Tahun 1882 pemerintah Kolonial membangun jalur kereta api yang menghubungkan Bogor-Cianjur-Sukabumi dan Bandung untuk mengangkut hasil bumi yang seperti teh dan kopi yang tumbuh subur sepanjang jalur tersebut. Tidak itu saja penduduk eropa pun mulai berdatangan dari Batavia ke Sukabumi.
Banyak perkebunan teh dan kopi yang membutuhkan akses cepat dan terukur untuk memastikan hasil panennya terangkut dengan lancar. Itu dapat dipenuhi oleh lokomotif uap yang dapat melaju dengan kecepatan 30 km/jam. Daerah Cigombong, Cicurug, Parungkuda dan Cibadak merupakan pos-pos pengumpul hasil bumi
Tak pelak jalur kereta Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung dan Batavia-Bandung via Purwakarta pernah menjadi jalur tersibuk dan juga termodern di jaman itu. Ditambah dengan wacana pemindahan ibu kota dari Batavia ke Bandung membuat pembangunan infrastruktur dikebut habis-habisan.
Sekarang jaman kolonialisme telah berlalu, jalur-jalur yang dulu sibuk dan semarak kini terbengkalai. Kita lupa bahwa infrastruktur jaman kolonial itu sebenarnya adalah jawaban dari kemacetan yag kian parah.
Dan di sinilah saya, dalam kereta komuter, mengejar waktu untuk bisa sampai di stasiun Bogor sebelum jam 12 siang.
Sedikit panik tadi, saat mendengar dari petugas stasiun bahwa ada kebakaran di stasiun Gambir sehingga perjalanan kereta terganggu dan kereta harus melalui jalur lain untuk sampai ke Manggarai. Saya melihat sekelompok pendaki gunung yang kebingungan sedang berbicara dengan petugas. Sepertinya tujuan mereka sama, ke Bogor
Menuruti kata petugas, saya bergegas meninggalkan stasiun Gondangdia menuju Manggarai, dan benar tak berapa lama kereta datang.
Betul, saya akan menjajal jalur Bogor-Sukabumi dengan kereta diesel Pangrango. Tiket sudah dibooking dari 3 hari yang lalu melalui website KAI. Booking dan bayar di ATM paling lama 3 jam setelah mendapat konfirmasi booking. Gampang kan, gak perlu antri sampe tidur-tiduran di stasiun dan kecewa karena tiket keburu habis. Di tiket saya tercantum jam keberangkatan pukul 12:45.
KRD Pangrango yang beroperasi sejak November lalu menggantikan KRD Bumi Geulis yang telah setahun berhenti beroperasi karena rusak. Selama setahun pula jalur Bogor-Sukabumi terbengkalai.
Untunglah kereta komuter saya sampai di stasiun Bogor pukul 11:30, jadi saya agak bergegas mencari stasiun Paledang, tempat pemberangkatan kereta Pangrango.
Stasiun Paledang ternyata hanya berjarak 200 meter dari stasiun Bogor, cukup menyeberang jalan kapten Muslihat, mengikuti rel dan sampailah di sana. Stasiun ini lebih cocok disebut shelter, karena memang mengingatkan saya pada shelter bis Trans Jakarta baik bentuk dan luasnya. Terletak di tengah pemukiman penduduk tanpa (belum) ada fasilitas ruang tunggu yang memadai sehingga calon penumpang yang membludak terpaksa duduk di lantai atau di warung-warung dadakan di sekitar stasiun.
Saat saya datang, sudah banyak calon penumpang yang duduk memenuhi lantai stasiun. Bergegas saya ke loket untuk mengeprint tiket. Saya sengaja pergi dengan tiket eksekutif seharga 35 ribu dan kembali dengan tiket ekonomi seharga 15 ribu, jadi bisa merasakan semua kelas. Oya masing-masing plus biaya administrasi sebesar Rp 7,500.
Di papan pengumuman tertulis bahwa tiket hari ini telah habis sampai tanggal 29 Desember, masih banyak calon penumpang yang kecewa karena tidak kebagian tiket. Sekalian saja minta di print tiket kepulangan dari Sukabumi jadi tidak perlu ke loket lagi di sana. Praktis kan?
Stasiun kecil ini penuh sesak. Untuk yang kebelet ingin buang hajat ada toilet yang disediakan oleh warga di rumahnya tentu dengan membayar. Memang jauh dari nyaman.
Sekitar pukul 12:30 kereta datang, penumpang dari Sukabumi turun dan rangkaian gerbong itu menuju stasiun Bogor untuk langsir dan memindahkan gerbong pembangkit.
Akhirnya kereta pun siap, dalam 1 rangkaian ada 1 gerbong eksekutif dan 3 gerbong ekonomi. Dalam gerbong eksekutif kursi tersusun dua-dua, tidak berhadapan. Lumayan walau tidak bisa dibilang bagus sekali, tapi setidaknya kursinya lumayan nyaman untuk tidur sejenak. Ada 2 colokan listrik, dan berfungsi dengan baik jadi saya bisa mencharge BB dan ponsel android saya yang mulai sekarat baterainya.
Oke, saya pun duduk dan mulai mengamati stasiun-stasiun persinggahan. Stasiun pertama adalah Batutulis, masih di wilayah Bogor, setelah itu Ciomas (tidak berhenti), Maseng, Cigombong, Cicurug, Cijambe (tidak berhenti), Parungkuda, Cibadak, Karang Tengah, Pondok Leungsir (tidak berhenti), Cisaat dan Sukabumi. Bangunan stasiun-stasiun itu khas bangunan lama.
Pemandangan cukup elok, di sisi kanan Gunung Salak sementara di sisi lainnya perbukitan. Rel yang kadang membelah pemukiman kadang menyisakan sedikit jarak dengan pagar rumah, mepet sekali sehingga saya terheran-heran mengapa bisa ada rumah yang dibangun mepet dengan rel seperti ini. Beberapa stasiun juga mempunyai peron yang sempit.
Kaca kereta agak kotor jadi, harus pandai-pandai mencari bidang yang bersih untuk memotret, bahkan ada kaca yang retak akibat timpukan batu..ckckckck.....!
Yang lucu adalah tenyata kereta yang lewat menjadi tontonan warga kampung. Anak-anak bersorak-sorai saat kereta lewat, bahkan ada yang mengabadikan dengan ponsel. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun pun ikut juga menonton.
Stasiun-stasiun sepanjang jalur ini memang belum disterilisasi sehingga warga bebas berada di peron menonton kereta yang singgah.
Nampaknya kegiatan ekonomi pun mulai menggeliat kembali.
Kondisi rel sepertinya tidak memungkinkan kereta melaju dengan cepat., bahkan sering terdengar bunyi gelodakan seperti menginjak bidang yang tidak rata.
Dalam 2 jam kereta sudah sampai stasiun Sukabumi. Saya buru-buru turun melihat-lihat stasiun sebentar dan kembali lagi ke Bogor kali ini menjajal gerbong ekonomi.
Tempat duduknya 2-2 saling berhadapan dengan sandaran tegak, jadi beradu dengkul. Bagi yang bertubuh jangkung akan cukup melelahkan karena memang sempit. Kali ini di hadapan saya ada mojang Sukabumi dengan tas merah mudah mengkilat, ia duduk gelisah, mungkin karena tempat duduk yang kurang nyaman. Ia melepas kacamata berbingkai putih yang dikenakannya. Sepertinya itu kacamata gaya, bukan minus, karena saya punya satu di rumah .
Menjelang sampai Bogor, tercium bau pesing mungkin dari kamar mandi, ampun deh.
Ini yang bikin saya males kalo harus buang air kecil di kamar mandi kereta.
Jam 17:30, kereta sampai kembali ke Bogor. Dalam waktu 4 jam saya sudah bolak-balik Bogor-Sukabumi-Bogor. Cukup praktis dan ekonomis.
O ya, kabarnya dengan kembali beroperasinya kereta Bogor-Sukabumi ini sempat mendapat protes dari para supir Bogoran. Bogoran adalah istilah mobil Elf yang dipakai untuk mengangkut penumpang jalur Bogor-Sukabumi. Maklum selama ini mereka bisa semena-mena menetapkan tarif penumpang karena tidak ada alternatif moda transportasi lain. Dengan adanya kereta, penghasilan mereka jelas berkurang. Colt Bogoran juga sering disebut sebagai angkot setan, berkat cara menyetir supirnya yang kerap ugal-ugalan dalam menyalip kendaraan.
Yah, bagaimanapun juga masyarakat berhak mendapat yang terbaik dan pengadaan kereta sebagai alternatif jelas makin memudahkan mobilisasi dan hemat BBM pula.
Banyak perkebunan teh dan kopi yang membutuhkan akses cepat dan terukur untuk memastikan hasil panennya terangkut dengan lancar. Itu dapat dipenuhi oleh lokomotif uap yang dapat melaju dengan kecepatan 30 km/jam. Daerah Cigombong, Cicurug, Parungkuda dan Cibadak merupakan pos-pos pengumpul hasil bumi
Tak pelak jalur kereta Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung dan Batavia-Bandung via Purwakarta pernah menjadi jalur tersibuk dan juga termodern di jaman itu. Ditambah dengan wacana pemindahan ibu kota dari Batavia ke Bandung membuat pembangunan infrastruktur dikebut habis-habisan.
Sekarang jaman kolonialisme telah berlalu, jalur-jalur yang dulu sibuk dan semarak kini terbengkalai. Kita lupa bahwa infrastruktur jaman kolonial itu sebenarnya adalah jawaban dari kemacetan yag kian parah.
Dan di sinilah saya, dalam kereta komuter, mengejar waktu untuk bisa sampai di stasiun Bogor sebelum jam 12 siang.
gerbong eksekutif |
Menuruti kata petugas, saya bergegas meninggalkan stasiun Gondangdia menuju Manggarai, dan benar tak berapa lama kereta datang.
Betul, saya akan menjajal jalur Bogor-Sukabumi dengan kereta diesel Pangrango. Tiket sudah dibooking dari 3 hari yang lalu melalui website KAI. Booking dan bayar di ATM paling lama 3 jam setelah mendapat konfirmasi booking. Gampang kan, gak perlu antri sampe tidur-tiduran di stasiun dan kecewa karena tiket keburu habis. Di tiket saya tercantum jam keberangkatan pukul 12:45.
rangkaian KRD Pangrango |
Warga yang akan bepergian ke Sukabumi dari Bogor dan sebaliknya harus menghadapi kemacetan panjang yang berakibat molornya waktu perjalanan. Ada yang pernah menempuh Sukabumi-Bogor selama 11 jam akibat macet yang dahsyat. REKOR!!.
Wacana pembangunan jalan tol dari Ciawi ke Sukabumi juga tampaknya masih samar-samar.
Jadi pengaktifan kembali jalur kereta api ini memang langkah terbaik. Kali ini ada 3 pemberangkatan dari Stasiun Bogor ke Sukabumi demikian pula sebaliknya.
Untunglah kereta komuter saya sampai di stasiun Bogor pukul 11:30, jadi saya agak bergegas mencari stasiun Paledang, tempat pemberangkatan kereta Pangrango.
Stasiun Paledang ternyata hanya berjarak 200 meter dari stasiun Bogor, cukup menyeberang jalan kapten Muslihat, mengikuti rel dan sampailah di sana. Stasiun ini lebih cocok disebut shelter, karena memang mengingatkan saya pada shelter bis Trans Jakarta baik bentuk dan luasnya. Terletak di tengah pemukiman penduduk tanpa (belum) ada fasilitas ruang tunggu yang memadai sehingga calon penumpang yang membludak terpaksa duduk di lantai atau di warung-warung dadakan di sekitar stasiun.
pemandangan sepanjang jalan |
Saat saya datang, sudah banyak calon penumpang yang duduk memenuhi lantai stasiun. Bergegas saya ke loket untuk mengeprint tiket. Saya sengaja pergi dengan tiket eksekutif seharga 35 ribu dan kembali dengan tiket ekonomi seharga 15 ribu, jadi bisa merasakan semua kelas. Oya masing-masing plus biaya administrasi sebesar Rp 7,500.
Di papan pengumuman tertulis bahwa tiket hari ini telah habis sampai tanggal 29 Desember, masih banyak calon penumpang yang kecewa karena tidak kebagian tiket. Sekalian saja minta di print tiket kepulangan dari Sukabumi jadi tidak perlu ke loket lagi di sana. Praktis kan?
Stasiun kecil ini penuh sesak. Untuk yang kebelet ingin buang hajat ada toilet yang disediakan oleh warga di rumahnya tentu dengan membayar. Memang jauh dari nyaman.
Sekitar pukul 12:30 kereta datang, penumpang dari Sukabumi turun dan rangkaian gerbong itu menuju stasiun Bogor untuk langsir dan memindahkan gerbong pembangkit.
Akhirnya kereta pun siap, dalam 1 rangkaian ada 1 gerbong eksekutif dan 3 gerbong ekonomi. Dalam gerbong eksekutif kursi tersusun dua-dua, tidak berhadapan. Lumayan walau tidak bisa dibilang bagus sekali, tapi setidaknya kursinya lumayan nyaman untuk tidur sejenak. Ada 2 colokan listrik, dan berfungsi dengan baik jadi saya bisa mencharge BB dan ponsel android saya yang mulai sekarat baterainya.
nonton kereta |
Pemandangan cukup elok, di sisi kanan Gunung Salak sementara di sisi lainnya perbukitan. Rel yang kadang membelah pemukiman kadang menyisakan sedikit jarak dengan pagar rumah, mepet sekali sehingga saya terheran-heran mengapa bisa ada rumah yang dibangun mepet dengan rel seperti ini. Beberapa stasiun juga mempunyai peron yang sempit.
Kaca kereta agak kotor jadi, harus pandai-pandai mencari bidang yang bersih untuk memotret, bahkan ada kaca yang retak akibat timpukan batu..ckckckck.....!
gerbong ekonomi |
Yang lucu adalah tenyata kereta yang lewat menjadi tontonan warga kampung. Anak-anak bersorak-sorai saat kereta lewat, bahkan ada yang mengabadikan dengan ponsel. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun pun ikut juga menonton.
Stasiun-stasiun sepanjang jalur ini memang belum disterilisasi sehingga warga bebas berada di peron menonton kereta yang singgah.
Nampaknya kegiatan ekonomi pun mulai menggeliat kembali.
Kondisi rel sepertinya tidak memungkinkan kereta melaju dengan cepat., bahkan sering terdengar bunyi gelodakan seperti menginjak bidang yang tidak rata.
Dalam 2 jam kereta sudah sampai stasiun Sukabumi. Saya buru-buru turun melihat-lihat stasiun sebentar dan kembali lagi ke Bogor kali ini menjajal gerbong ekonomi.
Tempat duduknya 2-2 saling berhadapan dengan sandaran tegak, jadi beradu dengkul. Bagi yang bertubuh jangkung akan cukup melelahkan karena memang sempit. Kali ini di hadapan saya ada mojang Sukabumi dengan tas merah mudah mengkilat, ia duduk gelisah, mungkin karena tempat duduk yang kurang nyaman. Ia melepas kacamata berbingkai putih yang dikenakannya. Sepertinya itu kacamata gaya, bukan minus, karena saya punya satu di rumah .
Menjelang sampai Bogor, tercium bau pesing mungkin dari kamar mandi, ampun deh.
Ini yang bikin saya males kalo harus buang air kecil di kamar mandi kereta.
Jam 17:30, kereta sampai kembali ke Bogor. Dalam waktu 4 jam saya sudah bolak-balik Bogor-Sukabumi-Bogor. Cukup praktis dan ekonomis.
O ya, kabarnya dengan kembali beroperasinya kereta Bogor-Sukabumi ini sempat mendapat protes dari para supir Bogoran. Bogoran adalah istilah mobil Elf yang dipakai untuk mengangkut penumpang jalur Bogor-Sukabumi. Maklum selama ini mereka bisa semena-mena menetapkan tarif penumpang karena tidak ada alternatif moda transportasi lain. Dengan adanya kereta, penghasilan mereka jelas berkurang. Colt Bogoran juga sering disebut sebagai angkot setan, berkat cara menyetir supirnya yang kerap ugal-ugalan dalam menyalip kendaraan.
Yah, bagaimanapun juga masyarakat berhak mendapat yang terbaik dan pengadaan kereta sebagai alternatif jelas makin memudahkan mobilisasi dan hemat BBM pula.
4 komentar:
perjalanan yang menyenangkan sekali....
Wow seru bgt tuh bro, anne juga pengin jadinye!
Thank you buat sharingnye.
Tahun ini (2015) masih adakah kereta jalur bogor - sukabumi, posisi saya di jakarta selatan, pasar minggu .... Terima kasih
Masih ada kok, bahkan Sekarang ada rute ke cianjur juga
Posting Komentar