30 Juli 2010

Kutub Kutub dalam Islam

Beberapa hari yang lalu saya menerima email dari kalyana Mitra berupa tulisan oleh Siti Musdah Mulia berjudul "Melawan Fundamentalis : Memuliakan Perempuan".

Tidak ingin salah persepsi mengenai apa itu fundamentalis, saya berusaha mencari referensi tentang apa arti fundamentalis dalam Islam. Memang dalam wikipedia fundamentalis adalah pemahaman secara literal terhadap teks. Adapula yang memaknai Islam fundamentalis sebagai bentuk perlawanan terhadap ideologi Barat yang cenderung sekuler dengan cara kembali kepada cara cara yang tertulis dalam Quran dan sunnah.

Bahkan belakangan saya menemukan istilah tambahan tentang Islam fundamentalis. Haidar Bagir menyebutkan sebagai Islam fundamentalis liberal dan Islam fundamentalis literal...nah lo!....Rasanya cuma Islam yang memiliki sangat banyak pergulatan internal seperti itu.

Saya pribadi cenderung menganggap Islam fundamentalis semestinya tidak seperti itu. Islam pada masa Muhammad dibangun atas dasar semangat keegaliteran terhadap laki laki dan perempuan. Para istri Muhammad digambarkan sebagai perempuan perempuan yang bebas mengemukakan pendapat di hadapan sang suami.

Entah pada perkembangan selanjutnya, melewati ratusan era pemerintahan selama ribuan tahun, ajaran tentang semangat persamaan derajat dan hak bisa saja tereduksi dengan adanya multi tafsir yang awalnya juga diilhami dari semangat Ijtihad.

Islam dasarnya adalah agama yang ramah dan toleran. Banyaknya aliran dalam Islam pada dasarnya adalah Islam menerima bentuk keragaman sebagai hakikat dari ciptaan Tuhan itu sendiri.

Di negara negara timur tengah seperti Afganistan, Iran dan Sudan, Islam dilukiskan oleh para penulis sebagai agama yang kejam tidak menghargai perbedaan dan kaum perempuan. Sudah tentu ini menjadi mindset yang tertanam sedemikian kuat tentang Islam fundamentalis.

Mungkin mereka akan berpandangan lain, apabila menoleh ke Indonesia. Dimana Islam menampilkan wajahnya yang ramah dan toleran. Dimana para wanitanya bebas berjilbab atau tidak, bebas keluar rumah dan mempunyai jabatan seperti layaknya kaum pria. Setidaknya saya sebagai orang Indonesia, merasakan Islam tidak seseram seperti yang ditulis dalam buku buku.

Penyebaran Islam di Indonesia berlangsung dengan damai sama sekali tidak ada ciri sebagai agama pedang seperti yang tertulis dalam banyak literatur.

Di Indonesia sendiri dikenal juga istilah kaum Islam tradisionalis dan Islam modernis. Yang disebut dengan Islam tradisionalis belum tentu fundamentalis sedangkan kaum modernis belum tentu otomatis menjadi liberal. Contohnya : almarhum Gus Dur yang berasal dari kaum tradisional NU tapi dikenal sebagai pemikir beraliran liberal.

Saya pribadi tidak ingin terjebak pada kutub liberal dan fundamentalis, dimana keduanya ngotot mempertahankan pemahaman mereka atas teks kitab suci. Pada dasarnya saya mempunyai tafsir pemahaman tersendiri terhadap Islam.

Saya setuju bahwa penafsiran terhadap teks kitab suci haruslah dinamis sesuai dengan jaman selama ijtihad yang dilakukan tidaklah bertentangan dengan kodrat kita sebagai manusia dengan segala keterbatasannya. Namun saya juga kurang setuju dengan tulisan tulisan yang mendeskripsikan Islam sebagai agama kasar dan kejam tanpa mempertimbangkan budaya yang berlaku dalam suatu negara yang bisa jadi tercampur saat menafsirkan ayat ayat Quran.

Irshad Manji, penulis kelahiran Canada yang menjadi terkenal gara gara bukunya "A Trouble with Islam today". Atau telah dialihbahasakan menjadi "Beriman tanpa rasa takut"

Sangat banyak respond terhadap buku tersebut dan juga kehidupan pribadi sang penulis. Manji menuliskan bahwa ia mempunyai pengalaman kurang menyenangkan dengan otoritas keagamaan. Sepertinya pengalaman itu yang membentuk kerangka berpikir demikian.
Kalangan liberal seperti JIL menganggap buku Manji membawa pencerahan sementara kalangan lain menganggap sebagai bentuk penistaan terhadap agama.

Saya menganggap buku itu adalah bentuk pendapat pribadi yang harus dihormati tanpa harus membela kaum liberal atau fundamentalis seperti juga saat saya membaca tulisan Siti Musdah Mulia terlepas dari setuju atau tidak.

Mungkin apa yang dikemukakan oleh Jalaludin Rahmad walaupun tidak ada hubungan dengan buku Manji cukup relevan dengan apa yang terjadi saat ini. Bahwa baik kaum liberal maupun fundamentalis harus belajar menerima eksistensi kelompok lain yang berbeda sikap. kaum liberal harus membuktikan bahwa mereka tetap berpegang teguh terhadap syariah sementara kaum fundamentalis juga harus belajar menerima perbedaan.

Bahwa perbedaan dalam Islam haruslah menjadi rahmatan li'l alamin dan dapat mendorong semangat kaum muslim untuk menyongsong perubahan.

17 Juli 2010

Dalam Gerai Kopi

Apa yang dirasakan jika duduk di kedai kopi mahal seperti starbuck? menikmati aroma kopi mahal yang dikeluarkan oleh mesin pengolah kopi berkecepatan tinggi yang memakan daya listrik ratusan watt, menjawil banana cake yang nikmat seharga hampir 13 ribu perak per slice.

Ada rasa ada harga, begitu kata orang. Apa iya...sudah berapa kali aku ke starbuck, coffee bean rasa kopinya biasa malah lebih enak kopi sachet menurut selera lidahku atau karena pada dasarnya aku penggemar teh kampung bukannya kopi. Alaaaah..itu karena harus bayar sendiri, coba dibayarin...begitu kata temanku.

Kembali aku mencoba kopi kopi mahal tersebut, kali ini dengan voucher gratis dari kantor. Perubahan rasa yang kuharapkan tidak terjadi. Tetap saja asing dan jauh, tidak membawa kerinduan untuk kembali....seperti kutipan Jenderal MacArthur "I shall return"

Kuamati kembali interior apik, kursi kursi nyaman dan suasana sejuk tetap saja tidak dapat mengikatku untuk berlama lama di tempat itu.

Puas menilai isi gerai, kembali mataku tertuju pada harga harga yang tertera di papan belakang para Barista. Bukan main...pikirku....harga tall late, alias late ukuran paling kecil di atas 30 ribu rupiah. 27 ribu rupiah adalah yang paling murah untuk tall late belum termasuk pajak.

kudengar gaung mesin mesin pengolah kopi berderum halus,,,berapa ratus watt listrik yang dihabiskan untuk sekedar membuat kopi,,aku bertanya tanya

Menyajikan kopi bermutu terbaik dari Indonesia, begitu yang kesan kutangkap dari beberapa reklame yang terpasang. Reklame itu menyebutkan beberapa jenis dan daerah penghasil kopi di Indonesia. Kopi kopi pilihan yang dinikmati oleh orang orang segment tertentu kalau melihat dari harganya.

Kembali aku tercenung melihat gelas kopiku. Uang 34 ribu hanya untuk 1 gelas kopi, kembali batinku mendesah. Kutekan kuat kuat rasa bersalah, baru saja pagi ini aku mendengar berita seorang anak bunuh diri karena orang tuanya tidak sanggup membiayai sekolahnya. Aku juga harus memalingkan muka melihat pengojek payung kecil berdiri kedinginan di luar dengan bibir membiru menunggu orang yang ingin memakai jasanya.

Sudah cukup siksaan ini, pikirku,,,,Tergesa gesa aku berdiri berpamitan pada temanku untuk keluar gerai kopi.

Tersaruk saruk aku berjalan ditemani malam, tak dapat dielakkan kilasan kehangatan warung kopi sederhana di sudut merapi yang dingin yang selalu terlintas di benak. Dimana aku merasa tak berjarak; Sederhana tapi tak kan terlupa.