Kami bukan pembangun candi,
Kami hanya pengangkut batu
Kami angkatan yang mesti musnah
agar menjelma angkatan baru.....
Bait-bait sajak Henrietta Roland Holst ini mengingatkan pada sosok Djohan Sjahroezah. Orang akan mengernyit bila ditanya siapa itu Djohan Sjahroezah tapi akan mengangguk bila nama Sutan Sjahrir disebut.
Seperti juga Juanda Kartawijaya yang tidak banyak dikenal begitulah juga halnya dengan Djohan Sjahroezah. Dalam dunia jurnalistik ia adalah salah satu bapak yang membidani kelahiran kantor berita Antara bersama empat orang rekannya; Adam Malik, Sumanang, AM Sipahutar dan Pandoe Kartawiguna. Pun, di Antara namanya tidak masuk dalam hierarki melainkan lebih senang berada di belakang layar. Sebagai jurnalis tulisan-tulisannya kerap masuk dalam koran Indonesia Raya dan Djohan pun merupakan anggota redaksi dari harian Daulat Ra'jat.
Jejak Djohan Sjahroezah pun tidak masuk dalam buku Seratus Jejak Pers Indonesia yang memuat tokoh-tokoh pers Indonesia. Hal itu semakin menegaskan teka-teki tentang dirinya bagi orang luar.
Djohan Sjahroezah lahir di Muara Enim tahun 1912 dari keluarga Minang dan dari urut-urutan keluarga ibunya, ia adalah keponakan Sutan Syahrir. Orang Minang pada abad 20 adalah kumpulan para intelektual, berkat diterimanya sekolah-sekolah Belanda di kalangan masyarakat dan digabungkan dengan pendidikan madrasah. Dari pertalian darah, selain Sutan Syahrir terdapat pula Rohana Kudus, tokoh pergerakan perempuan Minang pertama yang juga bergerak dalam bidang jurnalistik.