Beberapa hari yang lalu saya menerima email dari kalyana Mitra berupa tulisan oleh Siti Musdah Mulia berjudul "Melawan Fundamentalis : Memuliakan Perempuan".
Tidak ingin salah persepsi mengenai apa itu fundamentalis, saya berusaha mencari referensi tentang apa arti fundamentalis dalam Islam. Memang dalam wikipedia fundamentalis adalah pemahaman secara literal terhadap teks. Adapula yang memaknai Islam fundamentalis sebagai bentuk perlawanan terhadap ideologi Barat yang cenderung sekuler dengan cara kembali kepada cara cara yang tertulis dalam Quran dan sunnah.
Bahkan belakangan saya menemukan istilah tambahan tentang Islam fundamentalis. Haidar Bagir menyebutkan sebagai Islam fundamentalis liberal dan Islam fundamentalis literal...nah lo!....Rasanya cuma Islam yang memiliki sangat banyak pergulatan internal seperti itu.
Saya pribadi cenderung menganggap Islam fundamentalis semestinya tidak seperti itu. Islam pada masa Muhammad dibangun atas dasar semangat keegaliteran terhadap laki laki dan perempuan. Para istri Muhammad digambarkan sebagai perempuan perempuan yang bebas mengemukakan pendapat di hadapan sang suami.
Entah pada perkembangan selanjutnya, melewati ratusan era pemerintahan selama ribuan tahun, ajaran tentang semangat persamaan derajat dan hak bisa saja tereduksi dengan adanya multi tafsir yang awalnya juga diilhami dari semangat Ijtihad.
Islam dasarnya adalah agama yang ramah dan toleran. Banyaknya aliran dalam Islam pada dasarnya adalah Islam menerima bentuk keragaman sebagai hakikat dari ciptaan Tuhan itu sendiri.
Di negara negara timur tengah seperti Afganistan, Iran dan Sudan, Islam dilukiskan oleh para penulis sebagai agama yang kejam tidak menghargai perbedaan dan kaum perempuan. Sudah tentu ini menjadi mindset yang tertanam sedemikian kuat tentang Islam fundamentalis.
Mungkin mereka akan berpandangan lain, apabila menoleh ke Indonesia. Dimana Islam menampilkan wajahnya yang ramah dan toleran. Dimana para wanitanya bebas berjilbab atau tidak, bebas keluar rumah dan mempunyai jabatan seperti layaknya kaum pria. Setidaknya saya sebagai orang Indonesia, merasakan Islam tidak seseram seperti yang ditulis dalam buku buku.
Penyebaran Islam di Indonesia berlangsung dengan damai sama sekali tidak ada ciri sebagai agama pedang seperti yang tertulis dalam banyak literatur.
Di Indonesia sendiri dikenal juga istilah kaum Islam tradisionalis dan Islam modernis. Yang disebut dengan Islam tradisionalis belum tentu fundamentalis sedangkan kaum modernis belum tentu otomatis menjadi liberal. Contohnya : almarhum Gus Dur yang berasal dari kaum tradisional NU tapi dikenal sebagai pemikir beraliran liberal.
Saya pribadi tidak ingin terjebak pada kutub liberal dan fundamentalis, dimana keduanya ngotot mempertahankan pemahaman mereka atas teks kitab suci. Pada dasarnya saya mempunyai tafsir pemahaman tersendiri terhadap Islam.
Saya setuju bahwa penafsiran terhadap teks kitab suci haruslah dinamis sesuai dengan jaman selama ijtihad yang dilakukan tidaklah bertentangan dengan kodrat kita sebagai manusia dengan segala keterbatasannya. Namun saya juga kurang setuju dengan tulisan tulisan yang mendeskripsikan Islam sebagai agama kasar dan kejam tanpa mempertimbangkan budaya yang berlaku dalam suatu negara yang bisa jadi tercampur saat menafsirkan ayat ayat Quran.
Irshad Manji, penulis kelahiran Canada yang menjadi terkenal gara gara bukunya "A Trouble with Islam today". Atau telah dialihbahasakan menjadi "Beriman tanpa rasa takut"
Sangat banyak respond terhadap buku tersebut dan juga kehidupan pribadi sang penulis. Manji menuliskan bahwa ia mempunyai pengalaman kurang menyenangkan dengan otoritas keagamaan. Sepertinya pengalaman itu yang membentuk kerangka berpikir demikian.
Kalangan liberal seperti JIL menganggap buku Manji membawa pencerahan sementara kalangan lain menganggap sebagai bentuk penistaan terhadap agama.
Saya menganggap buku itu adalah bentuk pendapat pribadi yang harus dihormati tanpa harus membela kaum liberal atau fundamentalis seperti juga saat saya membaca tulisan Siti Musdah Mulia terlepas dari setuju atau tidak.
Mungkin apa yang dikemukakan oleh Jalaludin Rahmad walaupun tidak ada hubungan dengan buku Manji cukup relevan dengan apa yang terjadi saat ini. Bahwa baik kaum liberal maupun fundamentalis harus belajar menerima eksistensi kelompok lain yang berbeda sikap. kaum liberal harus membuktikan bahwa mereka tetap berpegang teguh terhadap syariah sementara kaum fundamentalis juga harus belajar menerima perbedaan.
Bahwa perbedaan dalam Islam haruslah menjadi rahmatan li'l alamin dan dapat mendorong semangat kaum muslim untuk menyongsong perubahan.
Tidak ingin salah persepsi mengenai apa itu fundamentalis, saya berusaha mencari referensi tentang apa arti fundamentalis dalam Islam. Memang dalam wikipedia fundamentalis adalah pemahaman secara literal terhadap teks. Adapula yang memaknai Islam fundamentalis sebagai bentuk perlawanan terhadap ideologi Barat yang cenderung sekuler dengan cara kembali kepada cara cara yang tertulis dalam Quran dan sunnah.
Bahkan belakangan saya menemukan istilah tambahan tentang Islam fundamentalis. Haidar Bagir menyebutkan sebagai Islam fundamentalis liberal dan Islam fundamentalis literal...nah lo!....Rasanya cuma Islam yang memiliki sangat banyak pergulatan internal seperti itu.
Saya pribadi cenderung menganggap Islam fundamentalis semestinya tidak seperti itu. Islam pada masa Muhammad dibangun atas dasar semangat keegaliteran terhadap laki laki dan perempuan. Para istri Muhammad digambarkan sebagai perempuan perempuan yang bebas mengemukakan pendapat di hadapan sang suami.
Entah pada perkembangan selanjutnya, melewati ratusan era pemerintahan selama ribuan tahun, ajaran tentang semangat persamaan derajat dan hak bisa saja tereduksi dengan adanya multi tafsir yang awalnya juga diilhami dari semangat Ijtihad.
Islam dasarnya adalah agama yang ramah dan toleran. Banyaknya aliran dalam Islam pada dasarnya adalah Islam menerima bentuk keragaman sebagai hakikat dari ciptaan Tuhan itu sendiri.
Di negara negara timur tengah seperti Afganistan, Iran dan Sudan, Islam dilukiskan oleh para penulis sebagai agama yang kejam tidak menghargai perbedaan dan kaum perempuan. Sudah tentu ini menjadi mindset yang tertanam sedemikian kuat tentang Islam fundamentalis.
Mungkin mereka akan berpandangan lain, apabila menoleh ke Indonesia. Dimana Islam menampilkan wajahnya yang ramah dan toleran. Dimana para wanitanya bebas berjilbab atau tidak, bebas keluar rumah dan mempunyai jabatan seperti layaknya kaum pria. Setidaknya saya sebagai orang Indonesia, merasakan Islam tidak seseram seperti yang ditulis dalam buku buku.
Penyebaran Islam di Indonesia berlangsung dengan damai sama sekali tidak ada ciri sebagai agama pedang seperti yang tertulis dalam banyak literatur.
Di Indonesia sendiri dikenal juga istilah kaum Islam tradisionalis dan Islam modernis. Yang disebut dengan Islam tradisionalis belum tentu fundamentalis sedangkan kaum modernis belum tentu otomatis menjadi liberal. Contohnya : almarhum Gus Dur yang berasal dari kaum tradisional NU tapi dikenal sebagai pemikir beraliran liberal.
Saya pribadi tidak ingin terjebak pada kutub liberal dan fundamentalis, dimana keduanya ngotot mempertahankan pemahaman mereka atas teks kitab suci. Pada dasarnya saya mempunyai tafsir pemahaman tersendiri terhadap Islam.
Saya setuju bahwa penafsiran terhadap teks kitab suci haruslah dinamis sesuai dengan jaman selama ijtihad yang dilakukan tidaklah bertentangan dengan kodrat kita sebagai manusia dengan segala keterbatasannya. Namun saya juga kurang setuju dengan tulisan tulisan yang mendeskripsikan Islam sebagai agama kasar dan kejam tanpa mempertimbangkan budaya yang berlaku dalam suatu negara yang bisa jadi tercampur saat menafsirkan ayat ayat Quran.
Irshad Manji, penulis kelahiran Canada yang menjadi terkenal gara gara bukunya "A Trouble with Islam today". Atau telah dialihbahasakan menjadi "Beriman tanpa rasa takut"
Sangat banyak respond terhadap buku tersebut dan juga kehidupan pribadi sang penulis. Manji menuliskan bahwa ia mempunyai pengalaman kurang menyenangkan dengan otoritas keagamaan. Sepertinya pengalaman itu yang membentuk kerangka berpikir demikian.
Kalangan liberal seperti JIL menganggap buku Manji membawa pencerahan sementara kalangan lain menganggap sebagai bentuk penistaan terhadap agama.
Saya menganggap buku itu adalah bentuk pendapat pribadi yang harus dihormati tanpa harus membela kaum liberal atau fundamentalis seperti juga saat saya membaca tulisan Siti Musdah Mulia terlepas dari setuju atau tidak.
Mungkin apa yang dikemukakan oleh Jalaludin Rahmad walaupun tidak ada hubungan dengan buku Manji cukup relevan dengan apa yang terjadi saat ini. Bahwa baik kaum liberal maupun fundamentalis harus belajar menerima eksistensi kelompok lain yang berbeda sikap. kaum liberal harus membuktikan bahwa mereka tetap berpegang teguh terhadap syariah sementara kaum fundamentalis juga harus belajar menerima perbedaan.
Bahwa perbedaan dalam Islam haruslah menjadi rahmatan li'l alamin dan dapat mendorong semangat kaum muslim untuk menyongsong perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar