"Baru kali ini punya anak buah wong Samin" begitu kata atasan saya saat kami sedang membicarakan salah satu anak buahnya yang memang rada-rada.
Saya hanya nyengir, kata-kata "wong Samin" itu memang berkonotasi orang yang sifatnya ndablek, kenthir pokoknya yang ngeselin sekaligus menggelikan. Misalnya kata atasan saya lagi, orang Samin itu kalau diminta manasin motor, ya motornya dijemur di bawah matahari.
Kayak begitu? entah kalau lelucon soal manasin motor jadinya menjemur sih tidak tahu.
Yang saya tahu sikap masyarakat Samin dilandasi oleh alasan yang sama sekali tidak sederhana. Menurut KH. Mustofa Bisri dalam pengantar di buku SAMIN, MISTISME PETANI DI TENGAH PERGOLAKAN, Orang Samin melakukan perlawanan dengan cara yang unik, tidak dengan kekerasan tapi membangkang. Ibarat permainan teka teki yang kadang menjungkirbalikkan logika.
Gerakan Samin lahir di tengah kesengsaraan akibat cengkeraman pemerintah kolonial, masyarakat melihat dan merasakan tatanan hidup yang semakin jungkir balik.
Kekuasaan bukanlah milik para raja Jawa tapi diambil alih oleh orang bule. Perlawanan bersenjata yang bersifat sporadis ternyata tidak mampu mengalahkan penjajah. Perang Diponegoro yang panjang telah menguras habis energi rakyat Jawa dan tetap berakhir dengan kekalahan sang pangeran yang dianggap sebagai Eru Cokro.
Kekuasaan bukanlah milik para raja Jawa tapi diambil alih oleh orang bule. Perlawanan bersenjata yang bersifat sporadis ternyata tidak mampu mengalahkan penjajah. Perang Diponegoro yang panjang telah menguras habis energi rakyat Jawa dan tetap berakhir dengan kekalahan sang pangeran yang dianggap sebagai Eru Cokro.
Di sisi lain pemerintah kolonial menerapkan pajak-pajak baru yang kian memberatkan, kepemilikan tanah yang bukan lagi komunal melainkan dihitung sebagai milik individu sebagai obyek pajak dan apabila penduduk tidak bisa menunjukkan bukti