22 Juli 1960, Mendung menggantung di wajah Prawoto Mangkusasmito,
ketua Masyumi.
Tak mungkin berkelit lagi dari badai seperti yang telah
dilakukan selama ini dengan susah payah.
Soekarno yang sejak lama menahan geram menemukan alasan bagus untuk
mengubur oposisi yang dari dulu menjadi duri dalam daging dalam
pemerintahannya.
Terutama dengan partai Masyumi yang kerap bersilang pendapat dengannya. Diawali dengan perdebatan tentang azas negara 15 tahun yang lalu. Masyumi terpaksa menelan pil pahit kekalahan dari kelompok nasionalis sekuler. Kekecewaan yang membuat beberapa pemimpinnya gelap mata dan mengangkat senjata melalui Darul Islam dan gerakan PRRI.
Sungguhpun sikap resmi yang dikeluarkan oleh Masyumi adalah mereka tidak mendukung pemberontakan, namun Soekarno dapat mencium simpati di belakang pernyataan resmi itu.
Sesungguhnya seperti apakah partai Masyumi itu? seradikal dan sekuat apa mereka dalam menerapkan prinsip-prinsip ke Islaman dalam kehidupan?
Kesan yang didapat dari membaca karya Remi Madinier, seorang peneliti Perancis tentang Masyumi, partai ini bukanlah partai Islam tradisionalis seperti NU, tapi bukan pula tepat persis seperti Muhamadiyah walaupun pada awalnya unsur perorangan yang berasal dari kedua kelompok ini sangat mendominasi.
Partai ini pada jamannya disebut-sebut sebagai perwujudan representasi warga muslim Indonesia. Unsur-unsur pembentuk Masyumi selain dari 2 kelompok besar NU dan Muhamdiyah juga berasal dari berbagai macam perkumpulan Islam.
Walaupun mengusung tema Islam dan menginginkan negara berlandaskan hukum Islam, Masyumi terlihat unik karena dikemudikan oleh para pemimpin yang mengenyam pendidikan barat (Belanda) dimana mereka akrab dengan teori-teori demokrasi ala barat dan sekaligus menerapkan konsep demokrasi tersebut.
Masyumi yang bersama PNI, partai nasionalis sekuler menjadi pilar parlemen pada saat itu sebenarnya menghadapi masalah internal yang cukup berat. Pertentangan antara Natsir dan Isa Anshary tentang arah kebijakan partai juga mewarnai perjalanan organisasi. Tindakan NU yang memisahkan diri menjadikan Masyumi tidak lagi menjadi pilar Islam penentu perimbangan.
Dalam perjalanannya Masyumi menyadari, mustahil menjadi partai Islam yang eksklusif dengan doktrin yang keras dan kaku, pengalaman pahit kekalahan pihak Islam terhadap nasionalis sekuler membuat para pemimpin partai ini lebih terbuka dan berusaha merangkul pihak non muslim dalam hal ini menampilkan Islam yang toleran. Pada akhirnya menjadi ironi karena kalangan partai Islam sendiri tidak mampu untuk menyatukan diri.
NU menuduh Masyumi sebagai partai yang tidak menghargai ulama dan bersikap meniru-niru barat. Masyumi sendiri yang menganggap sebagai lokomotif demokrasi berusaha menjaga hubungan dengan kelompok-kelompok Islam lainnya.
Pukulan telak terpaksa diterima Masyumi saat hasil Pemilu 1955 menyadarkan bahwa ternyata pengaruh partai ini tidak sekuat dulu. Perolehan suara partai ini berada di tempat kedua, di bawah PNI, saingan utamanya. Secara mengejutkan NU meraih suara yang cukup signifikan. Keadaan ini membuat para pemimpin partai kalang kabut.
Tidak mau bekerja sama dengan PKI akhirnya memang menjadi salah satu kartu mati Masyumi karena Sang Pemimpin Besar Revolusi berkeras untuk menyatukan kalangan nasionalis, agama dan komunis. Gontok-gontokan ini bukan hal yang sepele, saling culik dan bunuh antara pendukung lazim dilakukan.
Namun sifat culas tak berperikemanusiaan bukanlah sifat pemimpin Masyumi dan bahkan PKI sekalipun. Natsir dan Aidit tetap minum teh dan kerap berdiskusi bersama, menunjukkan tiada dendam yang terkait dengan perbedaan ideologi. Mereka menunjukkan kepada pengikutnya bahwa tidak sepatutnya perpecahan dalam bangsa sendiri karena idologi.
Pidato Soekarno tahun 1956 mengungkapkan tentang kegagalan demokrasi parlementer, lebih jauh ia ingin mengubur partai-partai yang dianggap telah gagal melakukan tugasnya. Tentu saja Natsir sebagai pimpinan partai saat itu menentang keras. Terkait dengan ide Soekarno ini, Masyumi sempat mendapat dukungan dari partai-partai, namun entah mengapa dalam selang beberapa bulan hanya PSI yang tetap mendampingi Masyumi, sementara yang lainnya berbalik mendukung Soekarno.
Keadaan semakin ruwet dengan adanya nasionalisasi paksa terhadap sejumlah perusahaan asing milik Belanda. Masyumi sejak semula telah meramalkan bahwa euphoria nasionalisasi dadakan ini lebih banyak membawa mudarat karena belum adanya transfer teknologi. Tak heran perhubungan laut nyaris putus karena para kapten kapal dan pemilik perusahaan yang orang asing langsung diusir keluar.
Ketidaksetujuan Masyumi terhadap nasionalisasi yang membabi buta lagi-lagi menyebabkan teror bagi para pemimpinnya.
Sialnya percobaan pembunuhan terhadap presiden di sekolah Cikini menyebabkan makin banyak telunjuk mengarah pada Masyumi sebagai dalang.
Secara kebetulan banyak tetua Masyumi berdarah Sumatera dan hampir bersamaan mereka mengungsi untuk menghindari teror, menuju Sumatera yang juga sedang bergolak. Dan, terlibatlah mereka dengan gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia yang dipimpin Kolonel Ahmad Husein, tentara yang memendam kecewa terhadap laku pemerintah pusat.
Tiga setengah tahun gerakan itu dapat ditumpas, dan seperti yang diperkirakan Masyumi mulai memasuki lubang kuburnya. Dan memang demikian, Soekarno segera mendapat angin untuk memukul jatuh lawannya tanpa bisa kembali lagi melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan dewan konstituante.
Cengkeraman PKI semakin kuat, sementara Masyumi tetap bertahan bersama PSI dengan demokrasi parlementer dan semakin konfrontantatif dengan Soekarno yang merasa kekuasaannya dilawan.
Dan jatuhlah keputusan pembubaran Masyumi di tahun 1960 tanpa bisa dielakkan.
Masyumi boleh tenggelam namun namanya tetap diingat sebagai partai yang berjuang menegakkan negara Islam melalui KONSTITUANTE dan bukan dengan kekerasan
Note :
Sekali lagi peneliti asing, Remy Madinier mengambil partai Masyumi menjadi topik penelitiannya yang memakan waktu 6 tahun. Hasilnya jadilah buku serius setebal bantal yang berjudul Partai Masyumi
Sungguhpun sikap resmi yang dikeluarkan oleh Masyumi adalah mereka tidak mendukung pemberontakan, namun Soekarno dapat mencium simpati di belakang pernyataan resmi itu.
Sesungguhnya seperti apakah partai Masyumi itu? seradikal dan sekuat apa mereka dalam menerapkan prinsip-prinsip ke Islaman dalam kehidupan?
Kesan yang didapat dari membaca karya Remi Madinier, seorang peneliti Perancis tentang Masyumi, partai ini bukanlah partai Islam tradisionalis seperti NU, tapi bukan pula tepat persis seperti Muhamadiyah walaupun pada awalnya unsur perorangan yang berasal dari kedua kelompok ini sangat mendominasi.
Partai ini pada jamannya disebut-sebut sebagai perwujudan representasi warga muslim Indonesia. Unsur-unsur pembentuk Masyumi selain dari 2 kelompok besar NU dan Muhamdiyah juga berasal dari berbagai macam perkumpulan Islam.
Walaupun mengusung tema Islam dan menginginkan negara berlandaskan hukum Islam, Masyumi terlihat unik karena dikemudikan oleh para pemimpin yang mengenyam pendidikan barat (Belanda) dimana mereka akrab dengan teori-teori demokrasi ala barat dan sekaligus menerapkan konsep demokrasi tersebut.
Masyumi yang bersama PNI, partai nasionalis sekuler menjadi pilar parlemen pada saat itu sebenarnya menghadapi masalah internal yang cukup berat. Pertentangan antara Natsir dan Isa Anshary tentang arah kebijakan partai juga mewarnai perjalanan organisasi. Tindakan NU yang memisahkan diri menjadikan Masyumi tidak lagi menjadi pilar Islam penentu perimbangan.
Dalam perjalanannya Masyumi menyadari, mustahil menjadi partai Islam yang eksklusif dengan doktrin yang keras dan kaku, pengalaman pahit kekalahan pihak Islam terhadap nasionalis sekuler membuat para pemimpin partai ini lebih terbuka dan berusaha merangkul pihak non muslim dalam hal ini menampilkan Islam yang toleran. Pada akhirnya menjadi ironi karena kalangan partai Islam sendiri tidak mampu untuk menyatukan diri.
NU menuduh Masyumi sebagai partai yang tidak menghargai ulama dan bersikap meniru-niru barat. Masyumi sendiri yang menganggap sebagai lokomotif demokrasi berusaha menjaga hubungan dengan kelompok-kelompok Islam lainnya.
Pukulan telak terpaksa diterima Masyumi saat hasil Pemilu 1955 menyadarkan bahwa ternyata pengaruh partai ini tidak sekuat dulu. Perolehan suara partai ini berada di tempat kedua, di bawah PNI, saingan utamanya. Secara mengejutkan NU meraih suara yang cukup signifikan. Keadaan ini membuat para pemimpin partai kalang kabut.
Tidak mau bekerja sama dengan PKI akhirnya memang menjadi salah satu kartu mati Masyumi karena Sang Pemimpin Besar Revolusi berkeras untuk menyatukan kalangan nasionalis, agama dan komunis. Gontok-gontokan ini bukan hal yang sepele, saling culik dan bunuh antara pendukung lazim dilakukan.
Namun sifat culas tak berperikemanusiaan bukanlah sifat pemimpin Masyumi dan bahkan PKI sekalipun. Natsir dan Aidit tetap minum teh dan kerap berdiskusi bersama, menunjukkan tiada dendam yang terkait dengan perbedaan ideologi. Mereka menunjukkan kepada pengikutnya bahwa tidak sepatutnya perpecahan dalam bangsa sendiri karena idologi.
Pidato Soekarno tahun 1956 mengungkapkan tentang kegagalan demokrasi parlementer, lebih jauh ia ingin mengubur partai-partai yang dianggap telah gagal melakukan tugasnya. Tentu saja Natsir sebagai pimpinan partai saat itu menentang keras. Terkait dengan ide Soekarno ini, Masyumi sempat mendapat dukungan dari partai-partai, namun entah mengapa dalam selang beberapa bulan hanya PSI yang tetap mendampingi Masyumi, sementara yang lainnya berbalik mendukung Soekarno.
Keadaan semakin ruwet dengan adanya nasionalisasi paksa terhadap sejumlah perusahaan asing milik Belanda. Masyumi sejak semula telah meramalkan bahwa euphoria nasionalisasi dadakan ini lebih banyak membawa mudarat karena belum adanya transfer teknologi. Tak heran perhubungan laut nyaris putus karena para kapten kapal dan pemilik perusahaan yang orang asing langsung diusir keluar.
Ketidaksetujuan Masyumi terhadap nasionalisasi yang membabi buta lagi-lagi menyebabkan teror bagi para pemimpinnya.
Sialnya percobaan pembunuhan terhadap presiden di sekolah Cikini menyebabkan makin banyak telunjuk mengarah pada Masyumi sebagai dalang.
Secara kebetulan banyak tetua Masyumi berdarah Sumatera dan hampir bersamaan mereka mengungsi untuk menghindari teror, menuju Sumatera yang juga sedang bergolak. Dan, terlibatlah mereka dengan gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia yang dipimpin Kolonel Ahmad Husein, tentara yang memendam kecewa terhadap laku pemerintah pusat.
Tiga setengah tahun gerakan itu dapat ditumpas, dan seperti yang diperkirakan Masyumi mulai memasuki lubang kuburnya. Dan memang demikian, Soekarno segera mendapat angin untuk memukul jatuh lawannya tanpa bisa kembali lagi melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan dewan konstituante.
Cengkeraman PKI semakin kuat, sementara Masyumi tetap bertahan bersama PSI dengan demokrasi parlementer dan semakin konfrontantatif dengan Soekarno yang merasa kekuasaannya dilawan.
Dan jatuhlah keputusan pembubaran Masyumi di tahun 1960 tanpa bisa dielakkan.
Masyumi boleh tenggelam namun namanya tetap diingat sebagai partai yang berjuang menegakkan negara Islam melalui KONSTITUANTE dan bukan dengan kekerasan
Note :
Sekali lagi peneliti asing, Remy Madinier mengambil partai Masyumi menjadi topik penelitiannya yang memakan waktu 6 tahun. Hasilnya jadilah buku serius setebal bantal yang berjudul Partai Masyumi
1 komentar:
I love Masyumi, I Love Islam
Posting Komentar