang berani menjamin bahwa pribumi pasti muslim dan jujur
Namun apa boleh buat, rasanya kita memang masih akan tetap terjebak pada model-model praduga seperti itu bila menyangkut ras.
Dalam hal ini, suka atau tidak Yap Thiam Hien memang masuk dalam klasifikasi minoritas ganda seperti di atas.
Lahir di Kutaraja, Aceh Yap memang berasal dari keluarga Tionghoa yang cukup berada namun akhirnya bangkrut sehingga Yap harus membiayai sekolahnya sendiri beserta adik-adiknya, beruntunglah ia mendapat kesempatan menimba ilmu hukum di Leiden untuk kemudian menjadi ahli hukum, Meester in de rechten.
Yap memang bukan orang yang suka ikut arus. Segala sesuatu selalu ia pertimbangkan dari aspek legalitas, bukan sekali dua kali Yap harus berseberangan dengan sejawatnya. Bahkan ia tak jeri berhadapan dengan Presiden Soekarno karena menentang keputusan untuk kembali pada UUD 1945 dan juga konsep demokrasi terpimpin.
UUD 1945 terlalu memberi peluang pada Presiden untuk menjadi one man show dan bisa disalahgunakan guna membatasi hak berbicara dan menulis warga untuk berpendapat demikian menurut pandangan Yap.
Kenekatan Yap tentu saja menakutkan bagi rekan-rekannya di Baperki yang condong mendukung bulat-bulat kemauan sang Presiden. Bukan cuma soal UUD yang bikin Yap geram, penahanan terhadap Natsir, Roem dan Syahrir membuatnya meradang sehingga menantang Soekarno lewat tulisan surat kabar.
Dituding membahayakan organisasi, beberapa anggota meminta Yap keluar dari Baperki.
Biarpun berseberangan dalam hal pendirian, antara Yap dan ketua Baperki, Siauw Giok Tjhan tetap saling menghormati.
Saat santernya didengungkan kebijakan asimilasi bagi warga keturunan Tionghoa, Yap menanggapinya dengan kritis. Anjuran pergantian nama dan kawin campur dianggap Yap sebagai pengebirian terhadap hak asasi warga. Kenapa hanya Tionghoa sedangkan keturunan Arab dan Eropa tidak dibatasi dengan peraturan yang sama. Soal nama hanyalah bentuk luar, yang terpenting adalah sikap dan kontribusi bagi Indonesia, demikian Yap berpendapat. Minoritas memang bukan semata soal jumlah tapi juga peraturan.
Polemik panjang soal asimilasi dan pergantian nama antara Yap versus pendukung asimilasi sempat menghiasi Star Weekly, surat kabar pada masa itu, dan teredam saat koran itu dibredel pada pertengahan tahun 1960.
Kegandrungannya pada keadilan membuat Yap tidak pilih bulu dalam menerima klien, siapapun yang tertindas, tukang kecap, pedagang kecil sampai tersangka kelas berat yang dituduh hendak menggulingkan pemerintahan tidak menyurutkan langkahnya bersuara lantang di pengadilan. Tak cuma kerap mengaum di pengadilan, terhadap kliennya pun Yap tak kalah keras. Yap selalu menekankan jika ingin menang jangan menyewanya sebagai pembela, tapi bila ingin mencari keadilan walaupun kalah nantinya, Yap selalu bersedia dengan catatan sang klien bersikap jujur. Tentu saja credo Yap tidak laku bagi yang menginginkan menang di pengadilan Menurut mantan asistennya, kasus-kasus yang mampir di tangan Yap adalah kasus stadium IV.
Tak heran jika Yap kerap bolak balik ditahan. Hariman Siregar, seorang tokoh utama Malari mengenang bagaimana dukungan Yap terhadap para mahasiswa membuatnya diangkut ke penjara militer selama beberapa bulan, saat peristiwa Malari terjadi. Istrinya, Khing Nio bahkan sudah menyiapkan diri jika terjadi sesuatu dengan Yap, mengingat suaminya selalu berhadapan dengan kasus gawat yang kerap melibatkan penguasa.
Pengacara senior Adnan Buyung Nasution pun pernah merasakan bagaimana gawatnya berhadapan dengan Yap Thiam Hien saat Buyung mewakili kliennya, sebuah perusahaan kosmetik Jepang, Tancho yang bersengketa dengan pengusaha Indonesia dalam ihwal merk, Yap menjadi pembela pengusaha Indonesia.
Saat advokat lain tidak berani mengambil kasus yang berlawanan dengan pemerintah, Yap justru menerimanya, dibayar ataupun tidak.
Yang paling membuat orang tersentak tentu saja kesediaannya membela Soebandrio, mantan wakil Perdana Menteri yang dituduh terlibat G30S. Yap memang anti komunis, tapi melihat ketidakberesan penanganan kasus orang-orang yang dituduh terlibat membuatnya menerima permintaan keluarga Soebandrio untuk menjadi pembela.
Bukan itu saja, sebagai orang Cina Yap bahkan bersedia membela orang yang anti Cina. Ialah Rachmat Basuki yang didakwa sebagai otak peledakan bank BCA dan pusat pertokoan Glodok tahun 1984. Dari tuntutan seumur hidup dari Jaksa penuntut, pembelaan Yap berhasil mengurangi masa hukuman menjadi 17 tahun.
Rachmat Basuki, mantan karyawan BNI yang juga menulis soal sepak terjang Hoakiau di Indonesia, akhirnya mengakui,
"tak semua keturunan Tionghoa merugikan, salah satunya adalah Yap Thiam Hien yang berani menegakkan keadilan hukum di Indonesia, kepadanya tidaklah layak disebut Hoakiau tapi saudara sebangsa dan setanah air".
Di balik kenaifannya memandang hukum dan peradilan, Yap menyadari bahwa sengkarut sistem peradilan di Indonesia membuat yang miskin tak berdaya, atas dasar itulah ia memprakarsai berdirinya LBH di tahun 1970 bersama beberapa orang teman termasuk Ali Moertopo.
Yap memang kerap kalah dalam pengadilan sebab ia bukan membela untuk menang melainkan untuk keadilan dan kemanusiaan.
Tahun 1989, singa pengadilan itu pun berpulang saat sedang menghadiri konferensi di Ysermonde, Belgia. Ribuan orang mengiringi pemakaman Yap di Tanah Kusir.
Sekarang nama Yap Thiam Hien lebih dikenal sebagai award untuk para pembela hak asasi manusia. Tentu saja kita dari generasi sekarang kurang atau bahkan tidak mengenal siapa lelaki cina ini. Namun bagi para aktivis dan orang-orang klandestin, nama ini ibarat pelita, kecil namun selalu ajeg menerangi jalan-jalan temaram para pembela keadilan dan hak asasi manusia.
1 komentar:
Kapada
Pemilik Blok/Penulis Biografi Yap Thiam Hien “Advokat Lurus di Jalur Berliku”
Secara kebetulan, sewaktu menjelajah mencari bahan data, saya; Yap Hong Gie, menemukan tulisan Anda mengenai Ayah saya.
Reset sejarah yang cukup mendalam dengan menyajikan bahan data yang akurat perlu mendapatkan apresiasi.
Sebagai putra tentunya saya senang dan tersanjung, dengan ini mengucapkan banyak terima kasih untuk mengangkat sosok Yap Thiam Hien (YTH) sebagai penegak hukum yang lurus.
Sebagai anggota masyarakat saya bertanya: “… lalu sekarang gimana ?”
Ketika YTH menjalankan profesinya dan berkiprah sebagai aktivis di zaman pemerintahan Bung Karno, pemerintah yang baru Merdeka sedang menghadapi berbagai tekanan politik, baik dari luar negeri maupun khususnya dari dalam negeri, dimana situasi kondisi sosial-politik tidak menentu (“Jalur Berliku”), sehingga hokum dan keadilan merupakan prioritas paling bawah.
Idem ditto (“Jalur Berliku”) di zaman Pemerintahan Orde Baru yang mengacu pada kebijakan stabilitas politik, stabilitas keamanan dan stabilitas ekonomi, sehingga lagi-lagi posisi hokum dan keadilan menjadi prioritas paling bontot.
Sebagai anggota masyarakat saya ingin menagih:
Di era Reformasi yang serba canggih dan modern (global), berkiblat pada ideologi Demokrasi dengan Hak Azasi Manusia sebagai azas paling tinggi, hukum sebagai “Panglima” dan Good Governance menjadi tolok ukur negara, dimanakah gerangan para penegak hokum yang seharusnya menjadi perwira yang mengawal proses Reformasi ini?
Dimakah gerangan para generasi penerus cita-cita dan perjuangan YTH yang seharusnya meneruskan nilai-nila moral Hukum seperti kejujuran dan keadilan yang hakiki?
Dimanakan generasi muda keturunan Cina yang katanya dulu dibatasi untuk masuk di PTS, menjadi PNS dan Militer, namun di zaman “Golden Age of the Indonesian Chinese”, yang mewakili Birokrasi, Perwira Militer dan Penegak Hukum, yang bisa dibanggakan?
Dimasa “Golden Age of the Indonesian Chinese” ini dengan segala kebebasan melebihi WN umum lainnya; bebas berbahasa Mandarin (termasuk dialek), bebas melaksanakan ritual Budaya dan Keagamaan, apakah warga keturunan Tionghoa, apakah warga keturunan merasa dirinya orang Indonesia seutuhnya, ataukah masih sebagai “Hoakiau” atau “Overseas Chinese” atau Pendatang/Tamu?
Saya kwatir melihat perkembangan ideologi “Demokrasi” ala Barat yang telah merusak nilai-nilai moral generasi ini yang serta-merta hanya menganut pada nilai-nilai globalisasi, liberalism, komersialisasi, sehingga berakibat pada terjadinya degradasi jati diri Bangsa (Nasionalisme), rasa kepedulian sosial, kemerosotan moral dan pemahaman menjalankan pilar-pilar Kebangsaan, yang selama ini diyakini oleh para tokoh generasi sebelumnya.
Mudah-mudahan kekwatiran saya ini hanyalah sebuah gejala paranoia belaka ......
Salam hormat,
Yap Hong Gie.
ouwehoer@gmail.com
Posting Komentar