22 Mei 2009

Hal tentang Bid'ah

Apa sih bid'ah itu. Banyak definisinya, salah satunya adalah cara baru yang belum ada di syariat. Dari situ bisa disimpulkan ada bid'ah baik ada yg kurang baik.

Dalam kehidupan sehari hari, makan dengan sendok garpu termasuk bid'ah yang berguna.

Bila ditarik garis lagi ke arah tradisi, bagaimana dengan orang orang yang masih menerapkan ajaran lokal seperti ziarah kubur, pembacaan kidung atau mantra rumeksa ing wengi, konsep sedulur papat atau kakang kawah adi ari ari atau acara salapanan dan lain lain. Apakah itu bid'ah baik atau buruk.

Secara logika, jika semua yang bukan tradisi Arab dipandang jelek buat apa diciptakan bangsa bangsa non Arab. Buat apa manusia dikaruniai akal dan daya cipta jika nantinya harus nurut dengan Arab dengan embel embel agama.

Kabarnya kidung Rumeksa ing Wengi diciptakan oleh Sunan Kalijaga, masa iya sih orang dengan spiritualitas setingkat wali tidak mengerti mana yang baik atau buruk. Bila dibaca kidung itu tidak menyajikan hal hal yang bertentangan dengan syariat. Kidung itu merupakan olah rasa dimana kalimat kalimat dalam mantra tersebut menunjukkan eratnya hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta.

Sunan Kalijaga merupakan penghubung antara muslim tradisional dengan kaum islam mutihan sepeninggal Syech Siti Jenar. Beliau mengerti sekali jika di nusantara ini telah banyak penganut agama lain sebelum Islam datang. Dimana tradisi lokal dan agama yang datang setelahnya berpadu harmonis dan di dalamnya sudah terkandung nilai Islam itu sendiri.

Tidak heran jika banyak perpaduan antara budaya lokal dan Islam lahir dari tangannya.
Bila dilihat dari sosoknya, blangkon dengan beskap bukan jubah putih bersorban sangat berkarakter lokal. Semuanya tentu merupakan bid'ah budaya yang baik. Budaya memang selalu dinamis, jika ada budaya asing masuk maka tokoh tokoh di dalamnya akan menyaring, mengkombinasikan budaya asing tersebut dengan kebiasaan setempat sehingga lahirlah harmonisasi.

Agama memang bukan semata mata syariat, yang lebih penting adalah pemahaman terhadap ajaran di dalamnya. Dan itu dipahami betul oleh Kanjeng Sunan Kali sehingga dalam mendekati para bangsawan yang sudah mumpuni pemahamannya beliau tidak lagi melalui jalan syariat tapi hakikat, melalui pemaknaan ajaran itu sendiri.

Wahyu yang disampaikan mentah mentah melalui budaya padang pasir yang keras tidak akan mendapat sambutan dlm masyarakat yang hidup dalam kelembutan alam.

Bisa jadi jika wahyu tersebut jatuh di Jawa, maka mungkin sekali pakaian khas Islam adalah blangkon, lurik dan kain batik bukannya sorban dan jubah. Bisa jadi tulisan dalam Al Qur'an adalah huruf Jawa bukannya huruf Arab dan bahasa Jawa menjadi bahasa wajib dalam mengaji.

Jadi tidak masalah kan kalau kita membaca doa dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya, melafalkan kidung atau menjalankan upacara adat. Mungkin ada tradisi penghormatan untuk Ratu Pantai Selatan. Sebagian orang melihatnya sebagai musyrik alias menyembah mahluk selain Tuhan. Saya melihatnya hanya semata mata dari sudut budaya. Mungkin lebih kepada menjaga keharmonisan antara alam manusia dan alam gaib.

Manusia sebagai mahluk yang diberi wewenang untuk menjadi khalifah di bumi tentu tidak boleh bertindak sewenang wenang terhadap penghuni alam lain.

Saya setuju dengan istilah Islam warna warni yang melambangkan keindahan paduan budaya lokal dengan Islam. Saya bosan dengan teriakan teriakan bid'ah yang berkonotasi jelek yang dilontarkan orang orang bersorban setiap tradisi lokal ditampilkan.

14 Mei 2009

Candu Sejarah

Sejarah membosankan?.....Itu pendapat kuno...

Justru sejarah hampir senafas dengan keseharian kita. Bukankan setiap orang selalu mempunyai sejarah dalam titik kehidupannya. Contoh dasar kita mempunyai akte lahir yang merupakan bukti formal sejarah pendek keberadaan diri kita.

Dengan memperhatikan masa lalu dapat diambil tindakan untuk masa mendatang.

Tentu sejarah menjadi semakin menarik jika pemaparannya bukan sekedar menunjukkan angka tahun yang beku tapi mampu mereka reka apa yang terjadi pada masa tersebut.

Misalnya pada tahun 1293 Narrarya Sanggramawijaya membuat
pranyatan kamardikan berdirinya kerajaan Majapahit di bekas hutan tarik dan menjadi raja yang bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Tentu akan lebih menarik jika dipaparkan konflik perjuangannya melawan Raja Gelang Gelang keturunan wangsa Kediri, Jayakatwang, kecerdikannya menggunakan pasukan Tartar untuk memukul balik Gelang Gelang dan saat saat pamannya raja Singasari, Sri Kertanegara pralaya dalam pertempuran.

Betapa banyak celah celah yang dapat dikembangkan menjadi cerita sendiri, menjadi sebuah novel.

Saya memiliki 2 novel yang berlatar belakang sejarah Majapahit, yang pertama Senopati Pamungkas dari Arswendo Atmowiloto dan yang kedua merupakan pentalogi Gajah Mada karya Langit Kresna Hadi (LKH).

Keduanya mengambil sudut pandang yang berbeda namun sama menariknya. Dalam senopati pamungkas, penceritaan Arswendo meluas sampai ke permasalahan antar tokoh tokoh silat mancanegara dengan jago utama Upasara Wulung. Sedangkan dalam Gajah Mada, LKH lebih banyak menuliskan peranan para senopati, mahapatih dan keluarga istana dalam menghadapi intrik di kerajaan itu sendiri.

Seperti halnya dalam Arok Dedes karya lawas Pramoedya Ananto Toer. Saya sudah lama mengejar buku ini ke toko buku antik dan baru menemukannya di Zoe.

Kisah Arok Dedes sendiri sudah cukup populer, tapi saya tertarik dengan cara Pram mengetengahkan cerita ini dari sudut pandangnya. Pram menghapus habis semua mitologi yang menyelimuti. Dari kisah mitos berubah menjadi kisah strategi perebutan kekuasaan yang mencengangkan yang kemudian dikenal dengan kudeta merangkak.

Buku Arok Dedes merupakan awal dari tetralogi Arok Dedes yang memaparkan kisah intrik politik kerajaan kuno Nusantara, namun sayang buku keduanya yang berjudul Mata Pusaran tidak akan ditemukan dimanapun, karena naskahnya hilang sebelum diterbitkan, disita oleh Orde Baru saat ia akan meninggalkan pengasingannya Pulau Buru.

Buku ketiga yang berjudul Arus Balik, sudah beredar di pasaran. Kebetulan saya sudah membaca simpul terakhir dari tetralogi Arok Dedes yang berjudul Mangir yang disajikan dalam bentuk lakon sandiwara. Mangir sendiri berkisah tentang strategi panembahan Senopati menaklukkan Tanah Perdikan Mangir yang tidak mau tunduk di bawah Mataram.

Nah, jika para penulis papan atas sudah menuliskan sejarah dengan penafsiran masing masing, masihkah sejarah dianggap sebagai topik yang menjemukan?...

09 Mei 2009

Perubahan Sosial Yogya dan Sultan HB IX

Sebelumnya saya tidak bermaksud secara khusus mengenal lebih dalam tokoh ini. Tapi 2 buku terakhir yang dibaca membahas tentang Sri Sultan HB IX.

Yang menarik adalah buku dari Selo Soemardjan yang membahas perubahan sosial di Yogyakarta. ternyata ini adalah salah satu buku babon sosiologi....beruntung banget aku bisa dapat ini. Bahwa ternyata Sri Sultan berpandangan selangkah lebih maju dari para pendahulunya dalam menyikapi perubahan sosial yang membawa pengaruh terhadap kedudukan para keluarga Istana.

Bahkan beliau yang mendorong para bangsawan ini untuk bekerja keras, membuka pintu pintu keraton simbol keangkuhan masa silam dan mempersilakan rakyatnya masuk bertemu dengannya serta menyelesaikan masalah keseharian. Kesadaran bahwa sudah saatnya kehidupan keluarga istana yang serba mewah harus diakhiri karena di luar tembok bermunculan para akademisi yang mempunyai kemampuan melebihi kaum bangsawan. Mungkin mirip dengan fenomena para mbok Mase di Surakarta.

Bagaimana ia bekerja membentuk badan badan yang mengelola ekonomi rakyat, mengenalkan sedikit demi sedikit administrasi kepegawaian kepada rakyatnya dan membimbing rakyat untuk mulai berinisiatif dalam penyelesaian masalah.

Tidak seperti saudaranya di Surakarta yang masih sibuk dengan perselisihan kuno Surakarta-Mangkunegaran. Ia justru tidak segan segan bekerja sama dengan Paku Alam demi melancarkan tugas tugasnya.

Memang tidak semua pekerjaannya berhasil karena adanya benturan benturan dengan partai politik maupun ketidaksiapan para personil yang ditunjuk, tapi itu merupakan pembuktian bahwa ia memang memiliki ketajaman visi yang seharusnya dimiliki oleh seorang Raja.

Di tangannya Yogyakarta dengan selamat mengarungi masa masa panas pasca proklamasi kemerdekaan.