Kini setelah bekerja di Jakarta saya memang tidak menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa pergaulan. Lebih banyak dengan bahasa Indonesia dengan teman sekerja atau bahasa Inggris dengan Bos atau teman dari negara lain. Jadi tidak ada ruginya tidak bisa berbahasa Sunda. Bahasa Sunda tidak membuat penggunanya bangga, bahkan orang orang yang masih kental logat Sundanya kerap ditertawakan, sama seperti kita menertawakan logat Banyumasan, Tegal atau Batak. Bahkan logat orang Jawa yang. medok saat berbahasa Inggris kerap membuat kita terpingkal pingkal.
Bahasa Perancis terasa lebih sexy di telinga, bahasa Inggris membuat kita terlihat pintar, apalagi jika kita menguasai bahasa bahasa lainnya dari berbagai negara. Tidak heran penggunaan bahasa daerah dengan cepat berkurang sehingga akhirnya punah. Dan lagi lagi kita tidak peduli dengan kepunahan itu. Kecemasan itu hanya milik orang orang tua kolot yang tidak mau menerima kemajuan jaman. Di mana batas batas wilayah menjadi sumir. Orang berkomunikasi dalam satu bahasa dan itu adalah bahasa Internasional.
Kebijakan dunia pendidikan Indonesia lebih ramah terhadap bahasa Inggris terbukti dari hasil seminar di Bandung tahun 1992 yang merekomendasikan bahasa Inggris sebagai muatan lokal dan agar diberikan di SD mulai dari kelas IV - VI.
Belakangan rekomendasi ini menjadi kebijakan sekolah sekolah untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Juga dijadikan ajang komersialisasi pendidikan oleh sekolah umum dengan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan beralih menyebut dirinya menjadi Sekolah Berstandar Internasional (SBI) walau banyak ketidakjelasan tentang standar internasional mana yang dipakai.
Kita yang muda dengan gegap gempita meyambut keseragaman itu. Bangga akan lidah yang dengan fasihnya melafalkan kata kata asing. Sebisa mungkin menghapus identitas asli yang terasa kampungan dan tidak beradab.
Kita baru uring uringan saat negara tetangga mengakui budaya kita sebagai miliknya. walaupun mungkin pengetahuan kita sebagai pemilik asli mungkin tidak lebih baik dari sang tetangga. Kita cuma bisa bangga tapi tidak malu saat orang orang bule bersusah payah mempelajari bahasa bahasa daerah sementara kita sang pemilik asli cuma bisa melongo.
Saat manusia mulai jenuh dengan keseragaman, barulah kita tergopoh mencari identitas yang terkubur. Berusaha mengibarkan kembali semangat keragaman lokal yang menjadi dasar Indonesia.
Keengganan kaum muda untuk mempelajari bahasa bahasa daerah dan maraknya penggunaan bahasa Inggris di sekolah sekolah dasar mengingatkan saya akan "Polemik Kebudayaan" tahun 1935 - 1936 di mana Sutan Takdir Alisjahbana beranggapan bahwa kebudayaan Indonesia Modern haruslah terputus dengan kebudayaan masa silam yang dipengaruhi oleh Hindu dan Arab yang disebutnya sebagai kebudayaan Pra Indonesia.
Sebagai "Bapak bahasa Indonesia" Takdir mengecam banyaknya kata kata yang berasal dari bahasa daerah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Ia menganjurkan agar kebudayaan Indonesia benar benar harus mengacu ke barat meninggalkan segala warisan tradisional yang menyebabkan bangsa Indonesia menjadi statis.
Suatu usul yang ramai ditentang oleh Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara, Tjindarbumi dan rekan sastrawan lainnya. Ki Hadjar mengkhawatirkan masih rendahnya pendidikan rakyat Indonesia pada masa itu bila langsung dihadapkan dengan kebudayaan asing. Dengan kata lain Ki Hadjar menginginkan rakyat Indonesia harus mempunyai identitas yang kokoh terlebih dahulu sebelum menyerap budaya barat.
Harapan Sutan Takdir agar kita mengacu pada kebudayaan barat mungkin sudah mulai terwujud dengan tingkatan ekstrim, namun kekhawatiran Ki Hadjar bahwa rakyat Indonesia akan terlempar dari identitasnya juga sudah terlihat jelas.
Menurut Nurachman Hanafi, Dosen FKIP Universitas Mataram dalam makalahnya untuk seminar Nasional Bahasa Indonesia tahun 2009 memperkirakan bahwa Indonesia memiliki 750 bahasa daerah yang sebenarnya sangat dikagumi oleh para peneliti asing karena ciri khas pembedanya.
Menurutnya Bahasa Jawa menempati urutan pertama dengan jumlah penutur 60 juta jiwa diikuti dengan Bahasa Sunda dengan penutur sebanyak 24 juta jiwa.
Jika keberadaan bahasa yang pluralistis melemah akan menyebabkan melemahnya pewarisan pengetahuan tentang kebahasaan. Melemahnya keberagaman bahasa membuat kekuatan adaptasi manusia sebagai mahluk sosial merosot.
Saya pernah membaca ulasan, bahwa suksesnya operasi Woyla dalam rangka membebaskan penumpang Garuda dari pembajakan di Don Muang, Thailand juga dikarenakan komunikasi rahasia di lapangan antar tentara RI menggunakan bahasa Jawa agar tidak bocor ke tangan militer Thailand maupun para pembajak. Walaupun komandan operasi grup Para Komando saat itu Kolonel Sintong Panjaitan berasal dari Sumatera, namun ia menguasai bahasa Jawa.
Sekarang semua terpulang pada generasi sekarang dan kita sebagai generasi sebelumnya, apakah kita akan terus berjalan tanpa menoleh dan membiarkan semua ciri identitas yang semula menjadi tulang punggung terbentuknya Indonesia hilang tertutup kebudayaan lain. Atau membuka pintu untuk semua kebudayaan sambil tetap merawat milik kita sendiri.
Kini saya sungguh menyesal telah meremehkan bahasa daerah, bahasa yang sebenarnya menjadi identitas unik, bukti akan keragaman suku bangsa di Indonesia. Bahasa yang sama terhormatnya seperti bahasa Inggris dan Perancis.
Sungguh saya tidak ingin menjadi bagian dari masyarakat yang serba seragam. Saat semua budaya menjadi seragam, saat itulah kematian peradaban mulai menjelang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar