Menginjak lagi stasiun Bogor setelah bertahun-tahun kemudian menyeret semua kenangan semasa saya bersekolah di kota Bogor dan mengakrabi stasiun tua ini.
Tentu saja saya sering ke Bogor setelah itu tapi tidak dengan kereta.
Turun dari kereta dan melintasi rel kemudian keluar stasiun. Saya dibuat tercengang melihat jalan kecil di depan stasiun.
Sepanjang ingatan, jalan ini dulunya ruwet dan macet oleh angkot, ojek, serta pedagang kaki lima, namun kini, saya tolah toleh kebingungan karena angkot dan motor tidak lagi menyesaki tempat ini, pedagang kaki lima tetap ada tapi duduk dengan tertib di sisi jalan dan tidak tumpang tindih.
Jalan yang dulunya semrawut kini menjadi pedestrian dimana para pejalan kaki bisa berjalan santai di tengah-tengah tanpa takut tertabrak kendaraan.
Bergegas mencari angkot 02 jurusan Bogor Trade Mall di depan Taman Topi. Si akang supir dengan ramah menyilakan saya naik.
"iya teh, ini angkot ke BTM".
Ah, Bogor selalu ngangenin dengan keramahan sederhana seperti ini. Terbiasa dengan gaya supir angkot atau miniarta yang seenaknya, sikap model begini berasa kayak disiram air sejuk.
Tak lama angkot tiba di Bogor Trade Mall yang disingkat BTM, saya pun berpindah angkot menuju angkot 03 dengan tulisan SBR. Ada banyak angkot 03 tapi jurusannya beda-beda.
Tujuan kali ini adalah kampung Sindang Barang untuk mengikuti perayaan Seren Taun di sana. Acara Seren Taun adalah upacara tanda syukur di tanah Pasundan atas panen yang melimpah. Dahulu ditujukan untuk menghormati Dewi Pohaci, atau di Jawa tengah dikenal sebagai Dewi Sri, dewinya tanaman padi.
Ada 3 daerah di Jawa Barat yang masih melaksanakan adat kuno ini menurut sepengetahuan saya. Desa Cigugur di Kuningan, Cirebon, Desa Ciptagelar di punggung Gunung Halimun dan Desa Sindang Barang, Bogor yang terletak di tengah rute menuju Ciapus
Di desa Sindang Barang ini acara Seren Tahun berlangsung dari tanggal 27 November s/d 1 Desember 2013. Namun saya baru dapat datang tanggal 30 November, biasalah karena kerjaan memburuh yang tak bisa ditinggalkan.
Dari tadi, sepanjang jalan dari kota Bogor menuju desa tidak ada spanduk atau apa pun yang menginformasikan perayaan ini. Padahal acara Seren Taun cukup populer di kalangan penggila fotografi. Dari obrolan dengan supir angkot, terlihat tidak ada yang istimewa, tidak ada kemacetan, atau euphoria apapun di dekat lokasi.
Menjelang sampai tujuan, baru ada 1-2 spanduk acara. Ada beberapa bapak yang berpakaian adat celana dan baju hitam dengan ikat kepala khas Pasundan sedang berjalan kaki.
Angkot berhenti di pertigaan, saya pun menumpang ojek melewati jalan sempit agak berbukit-bukit. Melewati dataran tempat mobil-mobil parkir. Ojek terus menaiki tanjakan curam lalu berhenti di depan pintu kayu dengan papan kecil menggantung bertuliskan "Kampung Adat Sindang Barang". Ongkos ojek 10 ribu, gak mahal lah, toh event ini hanya sekali setahun.
Tidak susah mencapai tempat ini, akses angkot mudah dan jelas. Para pejalan dapat dengan mudah menuju kampung adat ini.
Memasuki pintu kayu itu dan melongok ke dalam, dibaliknya ada alun-alun dengan beberapa bangunan lumbung padi.Banyak anak SD sedang berlarian, begitu juga pengunjung berkamera.
Saya mengontak mas Ready yang ternyata ada di Imah Gede. Imah Gede adalah bangunan yang berada di tanah yang lebih tinggi dari alun-alun yang selama acara ini berlangsung dipakai sebagai markas administrasi.
Kampung Sindang Barang sendiri menurut cerita rakyat adalah bekas kerajaan bawahan dari Kerajaan Sunda. Tempat ini juga merupakan daerah untuk menggembleng ksatria-ksatria tanah Pasundan. Cikal-bakal kebudayaan Sunda Bogor dikatakan berasal dari sini.
Tanah ini merupakan milik keluarga E. Sumawijaya yang merelakan lahan warisan keluarga dijadikan tempat untuk revitalisasi budaya Sunda.
Tata letak lumbung dan bangunan di lahan itu diatur sesuai dengan Pantun Sunda yang dipercaya sebagai pantun yang merefleksikan kehidupan Bogor pada masa lalu
Acara hari ini dimulai pada pukul 08:00 pagi dengan sedekah kue dilanjutkan dengan Helaran, Nugel Munding dan pertunjukan seni pada malamnya.
O ya munding itu artinya kerbau dalam bahasa Sunda. Dan nama kerbaunya adalah Si Pelen. Si Pelen akan dipotong dan dagingnya akan disedekahkan.
Di alun-alun sudah banyak para penggemar fotografi baik yang amatir maupun yang profesional, sekilas saya sempat melihat fotografer dari National Geographic.
Setelah mengambil tanda pengenal dan berbincang sebentar dengan mas Ready saya segera mengambil posisi enak sambil berkeliaran semaunya mengambil obyek foto.
Seorang bapak melintas di depan lumbung berpakaian khas Sunda dengan memanggul cangkul buru-buru saya foto.
Anak-anak berlarian di alun-alun sambil memainkan egrang dan bakiak. Sedang ada lomba deklamasi sajak dalam bahasa sunda.
Saya pun mendekat ke bangunan tempat deklamasi sedang berlangsung. Pembawa acara mengawali dengan ucapan "Sampurasun" dan dijawab serentak "Rampeessss"..,,mirip acara sandiwara radio Saur Sepuh ya kan.
Tapi itulah sapaan khas tanah Sunda, tidak hanya Wilujeng Sumping seperti yang sering terpampang di di dinding restoran.
Seorang bapak tua tampak duduk di belakang peralatan gamelan, mengisap rokok sambil menikmati pertunjukan anak-anak.
Ada satu yang sangat disayangkan dalam acara ini; tidak tersedianya tempat sampah membuat para pengunjung kesulitan membuang sampah. Tak heran jika di sekitar lokasi berserakan gelas plastik bekas minuman dan sampah lainnya.
Matahari bersinar terik, sementara saya terus berkeliling. Membawa peralatan fotografi memang cukup melelahkan, sampai akhirnya saya terhenyak duduk di lantai Imah Gede, mengambil minum dan menggeleng saat ditawari makan siang.
Mas Ready menawarkan untuk menginap di lokasi bila ingin menyaksikan acara esok paginya. Saya berpikir ulang karena tidak membawa baju ganti dan toiletries sama sekali.
Sambil menunggu kesiapan panitia untuk lomba permainan tradisional, saya menyeberangi alun-alun dan turun ke lembah, terdapat sawah-sawah dan rumah-rumah tradisional yang dapat disewakan. Memang Kampung Budaya Sindang Barang terbuka untuk kunjungan baik perorangan maupun rombongan.
Tersedia beberapa macam kemasan acara yang dijual dalam bentuk paket. Sering terdapat rombongan anak sekolah yang berkunjung untuk berkenalan dengan budaya asli Sunda.
Puas berkeliling dan lagi-lagi merasa haus, imajinasi tentang segelas es teh manis sangat menggiurkan.
Saya melihat beberapa anak membawa minuman dingin dalam plastik lalu mencoba mengikuti jejak mereka, ternyata tak jauh dari pintu keluar ada seorang teteh berjualan minuman dingin. Dengan sebuah meja di bawah pohon ia melayani permintaan anak-anak. Ah, tenyata ada teh sachet, segera saya pesan dengan es yang banyak
saya kembali ke lokasi awal dan duduk di kursi di pinggir alun-alun, sambil menikmati es teh.
Udara yang panas membuat saya mengantuk, dan tertidurlah saya di atas kursi tanpa menghiraukan semut kecil yang berjatuhan dari daun dan merayapi leher dan lengan.
Tergagap bangun karena suara panitia melalui megaphone untuk memberitahukan lomba permainan akan segera dimulai.
Terhuyung-huyung bangkit menuju tempat permainan, pasti tampang saya mirip orang mabuk saat itu.
Permainan tradisional yang dilombakan antara lain bakiak batok, perepet jengkol, dampu, gatrik, sumpit, sondah, egrang, dan beberapa lagi saya lupa namanya.
Lucu melihat anak-anak itu setengah mati membidik sasaran atau memutar gasing.
Betapa susahnya bermain dampu, meletakkan batu di punggung kaki sambil melompat dengan satu kaki lalu batu dilempar ke sasaran pakai kaki.
Seorang anak menggembungkan pipinya, bersiap untuk membidik sasaran dengan sumpit, diikuti dengan pandangan cemas teman-temannya.
Saya berada di tempat itu sampai hampir jam 15:00 sore, Lalu kembali ke stasiun dengan rute yang sama seperti perginya.
Senang sekali bisa melihat kebudayaan kuno yang tetap dipelihara. Budaya masa lalu yang tetap dijaga tanpa harus menafikan kemajuan.
Semoga masyarakat Kampung Sindang Barang bisa tetap mempertahankan identitasnya untuk bertahun-tahun ke depan.
Tentu saja saya sering ke Bogor setelah itu tapi tidak dengan kereta.
Turun dari kereta dan melintasi rel kemudian keluar stasiun. Saya dibuat tercengang melihat jalan kecil di depan stasiun.
Sepanjang ingatan, jalan ini dulunya ruwet dan macet oleh angkot, ojek, serta pedagang kaki lima, namun kini, saya tolah toleh kebingungan karena angkot dan motor tidak lagi menyesaki tempat ini, pedagang kaki lima tetap ada tapi duduk dengan tertib di sisi jalan dan tidak tumpang tindih.
Jalan yang dulunya semrawut kini menjadi pedestrian dimana para pejalan kaki bisa berjalan santai di tengah-tengah tanpa takut tertabrak kendaraan.
Lumbung |
Bergegas mencari angkot 02 jurusan Bogor Trade Mall di depan Taman Topi. Si akang supir dengan ramah menyilakan saya naik.
"iya teh, ini angkot ke BTM".
Ah, Bogor selalu ngangenin dengan keramahan sederhana seperti ini. Terbiasa dengan gaya supir angkot atau miniarta yang seenaknya, sikap model begini berasa kayak disiram air sejuk.
Tak lama angkot tiba di Bogor Trade Mall yang disingkat BTM, saya pun berpindah angkot menuju angkot 03 dengan tulisan SBR. Ada banyak angkot 03 tapi jurusannya beda-beda.
Tujuan kali ini adalah kampung Sindang Barang untuk mengikuti perayaan Seren Taun di sana. Acara Seren Taun adalah upacara tanda syukur di tanah Pasundan atas panen yang melimpah. Dahulu ditujukan untuk menghormati Dewi Pohaci, atau di Jawa tengah dikenal sebagai Dewi Sri, dewinya tanaman padi.
Ada 3 daerah di Jawa Barat yang masih melaksanakan adat kuno ini menurut sepengetahuan saya. Desa Cigugur di Kuningan, Cirebon, Desa Ciptagelar di punggung Gunung Halimun dan Desa Sindang Barang, Bogor yang terletak di tengah rute menuju Ciapus
Di desa Sindang Barang ini acara Seren Tahun berlangsung dari tanggal 27 November s/d 1 Desember 2013. Namun saya baru dapat datang tanggal 30 November, biasalah karena kerjaan memburuh yang tak bisa ditinggalkan.
Dari tadi, sepanjang jalan dari kota Bogor menuju desa tidak ada spanduk atau apa pun yang menginformasikan perayaan ini. Padahal acara Seren Taun cukup populer di kalangan penggila fotografi. Dari obrolan dengan supir angkot, terlihat tidak ada yang istimewa, tidak ada kemacetan, atau euphoria apapun di dekat lokasi.
Menjelang sampai tujuan, baru ada 1-2 spanduk acara. Ada beberapa bapak yang berpakaian adat celana dan baju hitam dengan ikat kepala khas Pasundan sedang berjalan kaki.
Angkot berhenti di pertigaan, saya pun menumpang ojek melewati jalan sempit agak berbukit-bukit. Melewati dataran tempat mobil-mobil parkir. Ojek terus menaiki tanjakan curam lalu berhenti di depan pintu kayu dengan papan kecil menggantung bertuliskan "Kampung Adat Sindang Barang". Ongkos ojek 10 ribu, gak mahal lah, toh event ini hanya sekali setahun.
Tidak susah mencapai tempat ini, akses angkot mudah dan jelas. Para pejalan dapat dengan mudah menuju kampung adat ini.
Memasuki pintu kayu itu dan melongok ke dalam, dibaliknya ada alun-alun dengan beberapa bangunan lumbung padi.Banyak anak SD sedang berlarian, begitu juga pengunjung berkamera.
Saya mengontak mas Ready yang ternyata ada di Imah Gede. Imah Gede adalah bangunan yang berada di tanah yang lebih tinggi dari alun-alun yang selama acara ini berlangsung dipakai sebagai markas administrasi.
Kampung Sindang Barang sendiri menurut cerita rakyat adalah bekas kerajaan bawahan dari Kerajaan Sunda. Tempat ini juga merupakan daerah untuk menggembleng ksatria-ksatria tanah Pasundan. Cikal-bakal kebudayaan Sunda Bogor dikatakan berasal dari sini.
Tanah ini merupakan milik keluarga E. Sumawijaya yang merelakan lahan warisan keluarga dijadikan tempat untuk revitalisasi budaya Sunda.
Tata letak lumbung dan bangunan di lahan itu diatur sesuai dengan Pantun Sunda yang dipercaya sebagai pantun yang merefleksikan kehidupan Bogor pada masa lalu
Acara hari ini dimulai pada pukul 08:00 pagi dengan sedekah kue dilanjutkan dengan Helaran, Nugel Munding dan pertunjukan seni pada malamnya.
O ya munding itu artinya kerbau dalam bahasa Sunda. Dan nama kerbaunya adalah Si Pelen. Si Pelen akan dipotong dan dagingnya akan disedekahkan.
Di alun-alun sudah banyak para penggemar fotografi baik yang amatir maupun yang profesional, sekilas saya sempat melihat fotografer dari National Geographic.
Setelah mengambil tanda pengenal dan berbincang sebentar dengan mas Ready saya segera mengambil posisi enak sambil berkeliaran semaunya mengambil obyek foto.
Seorang bapak melintas di depan lumbung berpakaian khas Sunda dengan memanggul cangkul buru-buru saya foto.
Anak-anak berlarian di alun-alun sambil memainkan egrang dan bakiak. Sedang ada lomba deklamasi sajak dalam bahasa sunda.
Saya pun mendekat ke bangunan tempat deklamasi sedang berlangsung. Pembawa acara mengawali dengan ucapan "Sampurasun" dan dijawab serentak "Rampeessss"..,,mirip acara sandiwara radio Saur Sepuh ya kan.
Tapi itulah sapaan khas tanah Sunda, tidak hanya Wilujeng Sumping seperti yang sering terpampang di di dinding restoran.
Seorang bapak tua tampak duduk di belakang peralatan gamelan, mengisap rokok sambil menikmati pertunjukan anak-anak.
Ada satu yang sangat disayangkan dalam acara ini; tidak tersedianya tempat sampah membuat para pengunjung kesulitan membuang sampah. Tak heran jika di sekitar lokasi berserakan gelas plastik bekas minuman dan sampah lainnya.
Matahari bersinar terik, sementara saya terus berkeliling. Membawa peralatan fotografi memang cukup melelahkan, sampai akhirnya saya terhenyak duduk di lantai Imah Gede, mengambil minum dan menggeleng saat ditawari makan siang.
Mas Ready menawarkan untuk menginap di lokasi bila ingin menyaksikan acara esok paginya. Saya berpikir ulang karena tidak membawa baju ganti dan toiletries sama sekali.
Sambil menunggu kesiapan panitia untuk lomba permainan tradisional, saya menyeberangi alun-alun dan turun ke lembah, terdapat sawah-sawah dan rumah-rumah tradisional yang dapat disewakan. Memang Kampung Budaya Sindang Barang terbuka untuk kunjungan baik perorangan maupun rombongan.
Tersedia beberapa macam kemasan acara yang dijual dalam bentuk paket. Sering terdapat rombongan anak sekolah yang berkunjung untuk berkenalan dengan budaya asli Sunda.
Puas berkeliling dan lagi-lagi merasa haus, imajinasi tentang segelas es teh manis sangat menggiurkan.
Saya melihat beberapa anak membawa minuman dingin dalam plastik lalu mencoba mengikuti jejak mereka, ternyata tak jauh dari pintu keluar ada seorang teteh berjualan minuman dingin. Dengan sebuah meja di bawah pohon ia melayani permintaan anak-anak. Ah, tenyata ada teh sachet, segera saya pesan dengan es yang banyak
saya kembali ke lokasi awal dan duduk di kursi di pinggir alun-alun, sambil menikmati es teh.
Udara yang panas membuat saya mengantuk, dan tertidurlah saya di atas kursi tanpa menghiraukan semut kecil yang berjatuhan dari daun dan merayapi leher dan lengan.
Tergagap bangun karena suara panitia melalui megaphone untuk memberitahukan lomba permainan akan segera dimulai.
Terhuyung-huyung bangkit menuju tempat permainan, pasti tampang saya mirip orang mabuk saat itu.
Permainan tradisional yang dilombakan antara lain bakiak batok, perepet jengkol, dampu, gatrik, sumpit, sondah, egrang, dan beberapa lagi saya lupa namanya.
Lucu melihat anak-anak itu setengah mati membidik sasaran atau memutar gasing.
Betapa susahnya bermain dampu, meletakkan batu di punggung kaki sambil melompat dengan satu kaki lalu batu dilempar ke sasaran pakai kaki.
Seorang anak menggembungkan pipinya, bersiap untuk membidik sasaran dengan sumpit, diikuti dengan pandangan cemas teman-temannya.
Saya berada di tempat itu sampai hampir jam 15:00 sore, Lalu kembali ke stasiun dengan rute yang sama seperti perginya.
Dampu |
Senang sekali bisa melihat kebudayaan kuno yang tetap dipelihara. Budaya masa lalu yang tetap dijaga tanpa harus menafikan kemajuan.
Semoga masyarakat Kampung Sindang Barang bisa tetap mempertahankan identitasnya untuk bertahun-tahun ke depan.
1 komentar:
Permainan-permainan itu pernah aku mainkan waktu kecil... sekarang sudah susah dicari anak2 yang mau memainkan permainan ini
Posting Komentar