14 September 2014

Andai Ahmad Wahib Masih Hidup

Dari mana saya tahu tentang Ahmad Wahib? Tentu bukan dari guru di sekolah.

Saya baru mengenal nama Ahmad Wahib saat membeli buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran yang bertepatan dengan penayangan perdana filmnya sekitar tahun 2005, sembilan tahun yang lalu.
Dalam buku tersebut terdapat tulisan pengantar dari Daniel Dakhidae yang menyinggung pula nama Ahmad Wahid sebagai intelektual muda disejajarkan dengan Gie.

Dari situlah saya mengenal serba sedikit tentang Ahmad Wahib yang disebut-sebut sebagai intelektual muda Islam.  Sampai hari ini pun saya baru sedikit saja membaca tulisan-tulisannya karena bukunya sudah susah saya temukan.  Namun kalau boleh saya deskripsikan Ahmad Wahib adalah versi muda dari Abdurrahman Wahid.  Hanya sayang kita memang tidak akan bisa melihat bagaimana Ahmad Wahib yang gelisah menjalani masa tuanya karena beliau keburu wafat dalam usia 30 tahun. 

Sebagai lulusan pesantren Wahib malah sempat mengenyam pendidikan filsafat di sekolah tinggi Driyarkara.  Langkahnya mengingatkan pada semangat para orientalis barat yang demi mengetahui dan mengupas intisari Islam baik agama dan umatnya mereka menekuni Al Quran, bahkan orientalis kondang seperti Snouck Hurgronye nekat pergi ke Mekah yang terlarang bagi non muslim.  Perbedaannya Wahib melakukan itu demi pemahaman yang lebih baik dalam hubungan antar umat beragama dan memuaskan keingintahuan akan Islam yang sesungguhnya.

sumber: Insist.com

Salah satu yang mengesankan dari kritisnya pemikiran Wahib adalah sebagai berikut:

bagi para pemimpin dan mubaliqh Islam, mereka harus lebih banyak merenung dan berfikir agar kotbah dan pidato-pidatonya terleps dari sloganisme sehingga massa umat dibimbing berfikir terang. Bagi pihak Katolik agar lebih serius memperhatikan hasil konsili Vatikan II 1965 yang tidak memutup jalan ke sorga bagi penganut-penganut Islam…karena sebagian dari mereka sampai sekarang masih berada dalam semangat pra-Konsili. Demikian juga pihak Protestan perlu ingat akan perkembangan-perkembangan baru dalam teologi Protestan yang tak lagi mengartikan kegiatan misioner sebagai penyebaran agama kristen, melainkan "memasyhurkan nama Allah"

Saya sungguh ingin tahu bagaimana pandangan Wahib seandainya ia berumur panjang.  Apakah ia akan seperti Abdurrahman Wahid yang hanya selisih 2 tahun lebih tua atau Nurcholish Majid dan bergabung dengan kelompok intelektual Islam yang kerap disebut kaum liberalis dan pluralis.  

Jika Wahib yang lulusan pesantren berani mempertanyakan Islam yang benar tentulah wajar jika kami-kami ini yang pengetahuan agamanya pas-pasan juga bertanya-tanya tentang agama yang kami anut sedari kecil. Wajar jika kami merasa tak sepaham dengan para pemegang otoritas.

Beberapa hari yang lalu seorang kenalan dekat bercerita tentang pembangunan gereja di kawasan Bekasi yang kerap mengalami gangguan dari kelompok tertentu.  Menurutnya semua persyaratan tentang pembangunan tempat ibadah sudah dipenuhi dan ijinnya pun sudah keluar dari pemerintah daerah setempat apalagi masyarakat sekitar pun tidak keberatan.  Sudah lebih dari lima tahun masalah ini berlangsung tanpa ada kejelasan, tanpa tahu harus mengadu kemana. 

Saat ini para jemaat memberlakukan piket jaga malam bergantian untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.

O ya, saya lupa mengatakan bahwa saya adalah muslim, bukan mualaf.  Dilahirkan dari keluarga muslim.  Hanya saja dengan alasan tertentu orang tua saya memasukkan saya ke sekolah Katolik dari TK sampai SMA.  Jadi saya muslim yang bersekolah di sekolah Katolik dan belajar mengaji di rumah.

Apakah latar belakang tersebut yang membuat saya lebih mudah menerima ajaran agama lain dan menganggapnya sebagai jalan hidup terbaik bagi masing-masing umatnya? Bisa jadi.  Antara saya dan kawan-kawan yang beragama non muslim bisa dengan santai membahas problem keagamaan masing-masing tanpa menyinggung dan tersinggung.

Kembali ke masalah pembangunan gereja yang bermasalah, diam-diam saya membandingkan dengan pembangunan musholla dan masjid-masjid di daerah tempat tinggal saya di Sawangan.  Dengan mudah para penduduk menaruh tong di tengah jalan, menancapkan spanduk, memasang speaker dengan volume full dan mengacung-acungkan baskom kosong untuk menampung sumbangan dari para pengendara.  Begitu saja tanpa ada yang mempersoalkan ijin pembangunan tempat ibadah misalnya.  

Alangkah memalukan jika ternyata banyaknya tempat ibadah ternyata berbanding terbalik dengan perilaku koruptif.  Jadi apa gunanya tempat ibadah di setiap pengkolan apabila tidak dapat mengingatkan umat untuk menghindari perilaku yang merusak itu.  Agama bukan lagi jalan spiritual personal bagi penganutnya tapi hanya menjadi alat mobilisasi massa dan menciptakan konflik antar agama atau penganut agama yang sama.

Begitu lokalisasi ditutup yang dibangun pertama kali adalah tempat ibadah yaitu masjid dan bukan perpustakaan.  Padahal banyak tempat ibadah yang kosong tak berpenghuni dan kita sangat kekurangan perpustakaan yang representatif.  Tempat ibadah hanya menjadi pajangan agar masyarakat terlihat religius.

Tentu saja saya gelisah melihat tempat ibadah untuk agama apapun dirusak.  Telinga saya tipis mendengar umpatan kafir dan syiah yang dengan gampang keluar dari mulut para tokoh agama terkemuka yang kepada mereka saya menaruh harapan besar akan kematangan dan kebijaksanaan berpikir dan menafsirkan pesan-pesan dalam Al Quran. Tak heran jika ada yang mengatakan bahwa ayat-ayat dalam kitab suci itu sudah final namun intepretasinya cenderung manipulatif.

Apakah saya salah jika menganggap agama adalah jalan keselamatan bagi masing-masing umatnya.  Adapun kita, manusia yang diciptakan berbeda sesuai kodrat Tuhan tidak boleh menistakan masing-masing dari mereka.
Urusan surga dan neraka adalah sepenuhnya urusan Tuhan sebagai empunya jagat raya, pemilik nafas alam semesta dan seisinya. 

Apakah dengan begitu saya masuk dalam kaum pluralis? kalau memang iya, apa boleh buat.  Saya meyakini agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu.  Saya tidak mungkin masuk menjadi Katolik walaupun saya bertahun-tahun bersekolah di sekolah Katolik karena memang hati saya meyakini Islamlah yang terbaik untuk saya walaupun kerap lalai sholat dhuha karena hal-hal yang bersifat duniawi.  Namun saya tidak keberatan atas pilihan orang-orang dekat saya untuk kepercayaan yang mereka anut dan menghormati sepenuhnya atas pilihan mereka.

Atau Islam saya ini dianggap Islam KTP, baiklah saya terima tapi meniru kutipan Emha Ainun Najib 
"Wis, anggaplah aku ini kafir fir terus opo hakmu". 

 Apakah orang-orang yang dicurigai sebagai Islam KTP harus diusir dari Indonesia?

Andai Ahmad Wahib masih hidup, saya juga ingin bertanya bagaimana ia menyikapi Indonesia sekarang ini.  Apakah ia akan menyetujui peninjauan kembali atas UU Perkawinan pada pasal ketentuan perkawinan seagama dan bagaimana pandangannya atas ISIS.

Untuk perkawinan antar agama terus-terang saya masih ragu-ragu dalam bersikap.  Ah, terlalu banyak hal-hal sepele yang saya ingin tanyakan kepada beliau.  Namun sesungguhnya saya merasa telah kehilangan Indonesia seperti yang dulu digambarkan dalam buku-buku pelajaran orde baru.  Negara yang berazaskan Pancasila, yang penduduknya penuh toleransi dan penuh penghormatan antar umat beragama.

NOTE:
Sekarang sudah ada web yang khusus didedikasikan untuk Ahmad Wahid. http://ahmadwahib.com/ 
Silakan bagi yang menyimpan kegelisahan sama bisa membaca sedikit tulisannya



Tidak ada komentar: