Penghapusan perbudakan yang dikumandangkan oleh Abraham Lincoln tahun 1863
telah sampai gemanya ke negara-negara koloni Belanda seperti Suriname.
Akibatnya koloni yang menyandarkan perekonomiannya pada perkebunan itu
mengalami kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang murah untuk mengurus ratusan
hektar tanah perkebunan.
Pemerintah kolonial pun melirik tanah jajahannya di Hindia Belanda.
Sebagai percobaan, tahun 1890 dikirimkan seratus orang Jawa ke Suriname untuk
dipekerjakan di perkebunan Tebu Marienburg. Para pekerja kontrak asal
Jawa itu menandatangani (dipaksa?) kontrak kerja selama 5 tahun dengan upah
sekitar 60 sen untuk pria dan 40 sen untuk wanita.
Apabila kontrak berakhir, para pekerja imigran itu akan mendapatkan tiket
kapal gratis kembali ke Jawa namun apabila ingin terus menetap maka pemerintah
akan memberikan uang sebesar 100 gulden ditambah sebidang tanah untuk bertani.
Antara tahun 1890 sampai dengan 1939 sudah sekitar 33,000 orang Jawa dikirim
ke Suriname. Dari jumlah tersebut sekitar 7,600 orang kembali ke
Jawa. Saat ini sekitar 75,000 orang Jawa bermukim di Suriname.
Jumlah tersebut cukup signifikan mengingat jumlah total penduduk Suriname yang cuma
sekitar 600,000 jiwa.
Demikian pembukaan pameran foto yang diberi judul "Stille
Passanten" di Erasmus Huis. Foto-foto yang dipamerkan merupakan
foto-foto bersejarah berlatar tahun 1900-an yang melukiskan kehidupan para
imigran Jawa di Suriname. Dengan foto hitam putih ekspresi para imigran Jawa masa lalu kuat terekam.
Pameran ini terbuka untuk umum, selain dihadiri orang-orang asing juga
dihadiri para pribumi seperti saya tentunya dan menjadi ajang reuni beberapa
orang tua yang saya duga berkaitan dengan tokoh-tokoh yang yang ada di foto
tersebut.
Beberapa orang yang potretnya terpampang dalam pameran itulah yang merupakan
tokoh-tokoh politik di Suriname di antaranya adalah Salikin Hardjo dan Iding
Soemita. Iding adalah pemimpin Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI)
sedangkan Salikin Hardjo memimpin Persatuan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS)
Antara KTPI dan PBIS terdapat perbedaan yang cukup prinsipil. KTPI pimpinan Iding lebih condong pada ingatan pada tanah Jawa sebagai pepunden, tanah leluhur sedangkan PBIS lebih mengutamakan bagaimana orang Jawa di Suriname bisa mendapat posisi yang lebih baik secara politik dan ekonomi.
Berbeda dengan Indonesia, Situasi politik Suriname saat mendapatkan kemerdekaan di tahun 1975 ternyata memicu migrasi penduduknya ke Belanda, termasuk juga suku Jawa Suriname.
Belanda mempunyai arsip-arsip lengkap tentang tanah koloninya. Tak heran jika selain tentang Indonesia yang rajin dipamerkan di Erasmus Huis, demikian halnya dengan Suriname.
Pameran kebudayaan Suriname ini pun tak lepas dari warna Indonesia khususnya Jawa. Kuliner Suriname juga turut diperkenalkan. Tak sengaja saya mengambil gelas cocktail yang ternyata berisi potongan pisang dengan kuah kacang encer, jadi itu appetizer sebenarnya..Duh, rasanya gak jelas sih...:)
Iding Soemita |
Anyway, di sana juga ada showcase kelompok musik Java Surinam, sayang karena saya malas pulang malam, jadi terpaksa melewatkan pertunjukan itu. Padahal ingin tahu juga seperti apa sih mereka.
Sebenarnya saya ingin ada semacam diskusi lanjutan tentang kehidupan orang-orang Jawa van Suriname itu dari sejak mereka pindah sebagai kuli kontrak sampai sekarang. Tapi untuk sekarang setidaknya pameran ini cukup membantu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar