Akhir pekan ini, saat berbuka puasa sambil menonton Metro TV seperti biasa saya mengobrol panjang lebar dengan ayah.
Kebetulan Metro sedang membahas pidato Presiden tentang masalah perselisihan dengan Malaysia. Obrolan berpindah ke masa Bung Karno.
Ayah adalah pengagum si Bung. Sedangkan Embah adalah wartawan senior dari harian Merdeka yang sangat dekat dengan Bung Karno. Ayah bercerita bahwa BM Diah bisa menjadi duta besar di Inggris gara gara usulan Embah.
Saat saya bertanya apakah Bung Karno itu ganteng ...serta merta ayah menjawab Ya!...ganteng sekali. Beliau sangat cerdas dan berwibawa. Tapi diatas semua itu si Bung sangat pemberani. Tidak ada kata minder berhadapan dengan bangsa asing. Kata ayah satu satunya orang yang dapat mengalahkan Bung Karno berpidato tanpa teks adalah Fidel Castro, Presiden Cuba. Saat ayah bercerita, ia menggambarkan dengan detil postur Bung Karno yang tegap dengan baju yang selalu tersetrika licin. Asal pecinya jangan dilepas, kata ayah kepalanya botak parah.
Ayah bercerita saat ia ada di Roma, Italy untuk sekolah sekaligus menemani Embah yang bertugas di Kedubes RI sana, Soekarno selalu menginap di Grand Hotel di kamar yang sama. Saat itu ada Presiden Afrika yang menempati kamar favorit si Bung. Bung Karno berkeras ingin memakai kamar tersebut. Embah yang kebingungan terpaksa berterus terang kepada sang Presiden bahwa Bung Karno ingin memakai kamar tersebut. Di luar dugaan Presiden Afrika itu rela mengalah dan pindah ke kamar lainnya.
Kejadian lain lagi saat Bung karno bertemu anggota parlemen Italy dari partai buruh, sosialis dan lainnya. Ia berbicara dengan fasih dalam bahasa Perancis. Bahasa kedua negara Italy. Dengan lancar ia menguraikan hal hal tentang Italy yang bahkan tidak diketahui oleh para pemimpin yang bersangkutan. Tentu saja pidatonya mendapat tepukan panjang. Bahkan anggota parlemen belakangan menyatakan jika saja Italy mempunyai 5 Bung Karno tentu negara mereka akan aman.
Tidak akan pernah ada Presiden seperti Soekarno, kata ayah.
Kejadian lain yang lucu, saat si Bung membawa istrinya yang terbaru, Haryati. Haryati yang masih belia cukup merepotkan ibu ibu kedubes di Roma. Salah satu yang sering dicurhati oleh Haryati tentu saja nenek. Dengan polos Haryati curhat tentang hubungan intimnya dengan sang suami. Otomatis curhatan itu menjadi gosip tersendiri di kalangan ibu ibu. Dengan geli ayah bercerita tentang group kesenian istana karena ingin menyenangkan Haryati jika tampil pasti selalu membawakan lagu "Aryati" -nya Ismail Marzuki.
Lalu ada lagi kisah tentang tukang setrika pakaian istana yang ngambek lalu curhat kepada Embah karena dimarahi Bung karno gara gara hasil kerjanya kurang rapi di mata si Bung yang selalu tampil perlente.
Waktu ontran ontran G30S kabarnya nama Embah masuk dalam daftar bunuh sehingga terpaksa keluarga Munawar mengungsi ke Roma.
Saat saya bertanya apakah Embah melayat saat Bung Karno meninggal, ayah hanya menggeleng karena saat itu Embah diawasi hingga tidak bebas bepergian.
Dengan miris saya mendengarkan kisah ayah, bahwa tak satupun dari ratusan dokumentasi foto foto soekarno dengan Embah, Embah dengan Ratna Sari Dewi atau lainnya yang berhubungan Soekarno dapat ditemukan kembali. Semua hilang, tinggal 1 foto yang kini tergantung di rumah kami di Depok. Saat Soekarno dengan Embah dan Cindy Adams, penulis buku "My friend, the Dictator".
Foto foto itu lenyap dengan misterius, sama seperti cincin, keris dan tongkat embah yang langsung lenyap tanpa bekas begitu embah meninggal.
Saya hanya dapat mengusap dada, begitu inginnya saya memiliki foto foto bersejarah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar