28 November 2010

Hari Aksara seribu tahun yang lalu


Saya teringat ulasan di surat kabar mengenai hari aksara. Memang yang selama ini dirayakan adalah hari aksara Internasional tanggal 8 September. Tidak ada alasan pasti kenapa kita harus mengikuti penetapan tanggal tersebut untuk merayakan secara nasional.

Lalu ada sejumlah cendekiawan merayakan hari Aksara Nusantara tanggal 14 Oktober. Menarik sekali latar belakang penetapan hari Aksara versi Nusantara.

Semua dimulai lebih dari 1000 tahun lalu, di tahun 996 SM, hari ke 15 bulan Asuji yang diterjemahkan kemudian sebagai tanggal 14 Oktober. Pada hari itu rakyat Medang berkumpul di alun alun kota, kemungkinan di Wwatan Mas, Jawa Timur. Hari itu Sang Raja Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa untuk pertama kalinya menggelar pembacaan rontal Wirataparrwa dalam bahasa Jawa Kuno.

Bagi yang pernah membaca Mahabharatta, pastilah tahu jika Wirata adalah nama kerajaan dimana Pandawa harus menggenapkan hukum buang selama 13 tahun dengan menyamar. Wirata terpilih menjadi tempat penyamaran itu.

Kisah itu yang tertulis dalam bahasa Sanskerta diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa kuno oleh para Kawi untuk kemudian dibacakan di depan rakyat Medang.

Kitab yang selama ini hanya boleh dibaca oleh kaum brahmana dan bangsawan kini dibuka seluas luasnya oleh Dharmawangsa Teguh.

Semua terangkum dalam pembukaan kitab Wirataparwa. Dan fakta inilah yang menjadi dasar pijakan untuk mengangkat tanggal 14 oktober sebagai hari aksara Nasional. Usulan yang mempunyai dasar historis kuat.

Mungkin bukan cuma kerajaan Medang yang membuka kesempatan bagi rakyat jelata mengenal aksara, mungkin pula jauh di Sumatera sana, Sriwijaya juga memberikan kesempatan yang sama. Hanya mungkin tidak terdokumentasikan.

26 November 2010

Beda bacaan beda selera

Ada pesan masuk ke ponsel saya dari teman, undangan utk menghadiri launching dan diskusi antologi cerpen karya Benny Arnas.

Ok, masalahnya siapakah Benny Arnas itu? maklum bukan penggemar novel.

Jadi salah saya, karena tidak menggemari novel novel populer. karena lebih menggemari tulisan lain genre. Nama Clifford Geertz, Dennys Lombard, Ben Anderson atau Mark Woodwards lebih akrab di telinga saya. Kok bule semua? Gak kok, banyak buku buku koleksi saya yang ditulis oleh penulis Indonesia. Tapi saya tetap menggeleng jika disebut nama Fira Basuki, iya sih memang saya tau dia penulis terkenal, tapi tetap saja belum pernah membaca novelnya. Lagi lagi saya memang bukan penggemar sastra wangi.

Sayangnya mereka bukan penulis novel cinta. Bukan Nicholas Spark, novelis yang ganteng itu. Mereka cuma kakek kakek, bahkan ada yang sudah meninggal seperti Pramoedya Ananta Tour.

Karya karya mereka cenderung berat dan membosankan seperti Nusa Jawa Silang Budaya, kerajaan Aceh (Lombard), Religion of Java (Geertz), Islam Jawa (Woodwards), Palu Arit di ladang tebu (hermawan sulistyo) Tapi saya suka, bahkan cenderung tergila gila. Apa boleh buat takdir menggariskan saya harus beda liga dengan teman teman pergaulan. Sepertinya saya cenderung terlalu serius belakangan ini :)

Jadi maaf ya Mas Koko, saya sih tetap hadir tapi pasti dengan kondisi blank, secara gak tau isi novelnya apa.

25 November 2010

Hari ini

hari ini cuma sholat subuh, maghrib dan Insya Allah bisa sholat Isya....dasar pemalas.

hari ini mendengar cerita teman yang baru pulang Haji, berbinar binar ia menceritakan pengalaman spiritual...Tarikan iman begitu kuat, sehingga ia tidak ingin diganggu oleh BB. lebih senang berdoa sepanjang waktu dibanding mengecek status.

hari ini untuk pertama kali mata saya berkaca kaca mendengar pengalaman spiritual saat Haji. Syukur alhamdullilah, hati saya yang keras nampaknya mulai melunak.

24 November 2010

Printilan

Sedikit catatan harian, pas pengen ditulis aja :

1. Kemarin saya ditraktir lunch oleh teman yang ultah, sebetulnya agak malas beranjak dari meja karena toh ditraktir atau bayar sendiri tetap saja saya makannya sedikit :)...gak ngaruh.
Berangkatlah 8 cewek menuju D'Cost dengan mobil kantor. Di tengah jalan seseorang menelepon, marah marah karena mobil yang dipesannya dipakai oleh kita. Teman saya yang berusaha menjelaskan jadi emosi. Akhirnya turunlah kita dan naik taksi. Sepanjang perjalanan singkat itu, teman saya emosi dan berbalas bbm dengan "sang oknum". Saya memilih diam karena tidak tertarik dengan pertengkaran yang berlarut larut ditambah dengan kepala yang mendadak nyut nyut-an. Sampai di tempat, pembicaraan masih berkisar dengan perang BB. Saya memilih tempat paling ujung dan lagi lagi lebih suka mendengarkan sambil memikirkan hal lain yg lebih menarik...Dasar cewek!!!....

2. "Dasar Capricorn" begitu kata teman saya yang akrab dengan istilah perzodiakan. Kata kata itu sering dilontarkan pada saya. Panjang pendek ia mengeluh kalau orang berzodiak Capricorn cenderung acuh tak acuh dan asyik dengan dunia sendiri. Girl...kami memang sering nampak berada di alam lain, tapi percayalah kami adalah orang yang paling tidak suka usil terhadap urusan orang. Pacar dan pasangan tidak akan pernah repot dengan kami karena kami selalu punya sesuatu untuk dikerjakan sendiri..:)

3. "Pembantu gue kagak balik!"...begitu kata teman saya. Wah, saya sendiri sudah hampir setahun ini sudah tidak lagi pakai pembantu yang menginap. Saat ini cuma ada pembantu jam-jam-an, datang jam 9 pagi pulang jam 11 siang untuk mencuci, ngepel dan setrika. Hari minggu libur. Memang lebih ringkas, tidak perlu pusing krn ulah pembantu. Konsekuensinya tentu saja pulang kantor tidak bisa teriak minta dibikinin teh. Sambil mandi, sekalian menyikat kamar mandi :).. mempersiapkan sayuran yang akan diolah untuk bekal Asyar besok, sekaligus memeriksa PRnya dan menyiapkan buku bukunya. Pagi pagi sudah bangun dan memasak untuk bekal Asyar, sekaligus membantunya bersiap siap sekolah. Jika saya harus menyiapkan presentasi atau tulisan sampai dini hari...ya bangunnya tetap harus jam 5 pagi....:). Hari minggu, karena pembantu libur, semua yang jadi tugas pembantu menjadi tugas saya..:), tidak lupa membimbing anak belajar... Capek?...tentu saja tapi puas, karena semua bisa teratasi. Kadang saya juga mengajak Asyar ke perpustakaan tempat saya mengisi waktu week-end, atau membawanya ke tempat senam karena ia senang sekali mencoba sepeda ayun.
Terima kasih buat nyokap bokap yang kompak bergantian menunggu di rumah membantu menjaga Asyar. Terima kasih juga buat Asyar, karena sudah jadi anak yang sangat mandiri, sangat mengerti dengan ayah ibunya.

4. "Bu, saya boleh pinjem uang, buat semesteran anak?" tanya pembantu saya hari Sabtu kemarin. Minggu lalu, tukang yang biasa membersihkan got dan memotong rumput serta pohon di rumah saya juga melakukan dialog yang sama. Saya hanya bisa garuk garuk kepala...memang tampang saya tampang orang kaya ya?....kenapa dari dulu orang senang sekali meminjam uang pada saya. Sampai pembantu tetangga pun tiba tiba datang untuk pinjam uang. Sialnya, saya selalu tidak tega untuk menolak atau kadang menagih....karena saya rasa setiap orang punya hak untuk hidup sejahtera. Semoga saja dengan itu saya dimudahkan rejekinya oleh Yang Kuasa...amin.

5. Kerja di Jakarta butuh banyak energi. Ya energi buat menghadapi macet, buat menghadapi stress pekerjaan. Apalagi bagi ibu rumah tangga yang bekerja. Jadi kalian sadar kan, kenapa saya gak suka arisan, karena saya capek seharian di kantor, jadi jika di rumah saya lebih suka menghabiskan waktu dengan anak saya, memantau PR atau belajarnya dibanding melayani ibu ibu yang ngobrol ngalor ngidul, lagi pula setiap ada kerja bakti RT saya selalu turut serta kok. kedua, saya juga ada kegiatan di komunitas, jadi week-end terpakai beberapa jam untuk mengurus kegiatan. Ketiga, saya sering punya PR menulis jadi week-end juga harus dibagi untuk aktivitas itu. Belum lagi jadwal olahraga. Ditambah saya kan juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena bisa dibilang tidak punya pembantu yg stay 24 jam untuk disuruh suruh seperti ibu-ibu lainnya. Belum lagi jika ada pertemuan orang tua murid hari Sabtu, saya harus ngebut menyetir ke sekolah Asyar.
Jadi lebih capek mana? jadi full ibu rumah tangga atau ibu rumah tangga yang bekerja, yang tidur cuma 3-4 jam sehari? kalau masih nyinyir juga,,,silakan tukar tempat dengan saya...dijamin kena liver!!...

08 November 2010

Satu Budaya Untuk Semua Bangsa

Dulu saya selalu malas bila mengikuti pelajaran bahasa sunda di SMP. Setiap ada PR selalu saya minta Ibu yang membuatkan. Pokoknya saat itu saya dan ibu saya menganggap bahasa Sunda tidak berguna apa apa untuk masa depan. Tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan bahasa Inggris.

Saat SMA di Bogor yang secara geografis lebih sunda, bahasa sunda malah ditiadakan. Dengan berlomba lombanya murid untuk masuk ke jurusan Fisika dan biologi. Pelajaran bahasa Sunda langsung masuk kotak. Orang sunda sendiri pun tidak begitu peduli dengan bahasa ibu mereka.

Kini setelah bekerja di Jakarta saya memang tidak menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa pergaulan. Lebih banyak dengan bahasa Indonesia dengan teman sekerja atau bahasa Inggris dengan Bos atau teman dari negara lain. Jadi tidak ada ruginya tidak bisa berbahasa Sunda. Bahasa Sunda tidak membuat penggunanya bangga, bahkan orang orang yang masih kental logat Sundanya kerap ditertawakan, sama seperti kita menertawakan logat Banyumasan, Tegal atau Batak. Bahkan logat orang Jawa yang. medok saat berbahasa Inggris kerap membuat kita terpingkal pingkal.

Bahasa Perancis terasa lebih sexy di telinga, bahasa Inggris membuat kita terlihat pintar, apalagi jika kita menguasai bahasa bahasa lainnya dari berbagai negara. Tidak heran penggunaan bahasa daerah dengan cepat berkurang sehingga akhirnya punah. Dan lagi lagi kita tidak peduli dengan kepunahan itu. Kecemasan itu hanya milik orang orang tua kolot yang tidak mau menerima kemajuan jaman. Di mana batas batas wilayah menjadi sumir. Orang berkomunikasi dalam satu bahasa dan itu adalah bahasa Internasional.

Kebijakan dunia pendidikan Indonesia lebih ramah terhadap bahasa Inggris terbukti dari hasil seminar di Bandung tahun 1992 yang merekomendasikan bahasa Inggris sebagai muatan lokal dan agar diberikan di SD mulai dari kelas IV - VI.

Belakangan rekomendasi ini menjadi kebijakan sekolah sekolah untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Juga dijadikan ajang komersialisasi pendidikan oleh sekolah umum dengan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan beralih menyebut dirinya menjadi Sekolah Berstandar Internasional (SBI) walau banyak ketidakjelasan tentang standar internasional mana yang dipakai.

Kita yang muda dengan gegap gempita meyambut keseragaman itu. Bangga akan lidah yang dengan fasihnya melafalkan kata kata asing. Sebisa mungkin menghapus identitas asli yang terasa kampungan dan tidak beradab.

Kita baru uring uringan saat negara tetangga mengakui budaya kita sebagai miliknya. walaupun mungkin pengetahuan kita sebagai pemilik asli mungkin tidak lebih baik dari sang tetangga. Kita cuma bisa bangga tapi tidak malu saat orang orang bule bersusah payah mempelajari bahasa bahasa daerah sementara kita sang pemilik asli cuma bisa melongo.

Saat manusia mulai jenuh dengan keseragaman, barulah kita tergopoh mencari identitas yang terkubur. Berusaha mengibarkan kembali semangat keragaman lokal yang menjadi dasar Indonesia.

Keengganan kaum muda untuk mempelajari bahasa bahasa daerah dan maraknya penggunaan bahasa Inggris di sekolah sekolah dasar mengingatkan saya akan "Polemik Kebudayaan" tahun 1935 - 1936 di mana Sutan Takdir Alisjahbana beranggapan bahwa kebudayaan Indonesia Modern haruslah terputus dengan kebudayaan masa silam yang dipengaruhi oleh Hindu dan Arab yang disebutnya sebagai kebudayaan Pra Indonesia.

Sebagai "Bapak bahasa Indonesia" Takdir mengecam banyaknya kata kata yang berasal dari bahasa daerah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Ia menganjurkan agar kebudayaan Indonesia benar benar harus mengacu ke barat meninggalkan segala warisan tradisional yang menyebabkan bangsa Indonesia menjadi statis.

Suatu usul yang ramai ditentang oleh Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara, Tjindarbumi dan rekan sastrawan lainnya. Ki Hadjar mengkhawatirkan masih rendahnya pendidikan rakyat Indonesia pada masa itu bila langsung dihadapkan dengan kebudayaan asing. Dengan kata lain Ki Hadjar menginginkan rakyat Indonesia harus mempunyai identitas yang kokoh terlebih dahulu sebelum menyerap budaya barat.

Harapan Sutan Takdir agar kita mengacu pada kebudayaan barat mungkin sudah mulai terwujud dengan tingkatan ekstrim, namun kekhawatiran Ki Hadjar bahwa rakyat Indonesia akan terlempar dari identitasnya juga sudah terlihat jelas.

Menurut Nurachman Hanafi, Dosen FKIP Universitas Mataram dalam makalahnya untuk seminar Nasional Bahasa Indonesia tahun 2009 memperkirakan bahwa Indonesia memiliki 750 bahasa daerah yang sebenarnya sangat dikagumi oleh para peneliti asing karena ciri khas pembedanya.

Menurutnya Bahasa Jawa menempati urutan pertama dengan jumlah penutur 60 juta jiwa diikuti dengan Bahasa Sunda dengan penutur sebanyak 24 juta jiwa.

Jika keberadaan bahasa yang pluralistis melemah akan menyebabkan melemahnya pewarisan pengetahuan tentang kebahasaan. Melemahnya keberagaman bahasa membuat kekuatan adaptasi manusia sebagai mahluk sosial merosot.

Saya pernah membaca ulasan, bahwa suksesnya operasi Woyla dalam rangka membebaskan penumpang Garuda dari pembajakan di Don Muang, Thailand juga dikarenakan komunikasi rahasia di lapangan antar tentara RI menggunakan bahasa Jawa agar tidak bocor ke tangan militer Thailand maupun para pembajak. Walaupun komandan operasi grup Para Komando saat itu Kolonel Sintong Panjaitan berasal dari Sumatera, namun ia menguasai bahasa Jawa.

Sekarang semua terpulang pada generasi sekarang dan kita sebagai generasi sebelumnya, apakah kita akan terus berjalan tanpa menoleh dan membiarkan semua ciri identitas yang semula menjadi tulang punggung terbentuknya Indonesia hilang tertutup kebudayaan lain. Atau membuka pintu untuk semua kebudayaan sambil tetap merawat milik kita sendiri.

Kini saya sungguh menyesal telah meremehkan bahasa daerah, bahasa yang sebenarnya menjadi identitas unik, bukti akan keragaman suku bangsa di Indonesia. Bahasa yang sama terhormatnya seperti bahasa Inggris dan Perancis.

Sungguh saya tidak ingin menjadi bagian dari masyarakat yang serba seragam. Saat semua budaya menjadi seragam, saat itulah kematian peradaban mulai menjelang.