13 Juni 2016

Dongeng Geologi di Ciletuh

Layar GPS tiba-tiba memutih menandakan jalur yang sedang kami lewati ini tidak terlacak lagi.  Saat itu mobil kami sedang oleng ke kiri ke kanan mencoba menaklukan jalan tanah bercampur batu di daerah Waluran.  Waluran adalah kecamatan yang terletak di Sukabumi, tepatnya di Jampang Kulon.

Jalur Waluran adalah salah satu rute potong jalan apabila ingin menuju ke kawasan Lindung Geologi Ciletuh atau yang biasa disebut Geopark Ciletuh.  Sebenarnya kami tak sengaja menemukan jalur ini saat mengikuti sinyal GPS di jalan raya Sukabumi-Jampang Kulon, mata saya tak sengaja tertumbuk pada papan penunjuk arah di sebelah kanan.  Panah menuju arah Ciletuh menunjuk mendaki lewat perkebunan teh.



Akhirnya kami memutuskan mengikuti tanda panah itu, dan memang mendadak jarak yang tersisa jadi memendek, terlihat di layar GPS.  Namun hal itu juga membawa konsekuensi lain; jalan yang lumayan buruk, sehingga mobil SUV kami tidak dapat dipacu cepat.  Beberapa kali kami harus bertanya kepada penduduk sekitar arah Ciletuh, karena sinyal GPS mendadak hilang.  Untung sinyal HP masih ada

Di area perkebunan teh, sering terlihat plang papan nama Wilton, sebuah perusahaan pertambangan yang mengeksplorasi logam mulia. Sukabumi memang terkenal sebagai daerah penghasil emas. Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (PAPSI) yang akan kami temui terletak di kampung Ciemas. Ci berarti sungai, Ciemas berarti sungai emas.  Dan, kemudian kami ketahui di kampung Ciemas inilah banyak terdapat tambang emas rakyat selain perusahaan tambang Wilton.

Setelah beberapa lama terbanting-banting, akhir kami sampai di jalan raya kampung Ciemas, di depan ada atm BRI dan di seberangnya ada terminal Taman Jaya, ya kami sudah sampai. Tinggal menelepon kontak kami pak Yudi dari PAPSI.  Akhirnya kami menunggu jemputan sambil berbelanja di Alfa Mart tepat di sebelah atm.  Ya, sudah ada minimarket berjaringan dan kelihatannya baru saja berdiri.  Kalau dihitung-hitung durasi perjalanan dari Depok jam 3 pagi, sampai di lokasi jam 10 an, kurang lebih 7 jam lah, sudah termasuk macet begitu keluar tol Ciawi sampai Cigombong karena ada perbaikan jalan

Tak lama seorang anak muda dengan motor bodong berhenti dekat mobil kami, ia dikirim pak Yudi untuk memandu kami, Prasma namanya.  Prasma inilah yang menuntun kami menuju rumah yang akan kami bertiga inapi untuk semalam.  Perempuan tua pemilik rumah yang biasa disapa Umi menyambut kami.  Rumahnya cukup besar, ia hanya tinggal sendiri.  Anak-anaknya sudah berkeluarga dan memiliki rumah sendiri.

Rata-rata rumah di kampung Ciemas ini sudah dari bahan permanen, cukup lega dan teratur.  Nampaknya pengelolaan akomodasi di sekitar kawasan Ciletuh ini memang diatur oleh warga setempat.  Jadi resort-resort besar milik orang Jakarta tidak akan diijinkan dibangun di sini; yah, mudah-mudahan peraturan ini dijalankan dengan sungguh-sungguh. 

Sempat kami ditawarkan rumah lain, namun karena sudah lelah dan rumah Umi terasa cukup nyaman dan di depan jalan maka kami memilih rumah tersebut.  Setelah menaruh barang kami makan siang yang disediakan oleh ibu-ibu setempat, o ya nasinya juga disediakan dari beras hitam dengan lauk ikan dilumuri bumbu pedas dan orek tempe, khas desa di Jawa Barat. Namun tampaknya kami tidak terlalu bernafsu, mungkin karena lelah.  Asyar tidak terbiasa makan pedas jadi hanya mencicip sekedarnya.  Tidak ada telur ceplok kegemarannya.

Kelar makan dan istirahat, tidak pakai mandi karena akan berpeluh-peluh terlebih dahulu di air terjun jadi nanti saja mandinya.


Tujuan pertama adalah curug Sodong yang berjarak 12 km dari lokasi kampung tempat kami menginap.  Jarak 12 km itu terdiri dari jalan yang lumayan bagus dan jalan yang sedang diperbaiki.  Kontur tanah naik turun dan berkelok, cukup tajam di beberapa bagian.  Sekarang ini mobil-mobil macam Livina sudah bisa masuk, walaupun tetap harus berhati-hati.  Tahun lalu sepertinya masih harus memakai jeep 4WD.  Memang sejak UNESCO mensahkan Ciletuh sebagai kawasan lindung geologi tahun 2015 lalu maka perbaikan jalan segera dikebut.

Ada jembatan yang jadi icon tentang betapa parahnya jalur menuju Ciletuh, ternyata pas kami lewati sudah diperbaiki dan tidak lagi terbuat dari kayu kelapa dengan tambalan sana sini; kemudian melewati kampung nelayan, menuju Jampang Kulon.

Curug Sodong

Saat melewati persawahan tiba-tiba curug Sodong muncul di kejauhan, bukan main; pemandangan indah itu dapat dinikmati sampai ke lokasi.  Mobil bisa masuk dan parkir tepat di dekat air terjun.  Jadi tinggal jalan kaki, turun ke bawah, sangat mudah.  Curug Sodong terdiri dari 2 air terjun berdampingan setinggi kurang lebih 15 meter.  Airnya mengalir deras jatuh ke kolam pemandian.
Di atasnya ada air terjun lagi bernama Curug Cikanteh.  Nah jalan ke curug inilah yang butuh keringat.  Kami bertiga bersama Prasma naik menuju curug Cikanteh, jalurnya lumayan terjal.  Setelah rute terjal terlalui, ada jembatan bambu yang harus diseberangi, lalu merayapi batu-batu licin dan berlumut lalu dibalik batu-batu besar serta rimbunnya pepohonan terlihatlah curug Cikanteh.

Tidak ada orang di situ, ya pastilah, mengingat jalurnya yang butuh perjuangan.  Curug Cikanteh terdiri dari 2 air terjun, atas dan bawah juga dilindungi oleh tebing-tebing batu.  Kami melepas lelah sambil mengagumi keelokan air terjun dan bebatuan yang mengelilinginya.   Setelah napas lega dan tenaga pulih kami balik badan mengingat masih ada tempat yang harus didatangi.

Curug Cikanteh
Saat kembali itulah kami bertemu beberapa pengunjung yang sedang merayap-rayap menuju arah kami, begitu pula saat di jembatan bambu.  Beberapa anak muda itu tampak termangu melihat kondisi jembatan dan berbisik-bisik melihat Asyar yang masih kanak-kanak (12 tahun ding) tapi kelihatan santai menyeberangi jembatan.

Perjalanan pulang lebih mudah dari pergi, sampai di parkiran kami ditagih biaya retribusi sebesar Rp 5.000. Oya tadi saat memasuki rute curug Sodong kami juga sudah ditarik retribusi oleh penduduk sekitar, per orang kena Rp 3.000

Mobil diarahkan menuju pantai Palampang,   Ternyata sebelum sampai tujuan, hujan turun lumayan deras, sehingga kami mampir dulu di warung bakso sekedar mengisi perut. 

Banyak motor bodong tanpa plat nomor berseliweran di sepanjang jalan.  Ya, daerah ini memang target penjualan motor-motor berkondisi demikian.  Motor bodong yang dipakai Prasma dibeli dengan harga Rp 2.000.000.  Kata Prasma, orang sini harus kerja keras, macul untuk sekedar membeli motor bodong, jadi Polisi pun tidak tega untuk menilang para pemilik motor bodong tersebut.  Kami yang mendengarkan ikut manggut-manggut.

Sudah diingatkan oleh Prasma bahwa pantai Palampang berpasir hitam. Ok tak apa, tapi kotor ternyata. Saat membeli es krim, baru disadari di sekitar pantai tidak disediakan tempat sampah oleh pengelolanya, malah disuruh buang langsung ke pasir karena pasti nanti ada yang angkut...ya gak gitu juga kali.

Pas kami datang, di pantai akan diadakan lomba balap motor menyusuri tepian pantai.  Motor-motor yang telah dimodifikasi silih berganti mencoba trek yang disediakan.  Vespa tua beraneka warna juga ikut berlomba.  Karena masih lama akhirnya kami ke curug Cimarinjung yang tak jauh dari pantai Ciletuh, bahkan terlihat dari laut. 

Curug Cimarinjung

Walaupun tidak jauh tapi jalanannya cukup menyebalkan, jelek.  Namun dari parkiran jalan kaki ke curug cukup santai sekitar 5-10 menit, lalu ketemu pos retribusi.  Dari pos jalan sedikit dan sampailah di curug Cimarinjung.  Curug ini memang mengesankan, air mengalir deras menghantam bebatuan di kolam.  Cuaca yang semula panas di pantai berubah mendung dan tetes air kembali turun dengan deras.  Akhirnya kami bergegas berteduh di pos retribusi.  Lumayan lama juga menunggu hujan reda, sampai bosan duduk bengong di sana. Akhirnya setelah matahari bersinar kembali dan hujan usai kami kembali ke parkiran mobil.

Sialnya hujan deras tadi membuat jalan tanah yang harus dilalui menjadi kubangan.  Mobil kami terperosok sehingga harus didorong.  Untunglah ada 2 orang bapak yang kebetulan lewat membantu mendorong.  Akhirnya mobil bisa melalui kubangan tadi dan berjalan ke posisi aman di atas tanah berbatu baru kami masuk kembali ke dalam mobil dan lanjut balik ke pantai Palampang.

Persiapan trek-trekan

Ternyata saat kami kembali, lomba balap masih belum dimulai, hanya para peserta makin santer beraksi memacu motor di area trek. Sudah hampir pukul 5 sore, sedang jarak pantai dengan homestay masih jauh.  Akhirnya kami memutuskan kembali saja ke homestay.  Benar saja, hari mulai gelap dan kami masih di jalan.  Tapi untung saat matahari mulai tenggelam kami sudah sampai di Panenjoan, tak jauh dari homestay.  Kami memutuskan mampir dulu.  Panenjoan adalah semacam titik pandang ke arah teluk ciletuh dengan tebing dan lembah di bawah.  Dulunya lembah itu adalah lautan.

View dari Panenjoan
Sayangnya Panenjoan diselimuti kabut sehingga jarak pandang terbatas.  Hujan pun turun kembali dengan deras sehingga kami terpaksa berteduh di lobby penginapan Panenjoan.  Sudah ada penginapan berupa kamar-kamar sederhana berisi tempat tidur ukuran queen size namun kamar mandinya di luar.  Kurang nyaman kalau membawa keluarga menurut saya .  Saat hujan lebat begini teras depan kamar tergenang air.  Masih lebih nyaman homestay rumah Umi yang bersih, terang dengan ruangan cukup luas.

Akhirnya kami kembali ke mobil dan melaju ke rumah Umi yang memang sudah dekat.  Sampai rumah kami langsung mandi dan makan.  Segar, dan nikmat sekali leyeh-leyeh sambil mengobrol dengan Umi.  Saya memilih tidur di sofa ruang tamu dan alhamdulilah saya tidur lumayan pulas.  Asyar susah tidur, banyak nyamuk katanya...masa sih.

Paginya kami berniat untuk menyeberang ke pulau-pulau untuk melihat formasi batuan yang paling tua di pulau Jawa.  Ternyata Prasma yang semalam ternyata bergadang bangun kesiangan, akibatnya tidak dapat berangkat pagi. Pantai keburu ditutup untuk upacara hari nelayan.  Akhirnya kami mampir lagi di Panenjoan, Di situ ada koperasi milik warga yang sudah buka dan kami pun singgah sekedar minum kopi dan teh dan membeli beras hitam produksi warga setempat.  Di koperasi kami berbincang dengan kang Asep, salah satu pengurus PAPSI pula.  Banyak yang kami bicarakan dari curug-curug yang ada, kondisi sosial masyarakat Ciemas sampai soal pertanian organik.  Ada lagi soal teluh yang semula digunakan sekedar menjaga tanaman dari hama namun pada perkembangannya jadi menyimpang.  Lalu ada lagi soal beras hitam yang dulunya tidak boleh diperjualbelikan karena merupakan beras untuk keperluan upacara sampai soal bertanam padi dengan menggunakan polybag.

Isinya bulir beras hitam
Puas mengobrol akhirnya kami pamit untuk mendatangi Curug Awang.  Curug ini letaknya paling dekat dengan homestay.  namun tetap jalan masuknya menyedihkan.  Mobil kami tidak sampai parkiran karena medannya cukup terjal.  Jadi kami meninggalkan mobil beberapa puluh meter di atas dan berjalan kaki ke bawah, tempat curug Awang berada.   Curug Awang mirip Niagara, berair coklat akibat lumpur dari sungai mungkin disebabkan oleh tambang liar.  Sayang karena waktu yang terbatas kami tidak turun ke bawah, jadi hanya di atas saja.  

Setelah puas kami berjalan kembali menuju mobil. Lagi-lagi mobil mengalami slip, dan terpaksa harus didorong, kali ini hanya kami bertiga karena sama sekali tidak ada orang di jalur ini, untung tenaga satu lelaki dewasa, satu perempuan dan satu bocah cukup kuat untuk mendorong mobil, dan kebetulan ban mobil hanya slip sedikit di lobang kecil dan bukan kubangan.

Sebenarnya masih ada 2 curug lagi yang belum dijelajahi, yaitu curug Puncak Manik dan curug Tengah, namun kondisi pendakian kedua curug tersebut lebih berat dibanding curug Cikanteh.  Terutama curug Puncak Manik yang masih berupa hutan rimba, masih banyak harimau kata pak Asep.  Jadi sementara ini dilewati dulu.

Curug Awang

Mobil pun segera melaju menuju pantai dan sampai di dekat pantai sudah jam 10 tapi pantai masih ditutup karena belum selesai upacara, akhirnya mengikuti petunjuk Prasma, kami mengambil rute memutar untuk sampai di pantai.  Bosan setelah menunggu beberapa lama, kami pun menuju muara sungai, di mana upacara berlangsung.  Ternyata pak bupati masih berpidato.  Namun yang menarik setelah pidato usai, ada pertunjukan tari oleh para mojang geulis Ciletuh, dan di akhir tarian ada seorang gadis berpakaian serba hijau.  Sepertinya tarian ini ditujukan sebagai penghormatan kepada Ratu Kidul, penguasa laut selatan.  Cantik-cantik gadisnya, terutama gadis berkostum serba hijau itu. 

Upacara hari Nelayan

Puas menyaksikan pertunjukan, Prasma rupanya dari tadi sibuk menghubungi orang yang akan mengantar kami berperahu.  Kami pun diajak menuju sebuah bangungan tak jauh dari tempat menonton yang ternyata adalah kantor dinas perhubungan laut.  Seorang laki-laki, pak Samsan namanya akan mengantar kami sekaligus menjadi guide.  Jam sudah menunjukkan hampir pukul 12:00 jadi memang harus bergegas karena akan kembali ke Jakarta hari itu juga.


Selain kami berlima termasuk pak Samsan di dalam perahu, ada 2 anak kecil ditambah 2 orang dewasa lagi sebagai crew perahu.  Total ada 9 orang dalam perahu, meriah dan menyenangkan.  2 anak kecil itu anak-anak laut, anteng duduk di atap disapu angin barat.

Perahu melaju menuju pulau-pulau seperti pulau Kunti, pulau Mandra, dan batuan geologi yang terserak di laut.  Pulau Kunti dikenali dari guanya, sayang laut tengah pasang, jadi tidak mungkin merapat ke gua itu.  Batuan di pulau Kunti adalah batuan tertua di pulau Jawa menurut para geologis yang sering meneliti di sana.  Usianya sekitar 65 juta tahun.  Banyak terdapat batu akik di sana.  Seorang ahli geologi dari Universitas Pajajaran yang meraih gelar profesornya melalui penelitian tentang Ciletuh yang memberi nama pulau Kunti. Pak Samsan pun punya cerita menarik tentang larangan mengambil batu di pulau Kunti.

Pulau Kunti

Di tengah laut ada batuan berbentuk seperti badak, mata kodok, batu lapis, ada yang mirip punggung naga, bahkan bentuk batu yang mirip penis juga ada.  Yang sering digadang-gadang adalah batu batik.  Batu batik ini terletak di tengah-tengah patahan bumi yang terangkat ke atas.  Menurut pak Samsan, batu karang ini bertumbuh setidaknya 1 cm per tahun.

Batu Kodok

Batu lapis, di atasnya nemplok batu ko*t*l

Kawasan lindung geologi Ciletuh ini ternyata berbatasan dengan Ujung Genteng.  Kabarnya banyak terdapat banteng di kawasan hutan.  Banteng-banteng ini dapat berenang dari Ciletuh ke Ujung Kulon dan sebaliknya menurut pak Samsan.  Entah benar atau tidak.

Batu batik



Kelar keliling-keliling, ada acara snorkeling.  Sebenarnya dengan kondisi angin barat seperti ini percuma juga snorkeling karena kuatnya arus membuat kondisi bawah air keruh sehingga visibility menjadi tidak jelas.  Tapi lumayanlah buat sekedar nyebur.  Setelah puas berenang perahu pun berputar kembali ke pantai.  Mendekati pantai kami disuguhi pemandangan curug Cimarinjung yang terlihat jelas dari tengah laut.



Gerombolan monyet

Nah setelah terpapar air laut, susah menemukan fasilitas kamar mandi umum untuk bilas.  Hanya ada di rumah dinas perhubungan laut itulah.  Melihat kondisi demikian akhirnya diputuskan untuk mandi di rumah Umi saja, toh kami masih akan kembali untuk pamitan.

Kami pun bergegas menempuh perjalanan kembali ke rumah Umi untuk membersihkan diri dan pamitan, Umi membekali dua sisir pisang Baka.  Baik sekali beliau ini.

Akhirnya kami pun siap berangkat pulang, kali ini melewati jalur Jampang Kulon-Surade, sesuai GPS, lebih jauh tapi lebih nyaman jalurnya.

Alhamdulilah sampai di Depok dengan selamat walau mengalami kemacetan, namun dari jam 2 siang berangkat dari Ciletuh sampai Depok jam 9 malam, rasanya masih wajar.  

Sedikit catatan soal Ciletuh:
Ciletuh memang baru saja dibuka resmi sehingga masyarakatnya masih dalam proses menuju desa wisata.  Wisata di kawasan lindung geologi ini merupakan wisata dengan minat khusus jadi pastikan para pendatang siap bergaul dengan alam.
Untuk keluarga yang datang dengan anak kecil memang tidak disarankan karena untuk penginapan masih mengandalkan rumah penduduk.  Jadi pastikan anak sudah berumur 12 tahun ke atas bila ingin berpetualang di Ciletuh.
Untuk yang suka bertualang, Ciletuh sudah pasti mampu memikat jiwa para petualang.
Saat ini jalan penghubung utama dari Ciemas menuju Jampang Kulon memang sedang dalam perbaikan.  Tahun 2017 pasti infrastruktur jalan akan lebih baik.

VIDEO






Tidak ada komentar: