Manusia tanpa sadar selalu dikuasai oleh keserakahan. Mungkin sudah kodratnya, manusia dikarunia kemampuan berkembang hampir tanpa batas tapi juga bisa jatuh ke titik paling rendah jika tidak dapat menguasai nafsunya.
Contoh sederhana seperti siang tadi, pikiran saya penuh dengan ide ide dari buku bacaan, tapi TV juga menyajikan perjalanan sejarah penyebaran Islam di Banten yang membutuhkan fokus tersendiri, sementara buku buku tentang tasawuf bertebaran di lantai karena saya tiba tiba menemukan point point menarik. Itulah yang namanya serakah, kapasitas otak saya pas pas-an tapi tetap berkeras berusaha mengunyah bacaan beragam dan informasi dari TV secara bersama sama. Tentu saja konsentrasi jadi terpecah pecah.
Beruntung beberapa point tetap bisa menyangkut dan sangat menarik. Karena tidak sengaja pada 2 buku yang saya baca pada titik tertentu ditemukan adanya pertentangan. Sudah sejak lama saya sadar akan pertentangan ide tersebut, namun baru kali ini saya tertarik untuk menulisnya.
Sebenarnya sederhana saja. Tentang paham Wihdatul al Wujud. Bagaimana seorang Syech Lemah Abang yang berkelebihan dalam arti memiliki tingkat derajat keimanan menyamai Wali yang selalu berbuat untuk kemaslahatan masyarakat pada abad 15, menjadi kekasih Allah. Menjadi kekasih disini bukan seperti layaknya kekasih yang dihujani hadiah, namun pengertian dalam paham tersebut adalah menjadi Yang sendiri, diibaratkan seperti Rajawali yang terbang mengarungi kesunyian. Tanpa dapat dilawan ia ditarik kesadarannya sehingga menjadi majnun. Dalam dirinya ia bukan lagi suami, ayah atau seorang wali tapi ia telah menyatu dengan kehendak Allah. Mungkin ini yang dinamakan paham Wihdatul al Wujud, dijawakan menjadi manunggaling kawula lan gusti.
Majnun adalah keadaan gila/trance karena tarikan yang begitu kuat dari alam bawah sadar. Dalam kasus Syech Lemah Abang disebutkan ia menjadi majnun karena posisinya yang terpilih menjadi kekasih Allah, sehingga Allah yang maha pencemburu tidak ingin ia berpaling dariNya. membuatnya lupa akan diri, anak dan istrinya. Tentu saja ia juga telah melepaskan nafs-nya yang digambarkan sebagai ular, anjing dan beberapa hewan lainnya.
Terus terang saya bergidik membaca penggambaran itu. Dari logika saya yang terbatas, saya tidak mengerti mengapa Allah membuatnya lupa akan tanggung jawabnya akan keluarga. Tapi ada banyak nilai yang saya pelajari bahwa justru kelebihan kelebihan yang dimiliki oleh Syech Lemah Abang menjadikan dirinya diberhalakan oleh penduduk yang baru saja mengenal agama. Sesuatu yang sangat dihindari oleh sang Syech. Mungkin dengan alasan itu pula Allah mencabutnya dari peredaran dengan menjadikan dirinya majnun. Tentu saja dengan keadaan majnun itu, hilanglah identitas Syech yang masyur dan karomah. Dalam pengertian tasawuf ia kehilangan hal hal yang bersifat kebendaan namun mendapatkan kenaikan pangkat yang tinggi di sisi Allah. Dalam pikirannya tidak ada hal lain selain Allah.
Sementara buku lain yang saya baca menekankan pentingnya beragama dengan akal sehat. Tentu saja buku ini menentang keadaan trance atau majnun itu saat manusia dipenuhi dengan kerinduan akan Allah. Paham menjadi kekasih Allah bukan berarti menjadi gila dan melupakan tanggung jawabnya terhadap keluarga dan masyarakat.
Kedua ide ini sangat menarik, yang satu mementingkan rasa pada akhirnya. yang lain menekankan rasionalitas.
Tentu saja tidak perlu bingung membacanya, keduanya mempunyai kebenaran sendiri sendiri. Bukankah kebenaran hakiki sejatinya adalah milik Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar