Anak kecil itu duduk di pedestrian yang menghubungkan jalan Margonda dengan Mall Margo City.
Saya yang baru saja kisruh berjalan kaki dari Gramedia menuju Margo City menyusuri jalan Margonda yang kusut langsung terhenti langkah bukan karena tertarik tapi karena anak itu duduk di tengah jalan.
Di depannya terdapat sekarung besar berisi tissue yang biasa dijual di kaki lima seharga dua ribu-an.
Sekilas terlihat anak itu berambut merah seperti lazimnya anak jalanan. Dia memang anak jalanan sih.
Yang menarik perhatian adalah teriakan anak itu..teriakan apa jeritan ya...Begini jeritannya:
"Kak, tolonggg kak, adik saya kena demam berdarah. Tolong beli kaaakkk".
udah gitu aja dan diulang-ulang. Karena sudah sering bertemu yang tipe begini jadi saya lewati saja sama seperti pejalan kaki lainnya.
Balik dari mall kali ini bersama ayah saya, anak itu masih giat berteriak-teriak.
"Kak, tolong kak, buat adik saya. Dia lagi sakit demam berdarah, bener saya gak bohong...sepuluh ribu aja, tolong beli kak"
Wekkkss, sepuluh ribu? gak salah nih?....maksudnya dia jual tissue dua ribu jadi sepuluh ribu gitu?
Ayah saya berhenti dan memberikan uang lima ribu rupiah sekedar sedekah. Saya menahan diri untuk tidak berkomentar apa pun.
Rasa iba sudah pasti ada karena anak yang berkeliaran di jalan dan meminta-minta sudah pasti memang tidak mampu. Namun cara berjualan seperti yang tadi ia lakukan membuat hilang niat saya untuk bersedekah, sekadar membeli barang jualannya.
Saya melirik tissue jualannya yang masih banyak. andai ia menjual tissuenya dengan harga wajar, pasti banyak yang akan membeli.
Seperti layaknya warga kota, mau tidak mau saya sudah menjadi bagian dari mereka yang selalu bercuriga terhadap warga kelas bawah. Seperti sekarang ini saya curiga kalau anak itu sebenarnya tidak punya adik yang sedang sakit. Itu hanya taktik untuk memancing rasa kasihan orang lain sehingga mau memberinya uang. Sudah seapatis itukah nurani saya?
Dugaan saya bisa jadi benar namun jika salah, sungguh malang anak itu. Kalau syak wasangka itu benar, alhamdulilah setidaknya anak itu tidak sedang tertimpa kemalangan, apa jadinya warga miskin jika sakit berat. Harusnya saya mengambil sisi yang terbaik, sisi yang mengabaikan segala prasangka.
Sambil menaiki jembatan penyeberangan saat tiba di lorongnya kembali tersaji pemandangan tak kalah memiriskan hati. Seorang ibu duduk menggelosor di lorong jembatan sambil mengelus-elus dua anak balitanya yang sedang tidur pulas. Kedua anak itu nyenyak terlelap tidak terganggu oleh langkah-langkah kaki orang yang kadang nyaris menginjak tubuh mereka.
Melihat ini semua, saya segera mengunci rapat-rapat sisi logika yang mulai bertanya-tanya, benar itu anaknya atau anak sewaan. Ibu itu asyik saja mengelus kepala dua balita tersebut dan sama sekali tidak menadahkan tangan meminta belas kasihan. Kembali saya terdiam.
Di tangan saya tergenggam buku-buku total berharga ratusan ribu rupiah yang keluar dengan enteng dari dompet, jika hanya untuk mengeluarkan dua sampai tiga ribu untuk sedekah saja saya masih keras mempertanyakan kebenaran pengeluaran itu berarti saya sudah kehilangan nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar