Herbert Feith pernah membagi dua tipe kepemimpinan nasional yaitu solidarity makers dan problem solvers atau administrator. Tipe solidarity makers amat mudah lekat dalam ingatan berkat kemampuannya memikat massa dengan heroisme yang menggebu. Contoh paling gampang adalah Soekarno. Bahwa ya, Soekarno adalah presiden pertama, proklamator, konseptor yang hebat dan segala sesuatu yang serba revolusioner dilekatkan padanya, namun bersama dengan pidato-pidatonya yang selalu membakar semangat wajib dingat bahwa ada kewajiban penyelenggara negara yang harus dijalani hari demi hari.
Ada rakyat yang butuh kepastian sebagai warga negara, ada administrasi kependudukan yang harus dijalankan, ada tanggung jawab untuk menghasilkan pemasukan dan menjaga agar posisi neraca keuangan negara tetap stabil serta ribuan hal-hal rutin yang merupakan tugas penyelenggara negara. Kewajiban yang amat vital ini membutuhkan pribadi yang tekun, tangguh, pekerja keras, tidak butuh publikasi yang berlebihan, lebih banyak di belakang layar. Hatta dan Djuanda berada di kategori ini. Mereka lekat dengan administrasi.
Bila sejarah masih merekam jejak Hatta dengan sangat baik sebagai kebalikan dari Soekarno maka tidak demikian dengan Djuanda Kartawidjaja. Perdana menteri terakhir ini bisa dengan yakin kita katakan telah terlupakan. Yang teringat oleh kita adalah nama bandara di Surabaya.
Tak
ada yang ingat kala pasca kemerdekaan Djuanda diangkat menjadi kepala
Djawatan Kereta Api di tahun 1946 di Bandung. Ia menjabat saat
infrastruktur negara mengalami kehancuran akibat perang dan tugasnya adalah mengusahakan agar kereta dapat beroperasi kembali. Mobil, bus dan
truk nyaris tidak ada, angkutan laut terbatas pada pesisir Jawa dan
Sumatera. Transportasi kota nyaris sepenuhnya bergantung pada kereta
api yang kondisinya tak kalah payah. Kala menjadi Menteri Perhubungan,
agresi militer Belanda yang kedua terjadi. Hatta mempercayakan jabatan
Menteri Kemakmuran pada Djuanda. Artinya tugas Djuanda adalah mengatur
jalannya perekonomian negara di tengah penyelundupan yang merajalela, dualisme
mata uang dan keamanan yang belum stabil
Djuanda
adalah sedikit dari menteri yang tidak berpartai. Pendirian itulah yang
membuat ia bekerja dengan profesionalisme penuh. Pada masa Djuanda
berada dalam kabinet Wilopo lembaga-lembaga baru yang berkaitan dengan perhubungan dibangun, yang
sudah ada ditingkatkan. Sektor perhubungan laut dan udara yang semula
masih sangat bergantung pada KPM (Koninlijke Paketvaart Maatschappij)
dan KLM (koninlijke Luchtvaart Maatschappij) perlahan mulai dialihkan menjadi perusahaan patungan Indonesia dan Belanda. Djuanda mempertimbangkan dengan hati-hati kemampuan negara yang baru saja merdeka.
Akademi
pelayaran dan penerbangan dibuka, NV Garuda Indonesia Airways didirikan
tahun 1950 dengan pembagian saham 50% milik pemerintah RI dan sisanya
dimiliki oleh KLM, sebelum dikuasai sepenuhnya oleh RI empat tahun
kemudian.
Djuanda menjadi perdana menteri saat banyak daerah dilanda ketidakpuasan sehingga mereka angkat senjata menuntutnya untuk menyerahkan jabatan kepada Hatta. Dwi tunggal Soekarno Hatta saat itu memang terancam tanggal. Ketidaksabaran Hatta terhadap sifat Soekarno yang selalu sibuk dengan jargon revolusi belum selesai mencapai puncaknya walaupun semula dapat diredam dengan diselenggarakannya Musyawarah Nasional namun hal itu tidak berlangsung lama.
Melalui Biro Perancang Negara (BPN) Djuanda dianggap sebagai pelopor teknokrat. Perdana Menteri saat itu, Ali Sastroamidjojo menawarkan jabatan sebagai Direktur Jenderal di Biro Perancang Negara. Dalam masanya lah, Rencana Pembangunan Lima tahun (RLPT, yang kemudian menjadi Repelita) disusun oleh Djuanda dan team yang terdiri dari para sarjana muda dari fakultas ekonomi dan hukum. Awalnya RPLT tersebut dianggap terlalu mementingkan Jawa, namun Djuanda langsung mengirim team ke berbagai daerah untuk mengetahui sudut pandang para tokoh di sana.
Pembangunan model Community Development diterapkan Djuanda dan team bersama ahli dari PBB agar mendapat gambaran yang jelas tentang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat desa.
Djuanda memimpin kabinet yang dinamakan kabinet Karya yang diresmikan oleh Soekarno pada tanggal 9 April 1957 setelah Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri. AH Nasution mempunyai kisah menarik sehubungan dengan pergolakan di daerah menangapi naiknya zaken kabinet ini. Dewan Banteng di Padang menuntut agar kabinet ini dibubarkan dalam waktu 5x24 jam dan menggantinya dengan kabinet Hatta-Sultan Hamengkubuwono IX, tuntutan ini berlanjut dengan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat karena kabinet menolaknya. Peristiwa yang dikenal dengan nama PRRI. Betapa Djuanda susah payah mengupayakan penyehatan keuangan negara sementara Soekarno berpendapat politiklah yang terpenting. Nasution sering menyaksikan keduanya berdebat. Djuanda adalah salah satu dari sedikit orang yang dapat berbicara tegas kepada Soekarno.
M. Sadli, ekonom yang pernah bekerja sama dengan Djuanda mencatat bahwa kinerja ekonomi di tahun 50-an tahap pertama tidak jelek. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5-6% setahun dapat dicapai dalam kondisi infrastruktur dan kapasitas produksi sehabis perang. Keberadaan manajemen Belanda membantu memulihkan produksi. Kinerja ekonomi memburuk setelah tahun 1957, saat Belanda diusir, nasionalisme ekonomi yang nyaris tak terkendali, polarisasi politik dan operasi-operasi militer Irian Barat dan Ganyang Malaysia yang menyebabkan inflasi mencuat.
Di saat-saat genting tersebut rupanya team Panitia Rancangan Undang-undang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang berada di bawah Djuanda juga berjibaku menyiapkan undang-undang kelautan untuk menggantikan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonanti, 1939 jaman Hindia Belanda. UU kelautan yang baru ini dimaksudkan untuk mengamankan perairan antar pulau Indonesia yang kerap dilayari kapal asing tanpa izin. 13 Desember 1957 dikeluarkan deklarasi yang menyatakan bahwa "segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau dinyatakan sebagai bagian integral dari wilayah Indonesia".
Deklarasi itu membuat luas wilayah Indonesia bertambah menjadi sekitar 5 juta km2 dari 2 juta km2.
Djuanda yang bukan orang partai dan murni profesional sering dianggap kurang ideologis oleh para politisi saat itu. Rosihan Anwar memberikan kesan Saat Soekarno membubarkan Masyumi dan PSI serta menangkap tokoh-tokohnya Djuanda tidak dapat berbuat apa-apa. Yang luput mereka perhatikan adalah Djuanda benar-benar fokus mengatur keuangan negara yang morat-marit, apa jadinya bila Djuanda sebagai penanggung jawab kabinet malah sibuk berpolitik. Ali Budiardjo, rekannya dalam Biro Perancang Negara menulis dalam kenangan tentang Djuanda betapa Djuanda merasa sangat tertekan dengan penangkapan tokoh dan pembubaran partai-partai. Sebagai pejabat Presiden waktu itu saat Soekarno berada di luar negeri ia menganugerahkan bintang penghargaan kepada Sutan Sjahrir yang menimbulkan kemarahan Soekarno.
Beban kerja yang berat ditambah tekanan politik nampaknya membuat Djuanda mengalami masalah dengan kesehatan. Akhirnya tanggal 7 November 1963 jantung Djuanda menyerah. J. Leimena wakil Djuanda saat pemakaman mengungkapkan penderitaan batin Djuanda yang mati-matian mengupayakan stabilisasi namun kerap diserang oleh menteri-menteri lainnya dalam rapat.
Roeslan Abdulgani menganggap wafatnya Djuanda adalah titik balik Indonesia, Soekarno makin tak terkontrol karena semua keputusan diambil tanpa ada pertimbangan dari Menteri Pertama. Tersirat bahwa Djuanda tak tergantikan.
Para ekonom setelahnya mengakui Djuanda sebagai pelopor perencanaan pembangunan ekonomi sekaligus pelopor Lembaga Administrasi Negara. Djuanda memang dilupakan yang tertinggal adalah warisan ide dan cetak biru perencanaan ekonomi yang dijadikan acuan oleh Bapenas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar