28 Agustus 2014

JEMBER FASHION CARNAVAL : Pawai Yang Mendunia

"Sebentar lagi stasiun Rambi mbak, setelah itu baru Jember"

Demikian petugas KAI menginformasikan stasiun yang akan disinggahi oleh kereta yang kami tumpangi.  Nampaknya ia iba melihat tampang-tampang kusut kami berdua yang duduk gelisah dalam KA Logawa jurusan Jogja-Jember. 

Sebelumnya ia bertanya tujuan kami ke Jember dan mengangguk maklum saat tahu kami datang untuk Jember Fashion Carnaval (JFC).

Jumat jam 21:55 kami berangkat dari Jakarta menuju Jogja dengan KA Bogowonto dan dilanjutkan dengan KA Logawa hingga sekarang hampir jam 19:30 mendekati Jember.  Total hampir 20 jam dihabiskan dalam kereta dengan biaya yang sangat murah, kelas ekonomi.  

ketiduran
Waktu berjalan dengan lambat dalam kereta, bolak-balik mainin ponsel, motretin orang, ngobrol dan terakhir tidur menjadi tindakan pamungkas.  Tempat duduk bernomor 1A & 1B ternyata menjadi teman setia selama pulang dan pergi.  Menjengkelkan karena dekat toilet yang kadang berbau pesing.

Akhirnya, Jember juga.  Legaaa...dan kami pun turun
menyusuri peron stasiun Jember yang apik dan keluar mencari kendaraan ke hotel.
Tidak nampak ada taksi di stasiun Jember, hanya terlihat ojek dan becak.  Kami memilih naik ojek menuju hotel Ardi Chandra yang terletak di jl. Gajah Mada.

Malam itu Jember terlihat ramai.  Rupanya JFC memang membawa keriuhan setahun sekali.  Alun-alun kota nampak semarak.

Ojek kami terus melaju menuju hotel.  Tukang ojek saya hampir kehabisan bensin sehingga ia mampir dulu di SPBU yang juga dipadati oleh pengendara, efek pembatasan BBM memang lebih terasa di diaerah.

Sampai di hotel Ardi Chandra, kami disambut oleh pemilik hotel, ibu Nani yang sangat ramah.  Kamar kami yang berada di lantai atas seharga Rp 158,000 untuk 2 malam, sederhana tanpa fasilitas TV namun sangat bersih baik kamar maupun kamar mandinya, lagi pula siapa yang butuh TV.

Tetap semangat menonton sambil menyusui
Tak banyak kegiatan yang kami lakukan malam itu, selain mandi dan cari makan di lesehan tak jauh dari hotel.  Makanannya lezat, dengan menu bebek galak, nasi lele goreng, lalap dan minum dan hanya dihargai Rp 54,000 padahal saya dan Virly sudah kekenyangan setengah mati.  Lalapan di Jember sangat representatif; beberapa iris ketimun, beberapa potong terong goreng dan kangkung rebus yang kekar.

Setelah makan kami pun memilih tidur, menyimpan tenaga untuk besok.

Hari ini adalah puncak Jember Fashion Carnaval 2014 yang sudah berlangsung dari tanggal 20 Agustus.  

Sesuai kata ibu Nani, jam 9 pagi kami sudah tiba di alun-alun kota.  Jl. Gajah Mada yang juga jalur pawai JFC masih belum terlalu ramai.  Di alun-alun sendiri sudah mulai ramai pengunjung.  Panggung untuk fotografer sudah berdiri, kursi-kursi yang memagari arena catwalk sudah disiapkan.  Menurut si Ibu tadi, jalan Gajah Mada akan ditutup mulai jam 11-an.

Jam 10 lewat, warga benar-benar sudah berdatangan ke lokasi.  Kami berdua ditemani satu kawan dari Malang berputar untuk menyeberang ke sisi depan Mesjid Agung mencoba menembus jalan yang sudah diblokir.  Akhirnya kami berhasil mendapat tempat di depan, di belakang kami orang-orang merangsek mencoba mencari posisi yang pas.  Jangan berani-berani meninggalkan tempat yang sudah bagus ini, karena akan langsung diserobot oleh yang lain.  


Berdiri berjam-jam di bawah panas terik matahari mau tidak mau harus dilakukan, ribuan orang menyemut berjajar mengikuti pagar pengaman sepanjang jalur carnaval menunggu event berlangsung.  Beruntung kami sudah berbekal botol minuman. 

Rupanya profil 3 orang perempuan bukan warga Jember dengan kamera DSLR berdiri di depan tertangkap oleh crew televisi, entah dari TV apa, segera mereka meminta kami meng-endorse JFC..."halah mas!,,wong tampang sudah mirip udang rebus memelas kepanasan masih harus disorot pula"

Tapi bukan kami saja tukang foto amatir yang berdatangan ke Jember, tercatat di website resmi JFC hampir 1000 fotografer dan media yang mendaftar dan pasti banyak lagi yang tidak terdaftar termasuk kami.  Ada sekumpulan fotografer sepuh dari Jepang yang terlihat sedang di booth pendaftaran tadi.  Di seberang kami dua orang nyonya yang sepertinya dari Jakarta duduk menyempil mengenakan kaca mata hitam dan memegang payung, mencoba melindungi diri dari keganasan matahari Jember.  


Terdengar logat-logat Madura riuh bercakap-cakap, ternyata Jember memang didominasi oleh etnis Madura.  Tukang minuman berseliweran menjajakan dagangannya.  Ada juga yang terlihat seperti satu keluarga menggelar tikar di belakang pagar pembatas,,sudah mirip piknik.

Akhirnya baru jam 2 siang pawai dimulai, wuihhh kami sudah berdiri dari jam 10 pagi, kebayang dong kayak apa rasanya.

Sigap, kami segera menyiapkan kamera, tak berani berspekulasi dengan lensa fix 50 mm, saya memilih menggunakan tele mengingat kami tak punya akses untuk masuk ke arena catwalk jalanan yang dibatasi pagar serta tak mungkin juga pindah tempat melihat padatnya manusia, benar-benar mobilitas yang terbatas.

Yang pertama muncul adalah kelompok berkostum ala Mahabharata. Paling depan di atas kereta kencana berdiri Dynan Fariz pendiri dan penggagas JFC.  Di belakangnya berbaris cowok-cowok dengan kostum pengawal kuning keemasan dan hitam berpostur atletis berparas ganteng dan langsung memancing teriakan histeris dari kami...


"Maasss ganteennng..noleh sini masss!!!...dan klik-klik kamera kami segera bekerja.

Setelah jeda sesaat, muncul Phoenix, Borobudur, Wild Deer, Tambora, Pine Forest, Flying Kite, Chemistr, Stalagmite dan terakhir Apache.  Saya memperhatikan kostum-kostum yang dikerjakan dengan detail yang cukup rumit.  Sepatu berhak super tebal ala wedges yang dikenakan para peserta menjadi perhatian tersendiri.

lihat sepatunya
Perpindahan dari tema satu ke tema lainnya, agak sedikit memakan waktu sehingga menimbulkan jeda agak lama.  Sedikit kekurangan pada musik pengiring yang agak kurang heboh pada tema tertentu.

Setiap tema yang muncul selalu disambut oleh teriakan histeris para pengunjung.  Makin ke sini, suasana makin riuh.  Para pengunjung yang tadinya tertib berdiri di belakang pagar pembatas mulai merangsek masuk jalur.
Saya sendiri bersicepat, berusaha memotret di sela-sela tubuh para pengawal pawai yang terdiri dari beberapa motorist dan orang-orang yang bertugas membawa batangan logam yang berdiri di sekeliling peserta membentuk pagar.

Jengkel karena objek foto terganggu oleh orang-orang yang masuk runway pawai,,akhirnya kami memutuskan membuka sekat pagar dan masuk ke sisi runway.  Apa boleh buat, menjelang akhir acara penonton bahkan sudah mulai berfoto selfie dengan anggota carnaval yang sedang beratraksi.  Makin susah mendapatkan foto yang bersih, padahal pawai terakhir adalah tema Apache yang kostumnya sangar.  Untunglah iringan terakhir pembawa spanduk berakhirnya acara segera datang.



Lega rasanya sudah mendapat foto-foto yang diinginkan walaupun mungkin kurang sempurna akibat terbatasnya gerak dan kelelahan fisik.  Kami segera menghenyakkan diri duduk di atas kursi menyaksikan orang-orang mulai meninggalkan tempat.

Kami mengobrol sebentar mereview acara JFC yang sedemikian heboh sehingga menjadi icon kota Jember dan berhasil menjadi event tahunan kelas dunia.  Pengunjung yang berbondong-bondong datang dan meningkatnya pendapatan pariwisata Jember.

Tadi pagi saat menunggu JFC mulai, kami sudah menyaksikan para peserta JFC yang terdiri dari model dan warga biasa Jember yang berdatangan untuk bersiap.  Kesederhanaan tampak saat melihat para peserta menaiki becak dengan dandanan dan kostum menuju tempat acara, ada pula yang diantar dengan mini colt butut.  Beberapa orang berjalan kaki menenteng kostum yang akan dipakai.

Tukang-tukang becak berlalu lalang mengangkuti peralatan dan aksesoris peserta.


Melihat JFC bukan cuma melihat kegemerlapan peserta pesta kostum yang menyusuri catwalk jalanan utama kota Jember sepanjang 3.6 km diiringi oleh tempik sorak penonton namun juga kerja keras berbulan-bulan dari para pesertanya.  
Persiapan

Banyak para peserta JFC yang bukan model melainkan warga biasa.  Mereka mengeluarkan uang tak sedikit untuk membuat kostum plus belajar ilmu disain dan make up dan semuanya teraplikasi di atas panggung JFC ini.  Dan hasil dari pembelajaran selama ini banyak dari mereka yang mendapat beasiswa short course di sekolah mode Esmod Jakarta

Seyogyanya kita menghormati JFC bukan semata karena telah berhasil menjadi event tahunan tapi lebih utama karena dibangun dari mimpi dan kerja keras tiada henti selama belasan tahun.  Update terakhir ternyata sekitar 3000 fotografer dan media meliput acara JFC 2014, dan itu sungguh bukan hal yang sepele.

Mudah-mudahan perjalanan 11 tahun ini belumlah puncak dari JFC dan masih ada lagi raihan-raihan yang bisa dicapai.  Sampai berjumpa di Jember Fashion Carnaval tahun depan.




Tidak ada komentar: