Sumba,
Apa yang harus saya katakan tentang pulau ini selain paduan antara kerasnya alam dan keindahan khas Indonesia timur.
Saya ingat betul laporan Ekspedisi Jejak Peradaban NTT -nya Kompas tahun 2010, betapa ngenes nasib propinsi NTT dimana pulau Sumba berada. Infrastruktur yang minim, Indeks Pembangunan Manusia yang nyaris terendah, susah air dan segala cerita sedih tentang daerah ini sampai NTT diplesetkan menjadi Nasib Tak Tentu atau Nanti Tuhan Tolong.
Sekarang, menjelang akhir tahun 2015; kurun waktu lima tahun sejak laporan itu dipublikasikan akhirnya saya menapakkan kaki di salah satu sudut NTT, Sumba. Banyak sudah orang yang mengabarkan keindahan Sumba, namun kisah dari Kompas selalu teringat, mengungkit keinginan untuk mengintip kondisi pulau itu kini.
Kerasnya alam langsung terasa saat menginjak bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya untuk pertama kalinya, panas menyengat. Bandara itu sepi. Saya yang pergi sendirian langsung merasakan keheningan saat mesin pesawat ATR dimatikan. Tersaruk-saruk melangkah sambil mencoba menghapus kantuk akibat harus bangun dini hari demi mengejar penerbangan pertama ke Bali, transit sebelum menuju Tambolaka.
Saya lirik ponsel, XL sudah wafat, tinggal sinyal Telkomsel yang berjaya. Segera saya menghubungi hotel untuk mengecek mobil jemputan. Ternyata mereka sedang kebingungan karena hanya punya nomor XL saya yang tentu saja langsung masuk voice mail saat dihubungi.