04 April 2010

Ketulusan Hati seorang Perempuan

Saat amarah dan gelisah lagi lagi mulai menyelinap dalam hati, terbacalah sebuah buku, tampak sedikit kumal, karena saya lupa menyampulnya.

Buku tentang Inggit Garnasih, perempuan tatar Sunda yang sederhana, Sekolah rakyat pun tidak lulus.

Inggit, kekasih Soekarno. Ia masuk ke dalam kehidupan Soekarno sebagai ibu kost di Bandung. Soekarno masih menjadi mahasiswa di Technische Hoogershchool yang sekarang bernama ITB.

Soekarno saat itu telah menikah dengan Oetari, putri HOS Tjokroaminoto, sedangkan Inggit menjadi istri Sanoesi, seorang pengusaha.

Kepada Inggitlah , Soekarno mengeluh mengenai hubungan dengan Oetari yang tidak sesuai dengan harapannya. Inggit duduk mendengarkan dan memberi saran.

Wajar bila cinta perlahan merayap di hati dua orang yang sering bersama sama. Soekarno diam diam mengagumi kecantikan dan kedewasaan ibu kost-nya itu. Inggit pun mulai menaruh perhatian terhadap mahasiswa ganteng yang terpaut 12 tahun lebih muda darinya.

Apa mau dikata, keduanya terikat dengan pasangan masing masing. Keadaan yang meruncing itu berakhir ketika Soekarno mengembalikan Oetari ke Surabaya. Inggit pun meminta cerai dari Sanoesi.

Inggit lebih memilih Soekarno, mahasiswa miskin dengan resiko harus berpisah dengan segala kemapanan sebagai istri seorang pengusaha.

Di sisi Soekarno, Inggit bekerja keras membiayai sekolah dan perjuangan sang kekasih. Dengan batu pipisannya ia membuat alas bedak bernama Sari Pohaci yang disukai oleh pemudi Bandung saat itu. Ia juga menjahit kutang demi membiayai hidup mereka berdua. Menggadaikan satu demi satu perhiasan dan tanah untuk memberikan modal bagi PNI, partai yang baru didirikan Soekarno

Saat Soekarno ditahan di penjara Banceuy dan Sukamiskin, Inggit rela berjalan kaki berkilo meter, membawa makanan untuk kekasihnya. Menyelundupkan buku dan pesan pesan perjuangan dilakoninya dengan gagah tanpa gentar. Atas nama cinta.

Kecintaannya yang besar kepada Soekarno membawanya ke Ende, mendampingi sang pujaan yang lagi lagi dibuang oleh pemerintah kolonial.

Saat Soekarno lebih memilih perempuan lain, Inggit dengan rela dan ikhlas melepas pujaan hatinya. Ia memilih kembali ke Bandung, kembali meramu bedak dan menjahit kutang untuk menyambung hidup.

Cinta Inggit kepada Soekarno tidak pernah pudar, saat Soekarno meninggal Ia segera menuju Jakarta. Tubuh yang ringkih itu mendadak limbung saat ia melihat wajah kekasih hatinya.

Air mata mengalir melintasi pipi keriputnya. Dengan lirih ia mengucapkan sebaris doa untuk Soekarno, kekasih sekaligus teman seperjuangannya.

Air mata saya selalu mengalir saat membaca kisah Inggit, perempuan yang tidak bisa menulis itu mengajarkan kesetiaan cinta dan kasih sayang tanpa pamrih. Di sudut hati, betapa malunya saya terhadap Inggit, saya belum bisa meniru setengah dari wataknya.

Dalam hati saya masih terdapat pamrih pamrih pribadi terhadap kekasih, rasa ingin diperhatikan masih selalu meraja lela dalam hati saya. Rasa cemburu masih saja menyiksa.

Ah Ibu, ijinkan saya memiliki separuh saja dari ketulusan dan kebersihan hatimu....keikhlasan dalam merelakan sang kekasih bersama orang lain. Keikhlasan untuk hanya memberi tanpa mengharap kembali. Kerelaan mencintai seseorang dalam diam.

Kedengkian dan amarahku pun perlahan padam. Ah, kekasih, dimanapun kau berada semoga selalu bahagia.

Tidak ada komentar: