18 Desember 2013

Saat Soekarno diangkat ke layar perak

"Jadi Inggit itu istri kedua?"

gambar dari kapanlagi.com

Saya menghentikan loncatan jari-jari di atas tuts sebelum menoleh ke empunya suara. Sekitar 6 pasang mata segera menyambut tatapan saya, muka-muka ingin tahu. 

Dengan segera saya mengangguk,

"Ya Inggit memang istri kedua Soekarno.  Istri pertamanya adalah Utari, anak Cokroaminoto. Itu tuh, bapak yang berkumis baplang, yang pas di film sedang berpidato di podium waktu Soekarno masih muda." 



Sedikit gumam terdengar lagi. 

"Jadi ada berapa istri Soekarno?" tanya yang lain
"Sembilan",  jawab saya sambil nyengir melihat wajah-wajah yang kembali tercengang.

Dialog-dialog itu terjadi setelah kami bersebelas menonton bareng film SOEKARNO.  Kecuali saya yang memang sudah berniat nonton film tersebut, sepuluh orang lainnya ikut karena malas harus kembali ke kantor setelah acara peluncuran channel baru kami.  Tapi kenapa mereka ikut-ikut memilih film ini, entahlah.
dari pesatnews

Awal sebelum film ini berlanjut memang mengejutkan. Text di layar bioskop meminta para penonton untuk berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya.

Ah sudah berapa belas tahun saya tidak pernah menyanyikan lagu ini, sejak upacara bendera bukanlah menjadi bagian dari acara mingguan saya. Sambil senyum-senyum saya mengikuti instruksi itu.

Setelah itu barulah film dimulai.

Film ini memang ditunggu-tunggu oleh sekian banyak orang, dari generasi muda yang ingin tahu hal ikhwal Presiden pertama Indonesia ini dan tentu saja generasi tua yang kebanyakan masih terkenang akan sepak terjang Soekarno.

Dan setelah produksi berbulan-bulan ditambah perselisihan antara Hanung Bramantyo sang sutradara dan MVP Pictures dengan Rachmawati Soekarno, tentu saja publik kian ingin tahu bagaimana hasil akhirnya.

Adegan dibuka dengan penggerebekan di rumah ketua PNI Yogyakarta, Soejoedi oleh tentara Belanda.  Di situlah Soekarno tampil pertama kali, layaknya hero dan berucap "Saya Soekarno"...jreeeng!!!!

Selanjutnya adegan berfokus pada kilasan masa kecil Soekarno saat masih bernama Kusno, cinta pertamanya dengan Mien Hessel seorang gadis Belanda yang ditentang oleh ayah Mien dilanjutkan dengan perkenalannya dengan Tjokroaminoto dan obsesinya tentang kemerdekaan dan persamaan hak antara kaum Bumiputra dan bangsa Belanda.

Scene melompat menuju kehidupan rumah tangga Soekarno dan Inggit di Bandung lalu bergerak ke kehidupan pengasingan di Bengkulu, awal perkenalannya dengan Fatmawati.

Hanung cukup jeli memunculkan kecemburuan Inggit sang istri terhadap hubungan Soekarno dan Fatma yang menyentak perasaan penonton. Keharuan menjadi kian intens saat Inggit dengan pasrah meminta cerai dengan dialog-dialog menyentuh, walau kurang "Sunda" di telinga saya.

Hanung rasanya paham, salah satu yang menarik dari seorang Soekarno adalah sifat Don Juan romantisnya, yang disampaikan secara halus kepada para penonton.  Walaupun sebenarnya dialog panas antara Soekarno, Syahrir dan Hatta dapat diangkat lebih dalam lagi. Dialog-dialog adu strategi ini sangat menarik bagi penikmat film sejarah.

Sisi humanisme Soekarno juga digali saat terpaksa memutuskan untuk menyodorkan para pelacur pada tentara Jepang daripada mereka merampas gadis baik-baik dari rumah penduduk. Begitu juga saat Soekarno menyaksikan para romusha yang mati dalam kerja paksa.

Hanung memang memenggal kisah Soekarno sampai pada proklamasi sehingga hanya menampilkan 2 istrinya, Inggit dan Fatmawati sedangkan Utari sebagai istri pertama yang hanya dinikahi sebentar itu memang tidak banyak berperan dalam kehidupan sebenarnya.  Lagipula memang perjuangan Soekarno dalam mencapai Indonesia Merdeka yang hendak ditunjukkan dan bukan romantisme dengan 9 istri.

Walau banyak cerita yang melompat-lompat akibat keterbatasan waktu, ditambah dengan adegan tentara Jepang membikin onar penduduk yang terkesan diulang-ulang, namun Hanung lumayan berhasil menampilkan sosok Soekarno kepada khalayak.

Satu catatan lagi, memang film ini semula dibuat berdasarkan kisah dari anak-anak Soekarno dari Fatmawati, namun Hanung dengan piawai menerjemahkan cinta segitiga antara Soekarno, Inggit dan Fatmawati yang serta merta membuat penonton berpihak pada Inggit.  Apakah memang itu yang diinginkan anak-anak Fatma terutama Rachma? Entahlah, namun saya penasaran.

Ario Bayu cukup baik berperan sebagai Soekarno, tentu saja, bila dibandingkan dengan Anjasmara, anak tiri Rachmawati yang semula diusulkan.  Maudy juga menjiwai perannya sebagai Inggit, hanya saja seperti kata saya tadi, sayang sutradaranya tidak memasukkan sedikit dialog dalam bahasa Sunda mengingat Inggit adalah mojang Sunda asli.

Yang lainnya seperti setting, rasanya tidak ada masalah yang berarti, hanya kostum rakyat Indonesia yang sepengertian saya pada masa itu adalah jaman susah, kok kelihatan terlalu bersih dan rapi ya.

Tapi di atas itu semua penggambaran seorang Soekarno memang sangat heroik, dimana ia selalu dielu-elukan dan menikmati itu semua, persis kata Syahrir, seorang yang narsistik.

Dan memang itulah presiden pertama kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang menempati ruang khusus di hati rakyat Indonesia

Dan seperti sekarang ini, layaknya guru sejarah saya sedang mendongeng kembali tentang istri-istri Soekarno yang sembilan itu di depan teman-teman kantor.  Mulut-mulut itu kembali ternganga saat menyebut istri Soekarno yang terakhir adalah seorang anak SMA.


Tidak ada komentar: