Sabtu pagi di komplek rumah selalu merupakan saat yang menyenangkan.
Senang karena bisa meluangkan waktu memperhatikan aktivitas manusia yang berlalu lalang di depan rumah.
Ada beberapa yang selalu menarik perhatian saya.
Nomer 1 adalah seorang ibu yang menuntun sepeda dengan panci besar berisi ayam yang telah dibumbui di boncengan belakang, sementara di stang kanan kirinya bergelantungan plastik plastik berisi mpek mpek dan tahu. Saya beberapa kali membeli ayam dan mpek mpeknya
Dengan kontur jalan yang berbukit bukit dapat dibayangkan betapa ngos ngosannya si Ibu saat hilir mudik menjajakan dagangannya.
Nomer 2 adalah ibu penjual jamu langganan saya dan asyar. Dengan gerobak dorong mungil bercat hijau ia berkeliling menawarkan kunyit asem, beras kencur serta jamu jamu lain untuk anak dan dewasa. Kadang kadang ia membawa anaknya yang masih balita dalam gendongan.
Nomer 3 adalah sepasang nenek berusia kurang lebih 60 tahun-an. Menjinjing keranjang dan membawa payung untuk melindungi dari terik matahari. Mereka berjalan kaki dari rumah ke rumah menawarkan rempeyek, keripik pisang dan keripik singkong. Saya juga sering mencegat duo nenek itu untuk membeli dagangannya.
Yang ke 4 adalah mbak dewi, tukang nasi uduk yang mangkal di dekat portal sektor 2. Ia tiap hari berjualan nasi uduk, lontong sayur dan gorengan. Asyar hampir tiap sabtu pagi dengan sepeda menyambangi gerobak mbak dewi untuk sepiring nasi uduk sekaligus mengobrol dengan Zahra, anak si mbak yang sebaya dengannya.
Kelihatannya biasa bukan, 5 orang perempuan berjualan. Tapi selalu menarik buat saya. Karena ketertarikan itu pula saya sering mengobrol saat membeli dagangan mereka.
Satu persamaan motif : Ekonomi.
Ketidakberuntungan ekonomi yang memaksa para perempuan itu harus melepaskan impiannya menjadi ratu rumah tangga, memusatkan perhatian mereka untuk mengurus anak dan suami dengan bantuan pembantu rumah tangga seperti lazimnya rumah tangga Indonesia masa kini.
Mereka bukan saja harus mengurus keluarga lengkap dengan tetek bengeknya, tapi juga turun tangan sebagai pencari nafkah. Bangun di pagi buta menyiapkan peralatan dan meracik makanan yang akan dijual, saat matahari menjelang berangkat berdagang sampai siang, bahkan sore pun kadang dipakai untuk berjualan yang lain.
Begitulah mereka, di sela sela problema rumah tangga seperti anak sakit, suami sakit atau bahkan diri sendiri yang sakit. Para perempuan itu tetap harus berjalan mencari nafkah.
Tidak berdagang sehari berarti tidak ada pemasukan. Jika tubuh yang sakit itu masih bisa dipakai berjalan, maka the show must go on. Dokter dan rumah sakit bagi mereka merupakan kata yang berkonotasi dengan biaya mahal, jadi kata 2 kata itu sebaiknya dihapus dari memori. Jika sakit mereka memilih puskesmas yang murah meriah, Puskesmas di Sawangan cukup baik ternyata (untunglah saya pernah iseng mengantri di puskesmas tersebut, sehingga tahu keadaan sesungguhnya)
Jika saya yang saat itu terserang sakit mata masih bisa minta ijin tidak masuk dan bisa beristirahat dengan nyaman, tidak demikian dengan mereka. Jika sabtu dan minggu menjadi alasan bagi saya untuk memanjakan diri, bagi mereka 2 hari tersebut tidak ada bedanya dengan Senin-Jumat, hari hari penuh kerja keras dan keprihatinan.
Jika saya mengeluh tidak tahan dengan teriknya matahari di luar sana, maka para perempuan itu menganggap matahari adalah sahabatnya.
Berkaca kepada kegigihan mereka saya merasa sangat malu. Tidak bisa disangkal saya harus mengurangi segala kemanjaan ini dan harus bekerja lebih keras lagi.
Keikhlasan dan kekerasan hati mereka dalam mencari nafkah sungguh sangat menginspirasi. Dengan pendidikan yang boleh dibilang tidak tinggi mereka berhasil mempersonifikasikan diri sebagai motor penggerak ekonomi keluarga.
Saat ini saya dihinggapi rasa rendah diri jika dibandingkan mereka. Dengan keberuntungan yang dimiliki mestinya saya bisa lebih gigih lagi dalam menghadapi kehidupan, harusnya saya tidak banyak bermalas malasan serta lebih menempa diri.
Lain kali jika saya merasa tulang serasa remuk sehabis pulang kantor, maka saya harus melihat para Ibu itu yang pasti merasakan hal lebih parah lagi. Dan saya harus stop mengeluh, bahkan harus bersyukur bisa serba sedikit meniru langkah para perempuan itu sebagai petarung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar