Beberapa hari ini di FB cukup heboh dengan topik ditariknya Sri Mulyani menjadi Direktur Eksekutif di World Bank.
Siapa sih yang gak kenal World Bank? kembarannya IMF yang bermarkas di DC. Rata rata pemilik FB terutama perempuan mengaku bangga dengan terpilihnya SMI. Saya juga bangga karena memang tidak mudah menjadi salah satu pimpinan organisasi kelas dunia. SMI memang memiliki kualitas unggul. Latar belakang kariernya memang mendukung. Sebelumnya ia menjabat Direktur Eksekutif IMF.
Tak pelak SMI jauh lebih unggul dibanding Kwik Kian Gie si tukang kritik. Dan saya cukup yakin bahwa SMI cukup bersih dari tindak korupsi.
Di luar itu semua saya berharap andai SMI merubah mindsetnya dari IMF sentris yang neolib tentu ia akan lebih diakui. Andai ia berani mengikuti cara Mohamad Yunus, mulai fokus kepada ekonomi mikro, dan berani bersikap kritis terhadap Bank Dunia berani jamin, namanya akan melonjak sejajar dengan Ahmadinejad dan Evo Morales. Sayang memang SBY terlihat seperti bubur lembek jika dibandingkan 2 orang pemimpin itu.
World Bank tidak pelak lagi membawa kepentingan Amerika sama seperti PBB. Bukankah negara itu merupakan donor utama. Dengan markas yang terletak di Washington tentu akan lebih mudah bagi pemerintah Amerika mengontrol tiap kebijakan yang dibuat baik oleh IMF maupun World Bank.
Negara adi kuasa itu membutuhkan resources sumber daya alam yang kebanyakan dimiliki oleh negara negara dunia ketiga. Cara yang paling halus adalah menggelontorkan dana pinjaman dengan syarat syarat tertentu yang pada akhirnya membuat negara tersebut membuat peraturan peraturan akomodatif terhadap kepentingan Amerika. Salah satunya mengijinkan perusahaan berskala internasional milik Amerika masuk dan berinvestasi.
Bagus jika negara dunia ketiga mempunyai daya tawar yang kuat dan tidak begitu saja menerima syarat syarat dari Amerika. Tapi banyak yang seperti Indonesia yang pemerintahnya malas menganalisa dan lebih memilih menerima mentah mentah.
Peranan World Bank sebenarnya sangat diperlukan untuk memberikan advis dan bantuan terhadap negara negara dunia ketiga secara profesional apabila sesuai dengan porsinya; apalagi mereka didukung oleh dana yang hampir tak terbatas. Hanya sangat disayangkan intervensi kepentingan Amerika yang sangat kentara disana. Sehingga resep resep ekonomi yang diberikan bukannya mengeluarkan negara tersebut dari krisis tapi lebih kepada bagaimana Amerika bisa masuk dan bermain di negara itu. Pada akhirnya negara sial itu terlibat hutang yang sangat besar sementara kemajuan yang didapat tidaklah signifikan.
Namun nampaknya Amerika kini harus berhati hati karena banyak negara yang mulai bersikap kritis terhadap berbagai kebijakannya. Salah satunya Iran dan Bolivia.
Iran dibawah kepemimpinan Ahmadinejad terang terangan menolak campur tangan Amerika terhadap industri nuklirnya. Evo Morales dari Bolivia mengecam kecongkakan Amerika yang secara sepihak melarang penanaman kokain. Karena di Bolivia sendiri seperti halnya di Aceh dengan pohon ganjanya, pohon koka dibutuhkan untuk pembuatan obat obatan tradisional dan merupakan tumbuhan yang turun temurun ditanam oleh rakyat Bolivia.
Belum lagi Hugo Chavez, Presiden dari Venezuela. Kita tentu belum lupa terhadap jagoan tua yang menolak tunduk kepada Amerika seumur hidupnya. Fidel Castro, El Commandante dari Cuba.
Tidak ada alasan bagi SBY untuk merunduk runduk kepada Amerika atau Inggris. Mereka membutuhkan sumber daya alam kita, pemerintah kitalah yang harus pintar pintar memanfaatkan daya tawar ini. Mungkin bisa dimulai dari kedutaan. Kedutaan Amerika di sini sebaiknya tidak lagi diistimewakan dengan adanya kawat kawat berduri dan larangan untuk memberhentikan kendaraan begitu juga dengan Kedutaan Inggris yang entah atas ijin siapa bisa menutup sepotong ruas jalan disamping gedungnya. Aparat Pemda DKI dimana sih otaknya, kok kotanya bisa diacak acak oleh orang asing.
Kapan ya kita bisa seperti Iran, yang penuh harga diri jika berhadapan dengan negara adi kuasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar