Banda Naira adalah sebuah gugusan kepulauan di Maluku yang
terletak di tengah laut Banda dengan pemandangan gunung api di tengahnya. Terdapat 10 pulau dalam gugusan kepulauan
tersebut antara lain pulau Banda besar (yang terbesar) dan pulau Run yang sering
dikaitkan dengan perjanjian Breda tahun 1667
http://koleksitempodoeloe.blogspot.co.id/2013/03/peta-kuno-abad-17-th1700an-kepulauan.html |
Namun pulau yang hampir tidak terlihat di peta ini pada abad
ke 16 menjadi incaran utama para pedagang Eropa berkat komoditi yang hanya ada
di Banda yaitu Pala (Myristica Fragrans)
Pala adalah rempah yang paling mewah di Eropa pada abad
tersebut. Salah satu jenis tumbuhan yang
mempunyai khasiat pengobatan paling hebat.
Para tabib di London pada jaman itu mengklaim bahwa aroma terapi yang
terbuat dari Pala adalah satu-satunya penawar untuk wabah penyakit sampar.
Para pedagang di London membeli rempah di Venesia yang
memperolehnya dari Konstatinopel.
Samar-samar mereka memdengar tentang negeri penghasil pala yang terletak
jauh di Timur.
Tentu saja keberadaan negeri penghasil pala ini disertai
dengan kisah-kisah mengerikan tentang monster laut dan manusia-manusia kanibal.
Namun cerita-cerita mengerikan tentang negeri Timur
penghasil rempah ini tidak menyurutkan niat para pelaut dari Portugis, Sepanyol
dan Indggris untuk berlomba menemukan tanah impian tersebut.
Kapal Portugis pertama kali menyinggahi Banda di bawah
pimpinan Fransisco Serao dan Antonio de Abreu pada tahun 1512 atas perintah
Alfonso de’ Albuquerque yang telah menaklukkan Malaka di tahun 1511.
Dalam catatannya Serao menulis bahwa ia terperanjat karena
orang Moro (orang Arab dalam sebutan Spanyol dan Portugis) telah lebih dulu
tiba di Banda kurang lebih 100 tahun.
Kapal yang dipimpin oleh Fransisco Serao berhasil memperoleh
rempah-rempah sesuai yang diinginkan dan segera diangkut ke Lisbon. Pendapatan dari muatan tersebut menghasilkan
keuntungan hingga 1000%.
Portugis sempat merahasiakan jalur pelayaran menuju kepulauan rempah selama beberapa puluh
tahun, namun salah seorang bekas pegawai yang berkebangsaan Belanda, Jan
Huyghen van Linschoten berhasil menyalin peta navigasi lengkap dengan
detailnya lalu diterbitkan menjadi sebuah jurnal yang dikenal dengan nama Itinerario di tahun 1596
Berkat peta dari Linschoten lah dua kapal Belanda berhasil
mencapai Banda Naira pada tahun 1599 dipimpin oleh Jacob van Heemskerk. Kedua kapal ini merupakan bagian dari
ekspedisi yang dikomandoi oleh Jacob Van Neck. Para pendatang baru ini berhasil mengambil
hati masyarakat sehingga membuat
Portugis berusaha mempengaruhi bupati Tuban untuk mengirimkan tentara guna
membantu mengusir Belanda.. Tahun 1602 niat itu dilaksanakan namun mengalami kegagalan
karena kehadiran dua kapal ekspedisi Belanda.
http://www.linschoten-vereeniging.nl/jan_huygen.htm |
Sementara ekspedisi Inggris juga tiba di kepulauan Banda di
tahun 1602 dan mengklaim kepemilikan pulau Run. Sebelumnya pada tahun 1601 Ratu Elizabeth
merestui pembentukan East India Company (EIC), semacam perusahaan dagang mirip
VOC. EIC kemudian melakukan pelayaran
perdana ke kepulauan Maluku.
Kapten James Lancaster ditugaskan untuk memimpin 7 kapal
yang merupakan satu kelompok ekspedisi
Inggris. Lancaster juga mencarter
kapal-kapal kecil untuk mengangkat rombongan .
Sebagian dari pedagang yang ikut
dalam rombongan ekspedisi itu tinggal di Ternate dan Banda Naira lalu membuat
pangkalan laut di pulau Run.
Muatan rempah yang mereka kapalkan ke London mendatangkan
keuntungan yang fantastis. Dengan
menjual sekantung kecil rempah sudah bisa membuat seseorang berkecukupan seumur
hidupnya.
Khawatir dengan perdagangan pala illegal, saat armada
Inggris pertama yang bermuatan pala, cengkeh dan lada tiba di London, para
saudagar melarang para pekerja pelabuhan mengenakan pakaian bersaku untuk
menghindari pencurian rempah-rempah tersebut.
Di akhir tahun 1665, Samuel Pepys seorang anggota konggres
dan administrator pelayaran menulis dalam jurnalnya bahwa ia bertemu secara
rahasia dengan beberapa pelaut untuk menukar emas miliknya dengan sejumput lada
dan cengkeh.
Belanda melihat kedatangan Inggris sebagai gangguan dan
berusaha menekan penduduk Banda Naira untuk memberikan hak eksklusif pembelian
pala dan bunga pala serta merintangi hubungan perdagangan antara pedagang
Inggris dan penduduk Banda.
Perselisihan antara Belanda dan penduduk Banda berujung pada
tewasnya Laksamana Verhoeven bersama anak buahnya. Kematian Verhoeven membuat Belanda mengirim
serangan balasan untuk menghukum penduduk Banda Naira. Beberapa orang
kaya menandatangani perjanjian monopoli dan pemeriksaan kepada setiap perahu
dan kapal yang datang serta wewenang Belanda untuk memberikan izin pelayaran
antar pulau dan izin untuk berdiam di Naira.
Namun pada kenyataannya hampir tidak ada penduduk Banda yang
mematuhi hasil perjanjian tersebut.
Perdagangan dengan Inggris tetap berjalan. Para pedagang lokal tidak gentar menghadapi
kapal patrol Belanda di laut.
Di sisi lain Belanda yang telah memperkuat
benteng Nasau harus mengeluarkan biaya yang lebih besar lagi untuk membangun
benteng Belgica. Situasi ini tentu saja
membuat geram de Heeren XVII. Dewan
tersebut mengutus Pieter Both, Gubernur Jenderal pertama VOC untuk memberikan
pelajaran pada rakyat setempat.
Namun sebelum
tuntas ia harus berlayar menuju Ternate untuk persoalan lain yang lebih
mendesak dan meninggalkan masalah yang sama pada penggantinya sebelum muncul Jan
Pieteszoon Coen.
Kedatangan Coen ke Banda sebagai Gubernur Jenderal VOC pada
tahun 1621 membawa perubahan dalam menyikapi pembakangan penduduk Banda. Dalam waktu singkat Coen dan pasukannya dapat
menguasai Banda besar. Para orang kaya
menemui Coen untuk berdamai dan setuju untuk membayar 1/10 dari hasil panen
sebagai ganti perlindungan dari VOC.
Sebuah benteng dibangun lagi di Lontor untuk pertahanan dan
dinamakan Hollandia. Penduduk Banda
banyak memilih untuk mengungsi ke puncak-puncak bukit.
Hal yang paling menggores ingatan penduduk Banda adalah
ketika di tahun 1621 pada suatu malam, ketika sebuah lampu gantung dalam masjid
di Selamon terjatuh sehingga terjadi kebakaran yang menimbulkan kepanikan dalam
kampung. Pihak VOC menduga itu adalah
tanda dari serangan dan menangkapi orang-orang yang diduga terlibat dan
kemudian dikirim ke Baavia. Banyak di
antara para penduduk yang melarikand diri ke pulau Seram dan Kei.
Hukuman mati dijatuhkan pada 40 orang kaya dan Banda
kehilangan 60% penduduknya sehingga meninggalkan kebun-kebun pala yang segera
dibagi-bagikan oleh VOC kepada para perwiranya.
Banda Naira dibagi menjadi 37 kavling yang dinamakan Perk atau kebun. Maka lahirlah istilah Perkenier atau pemilik
kebun.
Hasil panen pala dari
perk itu harus dijual kepada VOC seharga 5 sen/kg. sedang Harga di Eropa adalah
10 gulden/kg.
Masih ada pulau penting yang luput dari cengkeraman VOC saat
itu yaitu pulau Run yang masih dalam kekuasaan Inggris sampai dengan adanya
Perjanjian Breda di tahun 1667.
Pasca peristiwa penyerangan dan pembunuhan terhadap penduduk
Banda membawa banyak perubahan dalam struktur komposisi masyarakat. Banda Naira mengalami banyak perubahan. Orang-orang Melayu, Mozambiq, Arab, Cina,
India, Spanyol dan Belanda memberikan warna lain dalam tatanan sosial dan
kemasyarakatan.
Para pejabat VOC pada abad 17 menikmati kehidupan mewah
berkat hasil dari rempah-rempah, khusus di Banda Naira, pala yang jadi andalan. Francois Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost
Indîén mencatat penghasilan para pejabat tersebut yang sangat tinggi berikut
jaminan kesejahteraan lainnya. Seorang
Gubernur VOC ketika pension akan kembali ke negaranya sebagai seorang yang kaya
raya.
Dari hasil panen pala di Banda saja Belanda dapat membangun
kota-kota seperti Amsterdam dan Hoorn.
Walaupun telah menguasai wilayah Banda Naira secara
keseluruhan, bukan berarti masalah yang dihadapi VOC sudah selesai. Bencana alam susul menyusul mengganggu
produksi pala, belum lagi penyelundupan yang dilakukan oleh para
perkenier. Kas VOC semakin menipis
akibat piutang yang tak kunjung dibayar oleh para perkenier.
Silih berganti bangsa Eropa menduduki Banda Naira, kali ini
Inggris kembali bercokol di penghujung abad 18, tepatnya tahun 1796. Kedatangan kembali Inggris yang tidak
mengetahui kondisi perkebunan dan hasil produksi pala di Banda membuat para
perkenier semakin bebas melakukan perdagangan gelap.
Tahun 1810 Inggris memperoleh 3 gudang penuh pala dan fuli
yang menghasilkan hampir satu juta poundsterling sehingga Inggris mampu
membiayai seluruh operasi militernya untuk menduduki kota-kota utama seperti
Batavia, Ternate, Ambon dan Banda.
Inggris meninggalkan Banda tahun 1816-1817.
Namun Inggris bukannya tidak mempunyai rencana untuk
mematahkan dominasi Banda sebagai penghasil pala. Serangkaian percobaan penanaman pala di luar
Banda seperti Srilanka, Bengkulu dan Penang mulai dilakukan. Dalam waktu 10 tahun bibit pala yang ditanam
telah tumbuh menjadi jenis unggul. Pala
asal Bengkulu mencapai pasaran Eropa tahun 1825, berturut-turut pala asal Penang
tahun 1830 dan pala asal Singapura pada tahun 1840. Sehingga pada tahun 1860 kedudukan Banda
sebagai penghasil satu-satunya pala sudah tergeser. Selanjutnya Banda benar-benar terdesak oleh Sulawesi, Jawa dan Sumatera
dengan komoditi lain, seiring dengan jatuhnya nilai rempah-rempah di pasaran
Eropa
Setelah VOC bubar, pemerintah Belanda membentuk
Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), sebuah perusahaan semi swasta untuk menggantikan
VOC. NHM melalui cabangnya Credit en
Handels Venootschap (CHV) memberikan pinjaman kepada para perkenier untuk
meningkatkan produksinya. Namun banyaknya perkenier yang tidak mampu
melunasi hutang membuat CHV mengambil alih hak guna atas tanah mereka. Sampai tahun 1890-an CHV telah mengendalikan
sekitar 65% kebun Pala di Banda.
CHV tidak sendiri
dalam menguasai kebun-kebun pala
tersebut. Ada keluarga Kok yang juga
menguasai perk-perk di Banda. Di akhir
abad 19 banyak perkenier yang melepaskan kebun mereka dan pindah ke luar
daerah.
Harga pala dan fuli jatuh di pasaran internasional karena
koloni-koloni Perancis dan Inggris mulai memproduksi tanaman tersebut sehingga
supply melimpah. Namun pala asal Banda
tetap dianggap yang terbaik mutunya.
Sayangnya, kini komoditas pala yang terbaik itu tidak sanggup mengangkat nasib rakyatnya.
NOTE
Dalam buku Sejarah Maluku ~ Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, Des Alwi memaparkan sejarah Banda yang sekaligus juga napak tilas tentang kisah kakeknya Said Tjong Baadilla yang merupakan kepala adat berjuluk "Kapitein der Arabieren" dan salah satu pedagang kerang mutiara sampai akhirnya menjadi pemilik armada kapal.
Sementara buku Dunia Maluku (World of Maluku) - Leonard Andaya memaparkan secara sistematis sejarah Ternate dan Tidore lengkap dengan hierarki sosial masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar