22 April 2011

RA Kartini

Seorang rekan memposting tulisan tentang RA Kartini di wall-nya, kaitan surat surat Kartini kepada pasangan Abbendanon dengan aliran Theosofi.

Aliran ini memang erat kaitannya dengan pluralisme agama. Dalam suratnya Kartini mengakui keragaman agama dan ia berpegang pada nuraninya sendiri.

Akibat tulisan tulisan inilah ia menggugat kesahihan Kartini sebagai figur emansipasi dan yang terutama pengaruhnya kepada umat muslim. Ia mengkuatirkan maraknya aliran semacam theosofi yang masuk secara terselubung memporak porandakan keimanan umat Islam.

Aliran theosofi ini memang diijinkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan tentu saja mendapat tempat di kalangan bangsawan Keraton. Tidak susah bagi aliran ini untuk masuk ke kalangan aristokrat Jawa yang sudah dari sananya menganut paham katakanlah sinkretis atau mungkin abangan.

Tapi bukan masalah Theosofi yang menarik perhatian saya. Bagi saya, di dunia yang carut marut seperti iniadalah suatu kewajaran jika manusia letih dengan agama agama formal dan mencari bentuk baru yang lebih sesuai. Walau formula baru itu kadang mempunyai penalaran yang kacau balau.

Saya lebih tergelitik dengan cara pandang rekan tersebut, buat saya persoalan Kartini sebagai salah satu figur emansipasi tidak lepas dari persoalan historis dan kultur masyarakat Jawa pada masa itu. Perempuan ningrat Jawa berbeda dengan bangsawan Aceh. Seorang Raden Ajeng mempunyai kehidupan yang bertolak belakang dengan Cut Nyak di abad 19. Jika Cut Meutia, seorang wanita bangsawan Aceh memimpin pasukan gerilya, Kartini harus terbelenggu di kamar menunggu lamaran di saat usianya menginjak 13 tahun.

Cut Meutia bebas laksana burung seperti halnya masyarakat Aceh yang egaliter, Kartini hanya bisa menatap cakrawala dari balik jendela feodal. Kesepian yang membuatnya gila membaca dan menulis. Korespondensi dengan sahabat dari negara Belanda yang membuatnya dapat menyerap suatu pandangan.

Kartini dibesarkan dalam kultur bangsawan Jawa, dimana agama bukanlah sesuatu yang penting dibandingkan tradisi. Adalah wajar jika Kartini mencari pengalaman spiritual-nya sendiri yang mungkin bersentuhan dengan aliran tertentu. Dan dengan rintangan adat yang rigid, cukup luar biasa jika seorang gadis yang tidak lulus SD dapat membaca dan berkorespondensi dengan bahasa Belanda.

Jika tulisan tulisannya dipublikasikan dan mendapat sambutan luar biasa tidaklah mengherankan melihat latar belakang budaya Jawa pada masa itu. Dan cita cita Kartini adalah mengusir kebodohan jauh jauh dari kalangan perempuan.

Sementara Cut Meutia sibuk keluar masuk hutan, tidak ada waktu untuk menulis selain para sastrawan Aceh di kemudian hari. Dalam kultur Aceh seorang perempuan memimpin gerilya bukan sesuatu yang mengherankan.

Mungkin itulah perbedaan cara pandang saya dengan rekan saya. Saya memandang dari sisi kultur dan budaya. Sementara ia memandang dari sisi agama, namun nampaknya ia tidak membaca utuh surat surat Kartini. Pada bagian bagian akhir Kartini menemukan kedamaian pada suatu agama setelah ia bertemu dengan seseorang yang membimbing menuju pendalaman agama tersebut.

Agama apa? silakan baca surat surat Kartini sampai habis...he..he




Tidak ada komentar: