28 November 2009

Negara Truly Maling

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat undangan cause untuk bergabung dalam "Truly Malingsia". Ho..ho rupanya masih ada yang panas sehingga membuat cause ini di facebook.

Dari sisi nasionalisme dengan semboyan "right or wrong is my country" tentu ini wajib didukung. Tapi kok saya merasa kurang sreg dengan cause ini.

Kurang sreg karena dengan situasi negara seperti ini kok julukan maling itu rasanya seperti menunjuk diri sendiri.

Malaysia memang bersalah karena mengaku ngaku asal batik dan tari pendet. Tapi mereka sudah meminta maaf. Batik dan tari pendet tetap milik Indonesia. Sisi baiknya tiba tiba pemerintah jadi memperhatikan kebudayaan miliknya sendiri.

Kembali ke sebutan maling itu. Maling maling lain yang lebih merugikan karena menyelewengkan uang rakyat bebas berseliweran di Indonesia, bahkan Polisi dan Jaksa seakan tutup mata. Antara maling dan pejabat hampir susah dibedakan. Maling belum tentu pejabat, tapi pejabat hampir sebagian besar merangkap maling. Orang orang yang berniat memberantas para maling justru harus siap siap kemalingan nyawanya sendiri.

Daripada menuduh negara lain maling, mbok ya lihat dulu diri sendiri jangan jangan sebutan Truly Maling itu lebih pantas disandang Indonesia karena pejabatnya terkenal suka melindungi para maling yang telah mencoleng uang negara. Jangan jangan nanti Republik Indonesia lebih dikenal dengan Republik Maling.
Maling teriak maling kan jadinya

Saya lebih memilih nasionalisme dengan akal sehat daripada nasionalisme membabi buta. Karena kita bukan babi toh?

13 November 2009

Peradaban Agung Yang Terlupakan

Saya selalu terpikat dengan peradaban Asia yang misterius, kadang terkesan penuh mitologi, secara fisik terlihat suram, kumuh dan tidak berkilau seanggun budaya Eropa dalam kasus ini Romawi dan Yunani yang menampilkan sisi klasik aristokrasi.

Sangat mudah dimengerti mengapa orang selalu menoleh ke Perancis atau negara Eropa lain baik barat maupun timur dalam hal kebudayaan dan mencibir terhadap India yang lekat dengan kekumuhan dan kemiskinan.

Padahal jika kita mau sedikit bersusah payah membaca akan segera diketahui bahwa Peradaban yang tertua berteknologi tinggi ditemukan di wilayah India-Pakistan yang terkenal dengan "Peradaban Lembah Indus" berikut kota Mohenjodaro-Harappa. Setelah itu berturut turut muncul Mesopotamia, Mesir, Maya baru kemudian Cina, Yunani dan Romawi. Semua berawal dari Asia, Afrika lalu Eropa. Jadi Budaya Hellenistic ala Yunani dan Romawi yang menjadi cikal bakal peradaban barat dan selalu disanjung sanjung selama ini sebenarnya berusia muda.

Kitab suci Veda merupakan kitab suci tertua saat ini, menurut para ahli dikodifikasikan atau ditulis sekitar sekitar 3000 SM dan dapat disimpulkan budaya tulis di India telah ada 5000 tahun yang lalu. Jika Veda baru ditulis sekitar 5000 tahun yang lalu bisa diartikan bahwa Veda lisan harusnya telah beredar jauh sebelum itu. Yang berarti pulaIndia telah mengenal budaya tulis lebih dahulu dibanding bangsa lainnya.

Dari beberapa bacaan, saya mengerti bahwa Veda bukan saja kitab spiritual keagamaan namun juga merupakan kitab pengetahuan.

Cukup mencengangkan bahwa teori Big Bang mengenai penciptaan alam semesta yang baru diketemukan di abad 20 sebenarnya telah ada dalam Veda, teori relativitasnya Einstein pun telah ada. Mungkin yang dapat membacanya secara tepat adalah ahli Veda.

Seperti ini misalnya "Agnisomau bibhratiapa it tah” artinya air terdiri atas Oksigen dan Hidrogen.

Ada banyak hal yang menarik perhatian berhubungan dengan cerita tentang Mahabarata dan Bharatayudha di dalam Veda yang selama ini kita anggap sebagai dongeng. Berbagai penemuan arkeologis bermunculan seperti kerajaan Dwaraka milik Kresna yang dikisahkan tenggelam ternyata ditemukan situsnya di perbatasan laut India dan Arab. Perang Bharatayuda menurut catatan arkeologis kemungkinan besar memang terjadi karena ditemukan bekas zat radio aktif (nuklir ?) yang cukup besar di bekas wilayah Kurusetra.

