"Dari skala 1 sampai 10 dalam hal kesejahteraan, dimana skala perusahaan mas ada?" tanyaku kepada seorang pria berblangkon biru. "Wah, rendah sekali mbak." Kata si mas tersebut.
Matahari sedang bersinar dengan terik walau kadang disaput dengan awan. Aku mengarahkan pandang kepada ribuan buruh yang sedang berdemo menuju istana presiden. Sambil berjalan tersaruk saruk di sepanjang Thamrin, aku kembali melirik melalui lensa kamera Lumix memotret buruh buruh wanita yang berbaris menggunakan berkaca mata hitam, eh coklat ding,,,mereka sadar mode rupanya. Para pedagang minuman setia mengikuti dari pinggir jalan. Pengeras suara bergemuruh memutar lagu lagu tentang buruh yang terkadang bersyair kocak.
Kembali kami berbincang, kali ini tentang SJSN yang tak kunjung diterapkan; mas itu adalah salah seorang buruh pabrik baja di kawasan Bekasi sana, ia terbahak saat kutanyakan tentang SPSI. Tak terasa langkah kami sudah mendekati Monas dan sebentar lagi istana megah itu akan terlihat.
Di trotoar jalan yang teduh, di depan gedung gedung kuno pemerintahan yang anggun yang pada hari hari biasa dilewati oleh mobil mobil mewah, hari ini ditempati oleh buruh buruh yang kelelahan berjalan kaki. Mereka duduk menikmati makan siang baik yang dibagikan oleh koordinator atau membeli dari para pedagang yang dengan segera memenuhi sisi jalan yang biasanya terlarang buat mereka. Mirip piknik.
Saya kembali menyelinap diantara kerumunan di depan istana negara. Seorang tua berpakaian hitam dengan rambut digelung, kumis dan cambang putih menghiasi wajahnya tampak sedang diwawancarai. Penampilannya seperti paranormal.
Aku tersenyum geli mendengarnya berapi api menyampaikan pendapat. Lagi lagi seorang Soekarnois. Beberapa pendapatnya agak bertentangan dengan fakta sejarah, tapi biarlah mumpung kita berada di alam kemerdekaan semua bebas berpendapat. Tanpa membuang waktu kuarahkan kameraku kepada kakek paranormal itu.
Iseng, kuarahkan kakiku ke arah bis bis yang mengangkut para demonstran. Beberapa dihiasi dengan poster poster provokatif yang kembali membuatku membuka lensa kamera.
Para pendemo yang baru datang kemudian mengusung poster poster besar. Ah, rupanya ada yang memajang foto Karl Marx besar besar dengan tulisan Bapak Buruh Indonesia....
Demo buruh kali ini juga diikuti oleh penduduk asal Rumpin, Bogor yang sedang bersengketa dengan Badan Pertahanan Nasional.
Tidak ketinggalan para PRT asal Ciganjur juga berpartisipasi. Sayang aku lupa menanyakan gaji mereka perbulan, saat mereka membentangkan poster dan memintaku memotret.
Ah, jika PRT juga ikutan protes celakalah aku....bisa jadi gaji pembantuku juga berada di bawah UMR.
Aku merasa tungkaiku pegal luar biasa, tentu saja berjalan kaki dari bundaran HI sampai Istana bukanlah hal yang enteng buatku. Saat pergi tidak terasa karena banyak moment menarik sepanjang jalan.
Cukuplah pengembaraan saya hari ini. Pengalaman menarik untuk memuaskan rasa ingin tahu. Sejenak aku menengadahkan wajah, bersyukur atas apa yang kualami hari ini, atas bertambahnya wawasan mengenai carut marut negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar