23 Februari 2011

2 Pemimpin

Lagi lagi berbicara tentang Presiden Indonesia tidak bisa lepas dari 2 nama : Soekarno dan Soeharto.

Saya takjub mengingat begitu banyaknya orang mencintai Soe-1. Saya generasi yang lahir jauh sesudah Soe-1, tepatnya lahir saat Soe-2 berkuasa. Singkatnya saya hanya samar samar mendengar nama Soe-1. Saya bahkan menganggap Soe-2 sebagai idola, apalagi saat melihat film G30-S.

Seiring waktu, nalar saya mulai berkembang. Melalui buku buku saya takjub melihat sepak terjang Soe-1 dan Soe-2. Ada perbedaan sekaligus persamaan di antara keduanya. Nyaris menjadi Presiden Seumur Hidup.

Soe-1 dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden seumur hidup pada tahun 1963, sebagai strategi TNI untuk membendung PKI. Padahal saat itu S0e-1 sedang menyiapkan komisi Pemilu. Sayang sekali Soe-1 tergoda dengan tawaran Presiden Seumur Hidup yang akhirnya menjerumuskan ke dalam model pemerintahan otoriter, walaupun memang saat itu menghadapi kabinet yang jatuh bangun diperlukan sikap keras, Soekarno menyebut pemerintahannya sebagai demokrasi terpimpin.

Soe-2 lain lagi, melalui Pemilu, mulai tahun 1971 ia dikukuhkan berkali kali menjadi Presiden. Dengan Demokrasi Pancasila, partai partai diciutkan hanya menjadi 3.

Jaman Soe-1 inflasi mencapai lebih dari 500%, anti modal asing, rakyat antri beras dan minyak. Mahasiswa berdemo. Dari sisi politik, Soe-1 membuat poros Jakarta-Pyong Yang, Jakarta-Beijing. Politik luar negeri bebas aktif namun cenderung ke kiri.

Jaman Soe-2 inflasi bisa ditekan, rakyat tidak perlu antri beras, keran untuk masuknya modal asing dibuka lebar lebar. Kesejahteraan tampak membaik, walaupun itu mungkin berasal dari pinjaman modal asing yang harus kita bayar dengan bunga berlipat lipat. Tentu saja kecenderungan politik bergeser tajam ke blok barat. Hubungan diplomatik dengan Cina dibekukan. Walau pengusaha pengusaha Cina mendapat hak istimewa.

Korupsi ? Memang korupsi di jaman Soe-1 tidak sedahsyat pada masa Soe-2. Tapi entahlah, jika Soe-1 terus menjadi Presiden. Mungkin Soe-1 tidak akan korupsi, namun bukan rahasia jika para pengusaha Jepang saat itu dapat memasuki istana berkat peranan Ratna Sari Dewi. Begitu pula pengusaha Cina yang berusaha masuk lewat pintu istri Soekarno yang lain, Hartini.

Namun mungkin jatuhnya Soe-1 dan naiknya Soe-2 merupakan blessing in disguise kelak kemudian hari. Banyak orang kini mengingat Soe-1 penuh nostalgi dan kecintaan yang besar. Mungkin lupa dengan hari hari penuh antri beras, para mahasiswa tahun 60-an mungkin masih ingat apa yang membuat mereka turun ke jalan, dengan apa yang mereka tuntut. Salah satunya adalah Soe Hok Gie, yang gencar mengkritik kebiasaan Soe-1 yang hidup mewah bersama istri istrinya.
Walaupun akhirnya Gie menyesal karena ia turut membuka jalan bagi rezim baru, Rezim Soe-2 yang militeristik.

Saya masih tetap berandai andai, Jika Soe-1 terus menjadi Presiden, apakah Indonesia benar benar dapat bangkit seperti yang selalu dirindukan orang? Apakah hari hari antri minyak dan beras dapat berlalu atau Soe-1 hanya akan mengisi istananya dengan istri istri baru.

Pada akhirnya memang kekuasaan yang terlalu lama harus diwaspadai karena dapat mengubah yang tadinya demokrat menjadi otoriter.

























20 Februari 2011

PABRIK GULA

Sangatlah menarik bila menengok sejarah betapa pentingnya kedudukan pabrik gula pada masa Kolonial. Mengingat Belanda masih memegang monopoli atas gula, tidak heran bila perkebunan tebu menjadi andalan untuk mengeruk gulden sebanyak banyaknya.

Bila membaca literatur lama, terasa dengan jelas bahwa seorang administrator pabrik gula bisa memperlakukan seorang wedana seperti bawahannya.

Bacalah tulisan Pram atau Semaun yang menulis Hikayat Kadiroen,

Pabrik gula menjadi miniatur sempurna atas keadaan Hindia Belanda pada masa itu. Penderitaan buruh pabrik dan masyarakat sekitar pabrik banyak menginspirasi semangat pergerakan waktu itu.

Penghisapan atas manusia, itulah yang terjadi, itulah yang menjadi sumber inspirasi Karl Marx saat menulis Das Kapital. Ajaran Marx yang menginspirasi Soekarno dalam menulis pledoi Indonesia Menggugat.

Di tengah keringat para Buruh, lahir gerakan gerakan sebagai cermin usaha untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak.

Buruh pabrik gula, berada di struktur terbawah dari perusahaan, mungkin berada selapis di bawah buruh batik.

Namun seiring perkembangan jaman, pabrik gula yang dulu seperti wilayah otonom kini tidak terdengar lagi derunya. Pabrik gula kini menjadi wilayah tak bertuan, tidak ada lagi keuntungan yang dihasilkan walaupun orang Indonesia tidak bisa lepas dari gula.

Sayang memang, harusnya pabrik gula bisa menjadi garda depan kemandirian ekonomi Indonesia.

19 Februari 2011

DUNIA BERGERAK BERSAMA MARCO

“Saya berani bilang, selama kalian, rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia !!!”

Penggalan kalimat itu diucapkan oleh seorang anak muda, anak priyayi rendahan yang hanya bersekolah di Ongko Loro, bukan HIS atau HBS.

Marco, lengkapnya Mas Marco Kartodikromo, kelahiran Cepu tahun 1890 bukan berasal dari kalangan priyayi layaknya pemimpin pergerakan pada masa itu. Tidak seperti Tjokroaminoto, Misbach atau Tirto yang berasal dari kalangan tinggi yang mendapat pencerahan dari buku buku bacaan, Marco mendapatkan semua itu dari pengalamannya bersama rakyat jelata Hindia.

Dendamnya pada perbedaan kelas membuatnya tekun mempelajari bahasa Belanda yang pada masa itu dianggap sebagai bahasa kaum elit. Tekad yang meluap membuat pekerjaan sebagai juru tulis tidak lagi cukup untuk menampung semangatnya. Ia mengembara ke Bandung, belajar pada Tirto Adhi Soerjo, yang kala itu masyur dengan koran Medan Priaji.

Tirto lah mentor yang mengajarkan segala hal pada Marco, termasuk mengasah jiwa Marco yang radikal menjadi semakin militan. Tak heran jika Marco sangat kehilangan saat Tirto dibuang dan akhirnya wafat.

Marco bergabung dengan Sarekat Islam Semarang yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono, jiwa radikal Marco membuatnya lebih cocok dengan SI Merah ketimbang SI Putih-nya Tjokro. Marco dengan korannya "Dunia Bergerak" membuat organisasi SI yang sempat adem ayem menjadi bergerak.

Marco mengorganisasi pemogokan buruh dalam Sarekat Rakyat, Ia menggambil alih pimpinan setelah Haji Misbach disingkirkan oleh pemerintah Kolonial dan wafat di Manokwari.

Mas Marco menjalani pilihannya dengan konsekuen, ia salah satu cikal bakal organisasi yang kelak dikenal dengan nama PKI. Organisasi yang dianggap sebagai organisasi hitam di Indonesia.

Namun Marco, Misbach dan para pemula lainnya berangkat dari kesadaran akan bobroknya sekat sekat kelas yang diciptakan oleh para bangsawan Keraton dan dipertajam oleh pemerintah Kolonial dengan sengaja.

Mas Marco sadar, bahwa suatu saat gerakan radikal yang ditempuhnya akan mengalami masa akhir dan ia sudah siap untuk itu.

Marco Kartodikromo, putra Cepu yang menempati tempat sangat terhormat dalam sejarah pers Indonesia.

01 Februari 2011

AKU

Aku anak perempuan pertama dari keluarga kelas menengah. Pengertianku akan kelas menengah, berarti di tengah tengah. Keluarga kami tidak miskin tapi juga tidak kaya. Pengertian tidak miskin di sini berarti orang tua kami memiliki rumah yang layak huni, sanggup menyekolahkan kami di sekolah yang cukup bermutu dan makan makanan yang bergizi.

Tapi kami juga tidak kaya. Ayah seorang pegawai, ibu adalah ibu rumah tangga biasa.

Dari kelas 1 sampai kelas 3 SD nilai rapotku lumayan, tidak pernah merah, rata rata 7. Nampaknya aku cukup beruntung, tanpa belajar keras nilaiku tidak pernah merah. Kelas 4 SD sampai kelas 6 baru aku mengenal namanya persaingan dalam nilai.

Aku mulai terpacu belajar dan hasilnya lumayan selalu masuk 3 besar. Saat ulangan umum SD pun NEM ku mencapai rata rata 8 kurang sedikit. Membuatku bisa masuk SMP negeri mana pun di Depok.

Aku sama sekali tak peduli tentang SMP, ibuku yang menginginkan aku masuk Mardiyuana. Di SMP, ternyata masa masa itu baru aku ketahui adalah masa puber, dimana teman teman perempuanku kurasakan lebih genit terhadap lawan jenis. Di situ aku belajar seperti biasa, bersaing dengan teman temanku yang laki laki untuk meraih ranking.

Seperti yang diduga, dengan fokus terasa mudah untuk meraih nilai nilai bagus dalam fisika dan matematika. Sedikit ada romantika SMP dengan lawan jenis tapi ya begitu begitu saja. Singkat kata NEM SMP ku di atas rata rata. Sekali lagi dengan mudah aku bisa memilih SMA Negeri mana pun di kota Depok dan Bogor.

Lagi lagi ibuku memilih sekolah swasta, kali ini di Bogor. Aku sama sekali tidak peduli dengan SMA manapun yang dipilih. Satu hal yang selalu membuatku tersenyum di kemudian hari, adalah pilihan untuk bersekolah di sekolah swasta ternyata selalu membuat orang menyangka nilai NEM ku tidak cukup untuk sekolah negeri atau aku tidak diterima di sekolah negeri. Padahal sungguh mati aku tidak pernah tahu beda sekolah negeri dan sekolah swasta pada saat itu.

Di SMA yang peraturan dan persaingannya sangat ketat itu barulah aku merasa sangat jenuh...pelajaran aku terima begitu saja, prestasiku sudah pasti menurun tapi tetap naik kelas. Semua terasa membosankan. Tapi lagi lagi saat ujian nasional SMA, nilai NEM ku di atas 7.

Aku sama sekali tidak tertarik untuk menjadi mahasiswa universitas negeri. Saat ikut sipenmaru, aku asal asalan . Lagi pula aku sudah diterima di Tarakanita. Aku tidak ingin lama lama kuliah. Aku ingin segera punya uang sendiri dan bebas bepergian kemana pun tanpa perlu ijin dari orang tua.

Rasanya aku tidak punya cita cita ingin mempunyai profesi apa. Kalau dulu saat TK aku bilang ingin jadi dokter, itu karena aku tidak punya referensi profesi lain.

Kuliah sekretaris ternyata juga membosankan. Bosan mendengarkan para suster yang selalu berbicara tentang moral dan ajaran cinta kasih. Semua petuah mental dari telingaku. Lagipula aku sedang seru serunya punya pacar. Sialnya aku mempunyai sifat keras, saat itu rasanya aku menjadi anak yang sulit diatur. Berkali kali bentrok dengan Ibuku.

Saat bekerja, barulah aku rasakan hidup yang real. Hidup tidaklah selalu lurus dan mulus, tapi tetap terasa lebih manusiawi. Ayah dan Ibu mulai melepasku, bebas pulang malam bahkan pagi. Bebas pacaran tanpa harus pusing dengan interogasi ibu.

Ternyata cita citaku adalah ingin punya uang sendiri.

Dunia kerja yang keras yang kujalani lebih awal justru mengajarkan untuk tetap tangguh, sifatku yang keras kepala sebagai anak pertama membuatku harus berdiri paling depan saat tanggung jawab sebagai kepala keluarga diestafetkan kepadaku. Sempat tergagap gagap sejenak, tapi ada kebanggaan walau ada kalanya terasa berat. Dan ada previlese tersendiri. Bayangkan saja waktu mulai bekerja pertama kalinya, tentu saja masih tunduk terhadap orang tua. Tapi begitu tongkat estafet beralih, tidak ada yang berani mengganggu saat aku sedang beristirahat kala week end. Aku cuma perlu pamit seperlunya saat pergi dengan teman untuk pulang esok paginya..

Ibuku tidak lagi berani mempertanyakan teman laki lakiku...apakah aku serius atau tidak dalam berpacaran.

Menyesalkah aku karena tidak meraih gelar gelar akademis, kadang ya...tapi aku tetap bangga karena aku belajar dengan cara yang lain. Setidaknya aku bisa membiayai diriku, adik dan orang tuaku di suatu masa.

Dengan sifatku yang senang menyendiri dan sangat berlainan dengan anggota keluargaku yang lain, mau tidak mau aku butuh mandiri secara finansial untuk mempertahankan duniaku dari intervensi orang. Dan itu kusadari kemudian.

Aku bukan seorang family woman, butuh waktu lama untuk aku menyadari ada orang lain disisiku yang membutuhkan perhatian tersendiri, namun tentu saja aku berusaha belajar untuk memenuhi tanggung jawab sebagai perempuan yang telah berkeluarga. Tapi ada hal hal yang memang mau tidak mau membuatku berbeda dan kelihatan aneh dari perempuan lain. Ada ciri individualis dan ego yang tinggi yang masih terus terlihat. Aku tidak bisa berhenti mengejar materi karena memang aku suka dengan kemapanan finansial, hanya saja aku benci jika harus menadahkan tangan. Mungkin bisa dibilang perempuan materialistis dalam bentuk lain.

Aku hampir tidak pernah kesepian, karena selalu berdialog dengan pikiranku sendiri. Kadang orang menjuluki si acuh tak acuh, karena terlihat selalu asyik sendiri. Belakangan aku menemukan idiom yang tepat "Berada di dunia ambang".

Namun apapun keadaanku, nampaknya aku wajib bersyukur karena ada yang selalu melindungi, memberi rejeki, memberikan jalan keluar yang tak terduga. Walau aku kerap melupakan dan melanggar peraturan-Nya.