Jika begitu apakah pada perang besar ribuan tahun lalu telah dikenal teknologi nuklir? Wallahualam.

Namun segala penemuan itu mudah mudahan dapat membuka mata manusia bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya telah terjadi.

Seperti ambisi Hitler akan adanya ras super bangsa Arya yang diklaim berambut pirang dan bermata biru. Klaim yang akhirnya dibantah oleh para ilmuwan dan arkeologis karena bangsa Arya itu adalah bangsa yang menurunkan bangsa Persia (sekarang Iran).

Begitu juga dengan Max Muller ahli sanskrit asal Jerman yang menyatakan bahwa Peradaban Lembah Indus hancur karena serangan bangsa Arya terhadap bangsa Dravida, bangsa asli India yang berkulit hitam. Suatu teori yang dibantah habis habisan oleh para ahli sejarah India karena manipulatif dan bertendensi adanya niat penghapusan sejarah asal usul bangsa India.

Memang pada akhirnya budaya selatan yang lebih tua tunduk saat Alexander Agung dari Macedonia memulai ekspedisinya menaklukan Persia dan akhirnya Hindustan sehingga menyebarnya budaya Hellenisme dan itu wajar karena setiap peradaban ada masanya. Tapi keagungan budaya selatan tidaklah luntur dengan adanya penaklukan tersebut.

Begitu pula dengan Indonesia yang notabene berada di asia dan lebih dahulu terpapar oleh budaya India, bahkan bukan tidak mungkin pusat Atlantis yang misterius berada di Indonesia (senyum senyum) seperti kata Profesor Aryoso Santos.

Mungkin dengan mengetahui serba sedikit tentang asal kebudayaan dunia bisa membuat mata kita lebih terbuka dan lebih bisa menempatkan budaya barat pada tempatnya. Bahwa sesuatu yang gemerlap tidak selalu unggul. Bisa jadi negara negara dunia ketiga yang miskin dan terbelakang menyimpan kegemilangan masa silam yang coba disembunyikan oleh pihak pihak yang tidak ingin posisinya tergeser oleh kebangkitan negara negara selatan.

11 November 2009

Tragedi Rakyat Minang dari Pembaharu ke Anak Manis

Ada sebuah Divisi tentara yang sangat terkenal pada masa pergolakan kemerdekaan. Selama ini kita hanya mengenal Divisi Diponegoro dan Divisi Siliwangi yang melegenda dengan Long March Siliwangi-nya.

Divisi tersebut berada di Sumatera dan dikenal masa itu dengan nama Divisi Banteng. Dalam divisi itu ada sebuah kompi yang terkenal dengan keberanian dalam menghadapi Inggris dan Belanda, Kompi Harimau Kuranji yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.

Pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang berpindah pindah dari Bukit Tinggi, perkebunan teh Halaban, Bidar Alam dan Payakumbuh, Divisi Bantenglah yang terus bergerak melindungi pemerintahan sementara itu dari serangan Belanda. Sementara di New Delhi AA Maramis terus menyuarakan bahwa Republik Indonesia masih tetap berdiri walaupun Yogyakarta telah diduduki Belanda dan Soekarno Hatta ditawan.

Tragisnya setelah itu di tahun 1949 Divisi Banteng justru diciutkan hanya menjadi 1 brigade. Anggota anggotanya banyak yang pensiun dini atau terpaksa bergabung dengan divisi lainnya di Jawa.

Pada bulan September 1956 saat reuni ex Divisi Banteng di komplek perfilman Persari munculah gagasan untuk mendirikan Dewan Banteng yang fokus pada pembangunan ekonomi di Sumatera Barat setelah kecewa melihat pemerintah pusat yang terlalu memprioritaskan Jawa dan membiarkan daerah lainnya morat marit padahal pada masa itu 70% hasil ekspor berasal dari Sumatera sedangkan Jawa hanya menyumbang 17%.

Dewan Banteng membuktikan janjinya, Sumatera Barat menghentikan upetinya kepada pusat dan menggunakannya untuk keperluan daerah. Pembangunan di Sumatera melaju pesat melampaui daerah lainnya. Tidak hanya itu Dewan Banteng aktif mengadakan perdagangan luar negeri secara langsung tanpa melalui pusat.

Soekarno kelihatannya tidak tertarik pada pembangunan ekonomi, sang Presiden sibuk mengadakan lawatan lawatan dengan rombongan besar ke luar negeri sambil memperkenalkan konsep Nasakomnya. Sibuk melawan imperialisme dan demokrasi liberal namun lalai menyiapkan rakyatnya untuk matang secara ekonomi.

Terlihat sekali perbedaan visi antara pemerintah daerah dan pusat setelah Indonesia merdeka. Bagi daerah kemakmuran bisa dicapai apabila pusat memberikan kebebasan bagi daerah untuk menjalankan kebijakan yang sesuai. Sedangkan pusat yang dikendalikan oleh Soekarno menganut paham sentralistis feodal. Suatu hal yang sangat bertentangan dengan budaya egaliter rakyat Sumatera Barat. Rakyat Minang sudah lama mengenal konsep desentralisasi otonomi daerah dengan istilah nagari

Perbedaan ini kian menajam dan dimanfaatkan dengan cerdik oleh PKI yang berdiri di belakang Soekarno ditambah dengan peristiwa pemboman di Cikini tahun 1957 yang menyebabkan banyak tokoh Masyumi mengungsi dari Jakarta ke Padang karena mendapat teror.

Bisul itu pun pecah, pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syafrudin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Hal ini dimaksudkan sebagai koreksi atas pemerintah pusat yang dinilai tidak peduli dengan pembangunan daerah karena permintaan mereka agar membentuk zaken cabinet yang terdiri dari orang orang yang cakap dalam bidangnya serta kembali pada tindakan yang konstitusionil sesuai UUD tidak digubris.

Amerika yang cemas melihat pengaruh komunis kian meluas diam diam ikut bermain dengan mendukung gerakan PRRI dan mengirimkan senjata senjata.

Soekarno dan Nasution yang waktu itu menjabat sebagai KSAD menjawab pengumuman itu dengan menerjunkan pasukan terbaiknya untuk menghadapi PRRI yang didukung penuh oleh rakyat Sumatera. Dukungan rakyat Sumatera terhadap PRRI adalah dukungan tulus karena mereka melihat pengabdian Dewan Banteng demi kemajuan daerahnya.

Akhirnya perang saudara yang mengerikan terjadi, dibawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dengan sandi operasi 17 Agustusnya, pasukan tempur gabungan dengan kekuatan penuh mendarat di pantai Parupuk Tabing 2 bulan setelah pengumuman PRRI. Pasukan itu dengan cepat mendesak pasukan rakyat dan hari itu juga Padang jatuh.

Pasukan darat yang terdiri dari Divisi Diponegoro dan Siliwangi terus mengejar sampai ke hutan. Tanpa belas kasihan ribuan rakyat dibantai. Ada banyak cerita tentang kekejaman Divisi Diponegoro ini. Mereka menganggap ini adalah seperti ekspedisi Pamalayu, saat Kertanegara dari Singasari menaklukan kerajaan Pagaruyung. Setelah bergerilya selama 3 tahun akhirnya Ahmad Husein dan Syafrudin Prawiranegara menyerah demi rakyat Sumatera.

Tragedi PRRI ini menimbulkan luka mendalam terhadap masyarakat Minangkabau. Kebanggaan mereka sebagai masyarakat yang berpandangan maju, intelektual dan merdeka terampas dengan perlakuan militer saat itu. Gerakan yang dimaksudkan untuk membuka mata pusat atas ketidakadilan dalam porsi pembangunan dijawab dengan senjata.

Budaya egaliter Minangkabau mungkin jauh lebih tua dari konsep Liberte, Egalite & Fraternette-nya JJ Rousseau yang menjadi simbol revolusi Perancis akhirnya harus tunduk terhadap budaya feodal dari negara yang dulu dibelanya mati matian

Sejak saat itu Minangkabau menjadi anak manis. Sumatera Barat bukan lagi pusat alternatif yang dulu menghasilkan banyak tokoh dalam spektrum kebangsaan yang sangat luas dari Tan Malaka sampai Hamka.

Namun kebisuan itu nampaknya mulai terkoyak; para penulis muda Minang yang mewarisi kemandirian intelektual para pendahulunya mulai mempertanyakan stigma pemberontak yang ditempelkan di dahi mereka.

Sudah saatnya mengembalikan semangat rakyat Minang yang cinta akan kemerdekaan, persamaan derajat dan intelektualitas.

Bagi seorang Ahmad Husein, nasionalisme bukanlah kesetiaan yang membuta terhadap pemerintah yang sah. Seorang nasionalis tulen haruslah berani mengungkapkan mana yang benar dan mana yang salah agar semua dapat berjalan sesuai dengan cita cita luhur bangsanya.