12 Mei 2012

Menghargai Tembakau


Saya perempuan dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, SES-nya mungkin kalau mengikuti peringkat Nielsen akan masuk SES-A, kecerdasan juga standar.  Saya juga bukan tipe perempuan yang radikal, biasa biasa saja.

Saya bukan perokok, kadang-kadang saja merokok tapi lebih banyak tidaknya.  1 bungkus Marlboro masih tersimpan rapi di laci kantor selama berbulan bulan tanpa berniat mengisapnya.  Saya juga tidak suka melihat orang merokok seenaknya di angkot atau di bis. Tapi saya menyukai perokok yang beretika.

Saya tidak berkepentingan dengan merk rokok atau pabrik rokok manapun.  Otak saya terlalu bodoh untuk menganalisa apa ada agenda tersembunyi dibalik kampanye anti rokok atau apakah produsen rokok terkenal yang rajin mensponsori pagelaran budaya mempunyai motif tertentu

Waktu kecil saya sempat mempunyai stigma buruk tentang perempuan perokok, kurang elok kelihatannya.  Namun semakin besar kesan itu hilang dengan sendirinya.  Perempuan perokok sama saja dengan laki laki perokok.

Namun lagi lagi saya merasakan kegelisahan yang sangat jika mengamati seluk beluk rokok kretek yang berhadapan dengan kampanye kesehatan.   Bisa jadi kegelisahan berawal dari rasa antipati melihat maraknya iklan anti rokok yang provokatif berseliweran di ruang publik.  Namun di sisi lain publik menikmati fasilitas yang dibangun dari pajak rokok yang mereka maki sebagai pembunuh nomer satu.
Tidak tahu atau hipokrit?              
                       
Sering emosi saya tersulut melihat comment anti rokok.  Bukan berarti saya menganggap merokok itu sehat.  Namun saya menganggap rokok yang berbahan tembakau asli dengan saus cengkeh yang asli berbungkus klobot tidak lebih membahayakan dari sandung lamur.  Jika digunakan berlebihan akan membahayakan kesehatan, sama seperti obat.  Sayang dokter lebih tertarik membicarakan bahayanya rokok tanpa berniat meneliti lebih lanjut.

Rokok bagi kebudayaan Indonesia juga merupakan alat komunikasi sosial, jika diperhatikan di kampung-kampung, saat pertemuan selalu disediakan rokok yang dikeluarkan dari bungkusnya.
Ada banyak kisah budaya dan perlawanan dalam sebatang rokok. Bahwa semula cengkeh dioleskan di atas rokok untuk mengurangi sakit di dada.  Rara Mendut menggunakan rokok untuk menjadi perempuan merdeka menghalangi niat Wiroguna yang ingin menjadikannya selir.


Tentu saja saya tidak ingin anak saya merokok di usia dini, namun itu tidak membuat saya serta merta memusuhi tembakau.  Terlalu banyak hal yang lebih patut dimusuhi daripada tembakau. Saya selalu percaya bahwa semua di dunia ini diciptakan dengan manfaat bagi kemaslahatan manusia.

Pabrik rokok menampung jumlah tenaga kerja yang masif.  Ada penelitian yang menyebutkan saat krisis moneter tahun  1998 imbasnya hampir tidak terasa pada pabrik rokok.  Dalam satu daerah kehidupan masyarakat sangat terkait dengan panen tembakau. Dari mulai keranjang, buruh, ojek sampai warung makan.  Tembakau telah menghidupi jutaan petani dari jaman dulu sampai pada generasi sekarang.

Mereka yang sama sekali tidak tahu menahu tentang seluk beluk tembakau dengan seenaknya menyuruh para petani tembakau berganti mata pencahariaan.  Sama sekali tidak sadar bahwa mereka juga menjadi pembunuh sekian juta petani..

Tembakau dan cengkeh produksi Indonesia merupakan unggulan yang mengancam produk tembakau Amerika, kini produk unggulan yang harusnya dijaga dan dipertahankan dengan seenaknya diinjak oleh Negara lain, dianggap berbahaya dan dilarang.  Sementara mereka pula yang dengan semangat mengakuisisi perusahaan rokok kita.

Tentu saja kita sangat berhak marah dan terhina kala hasil hasil bumi kita dianggap sumber penyakit oleh orang luar.

 Orang luar yang seenaknya mengacak acak tatanan alam dan dibiarkan oleh penguasa.  Kalau sudah begitu tidak ada kata selain...LAWAN ..!

Tidak ada komentar: