GOLKAR = pohon beringin, Soeharto, kuningisasi.
3 hal itu rasanya cukup mewakili yang terkilas dalam benak orang saat mendengar nama Golkar.
Tidak salah dan memang wajar karena belasan tahun Golkar menjadi pilihan wajib bagi pegawai negeri dan segenap petinggi negara. Golkar menjadi raksasa karena dipelihara dan difasilitasi negara, karena memang partai yang dulunya bukan partai ini sebenarnya dibentuk sebagai antitesis dari partai-partai yang dianggap sering merecoki kinerja kabinet.
Soekarno yang merasa gerah dengan perselisihan antar partai mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu organisasi yang tidak lagi berazaskan ideologi tertentu namun anggotanya mempunyai fungsi-fungsi yang berbeda yang dipersatukan oleh tujuan.
Perdana Menteri Juanda Kartawidjaja menegaskan bahwa organisasi ini menampung semua orang yang berasal dari beragam
profesi/pekerjaan namun tidak memusingkan masalah ideologi dan non partai. Bahwa penggolongan yang didasarkan pada ideologi juga dapat mewakili kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat homogen. Namun bagi masyarakat heterogen seperti Indonesia tentunya tidak demikian, kepentingan buruh beda dengan kepentingan petani walau ideologi sama.
Soekarno memang telah membuka jalan bagi demokrasi terpimpin saat berpidato menganjurkan untuk mengubur partai-partai di tahun 1956 dan mencetuskan kemungkinan adanya satu partai. Sebelumnya pada tahun 1945 ia yang mengusulkan agar Indonesia menjadi negara satu partai di bawah PNI.
Adalah Ki Hajar Dewantara yang memperkenalkan politik kolektivisme yang lebih dikenal sebagai azas kekeluargaan yang menganggap perlunya politik paternalistik. Politik paternalistik inilah sering disebut sebagai demokrasi dengan kepemimpinan. Ki Hajar memperingatkan bahwa kebudayaan Indonesia terancam oleh nilai-nilai materialisme, individualisme dan egoisme ala barat.
Hampir senada dengan Ki Hajar, Prof. Soepomo seorang ahli hukum terkemuka lulusan Leiden saat itu juga mendorong penerapan hukum adat dalam lembaga-lembaga negara. Bagi Soepomo dalam hukum adat yang primer adalah masyarakat dan bukan individu. Bahwa kepentingan individu harus tunduk pada kepentingan masyarakat.
Soekarno jelas-jelas tidak menyukai demokrasi parlementer di negara barat yang menyebabkan kapitalisme tumbuh subur karena dibangun atas dasar individualisme.
Selain faktor perselisihan antar partai yang tak kunjung usai, ada variabel lain yang membuat Soekarno kian mantap dengan ide mengubur partai-partai adalah kekagumannya akan sistem pemerintahan di Cina dan Yugoslavia yang dianggap efektif. Cina dan Yugoslavia adalah negara satu partai dan parlemennya memiliki golongan fungsional sebagai anggota.
Gagasan untuk mengganti partai-partai dengan golongan fungsional atau kalau diIndonesiakan menjadi golongan karya ini didukung oleh Nasution yang membutuhkan sekutu untuk menghadapi kabinet yang didominasi oleh partai. Nasution memang mempunyai pengalaman pahit akibat campur tangan kabinet terhadap Angkatan Darat yang menyebabkan ia dicopot dari jabatan.
Bahkan Angkatan Darat kini yang bertindak lebih agresif, di tahun 1959 Angkatan Darat telah membentuk berbagai organisasi golongan fungsional yang lebih ditujukan untuk menghadapi PKI sementara Soekarno belum membentuk apapun.
Sementara Soekarno sibuk dengan usaha menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dengan membentuk Banas (Badan nasionalisasi) yang mengubah status perusahaan milik asing menjadi perusahaan negara.
Suhardiman yang masih berpangkat Kapten waktu itu dan menjabat sebagai sekretaris Banas mengusulkan pembentukan semacam perkumpulan karyawan perusahaan negara (PKPN) yang kini dikenal dengan nama SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Indonesia).
SOKSI nantinya akan berperan besar dalam masa awal pembentukan Golongan Karya
Tragisnya saat Soekarno berselisih dengan pimpinan Angkatan Darat ia malah berbalik kepada partai-partai yang masih loyal pada dirinya. Golongan Karya sempat menghadapi tahun-tahun sulit periode 1962-1965 saat Yamin dan Juanda meninggal dunia, demikian pula tokoh-tokoh anti partai telah banyak digeser dan Soebandrio yang dekat dengan PKI justru kian mendekatkan diri pada Soekarno.
Situasi Golongan Karya (Golkar) berubah pasca G30S dimana peraturan Presiden Nomor 2 tahun 1959 yang melarang PNS golongan atas menjadi anggota partai diterapkan. Ormas partai yang berada dalam kategori golongan karya harus dikeluarkan dan digantikan oleh anggota yang diangkat oleh Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar. Golkar sendiri memposisikan diri sebagai organisasi yang loyal kepada pemerintah dan selalu mendukung program-program pemerintah.
Pada 5 September 1966, Soeharto mengirim instruksi kepada 4 panglima angkatan dalam ABRI untuk menyediakan fasilitas seluas-luasnya bagi perkembangan sekber Golkar di pusat dan daerah.
Soeharto sendiri pada konggres tahun 1973 ditabalkan menjadi Pembina Tertinggi Golkar dan menjadi ketua umum dewan pembina di tahun 1978.
Bagi yang mengalami masa kejayaan Golkar di tahun 80-an masih menyimpan ingatan saat warna pagar-pagar kantor Pemda dan pohon berubah jadi kuning menjelang pemilu. Sistem perpolitikan yang dijalankan oleh orde Soeharto memang memungkinkan perintah pemenangan Golkar dapat dilakukan oleh pejabat dari eselon tertinggi sampai terendah dengan leluasa tanpa memeras keringat.
Pada akhirnya Golkar sejak terbentuknya di tahun 1957 berdasarkan gagasan Soekarno dalam perjalanannya pasca 1965 berubah menjadi matra anti PKI yang digunakan oleh Soeharto dan Angkatan Darat. Sedangkan dari tahun 1998 sampai sekarang Golkar bertransformasi menjadi partai yang diambil alih oleh para pengusaha.
3 hal itu rasanya cukup mewakili yang terkilas dalam benak orang saat mendengar nama Golkar.
Tidak salah dan memang wajar karena belasan tahun Golkar menjadi pilihan wajib bagi pegawai negeri dan segenap petinggi negara. Golkar menjadi raksasa karena dipelihara dan difasilitasi negara, karena memang partai yang dulunya bukan partai ini sebenarnya dibentuk sebagai antitesis dari partai-partai yang dianggap sering merecoki kinerja kabinet.
gambar dari google |
Soekarno yang merasa gerah dengan perselisihan antar partai mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu organisasi yang tidak lagi berazaskan ideologi tertentu namun anggotanya mempunyai fungsi-fungsi yang berbeda yang dipersatukan oleh tujuan.
Perdana Menteri Juanda Kartawidjaja menegaskan bahwa organisasi ini menampung semua orang yang berasal dari beragam
profesi/pekerjaan namun tidak memusingkan masalah ideologi dan non partai. Bahwa penggolongan yang didasarkan pada ideologi juga dapat mewakili kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat homogen. Namun bagi masyarakat heterogen seperti Indonesia tentunya tidak demikian, kepentingan buruh beda dengan kepentingan petani walau ideologi sama.
Soekarno memang telah membuka jalan bagi demokrasi terpimpin saat berpidato menganjurkan untuk mengubur partai-partai di tahun 1956 dan mencetuskan kemungkinan adanya satu partai. Sebelumnya pada tahun 1945 ia yang mengusulkan agar Indonesia menjadi negara satu partai di bawah PNI.
Adalah Ki Hajar Dewantara yang memperkenalkan politik kolektivisme yang lebih dikenal sebagai azas kekeluargaan yang menganggap perlunya politik paternalistik. Politik paternalistik inilah sering disebut sebagai demokrasi dengan kepemimpinan. Ki Hajar memperingatkan bahwa kebudayaan Indonesia terancam oleh nilai-nilai materialisme, individualisme dan egoisme ala barat.
Hampir senada dengan Ki Hajar, Prof. Soepomo seorang ahli hukum terkemuka lulusan Leiden saat itu juga mendorong penerapan hukum adat dalam lembaga-lembaga negara. Bagi Soepomo dalam hukum adat yang primer adalah masyarakat dan bukan individu. Bahwa kepentingan individu harus tunduk pada kepentingan masyarakat.
Soekarno jelas-jelas tidak menyukai demokrasi parlementer di negara barat yang menyebabkan kapitalisme tumbuh subur karena dibangun atas dasar individualisme.
Selain faktor perselisihan antar partai yang tak kunjung usai, ada variabel lain yang membuat Soekarno kian mantap dengan ide mengubur partai-partai adalah kekagumannya akan sistem pemerintahan di Cina dan Yugoslavia yang dianggap efektif. Cina dan Yugoslavia adalah negara satu partai dan parlemennya memiliki golongan fungsional sebagai anggota.
Gagasan untuk mengganti partai-partai dengan golongan fungsional atau kalau diIndonesiakan menjadi golongan karya ini didukung oleh Nasution yang membutuhkan sekutu untuk menghadapi kabinet yang didominasi oleh partai. Nasution memang mempunyai pengalaman pahit akibat campur tangan kabinet terhadap Angkatan Darat yang menyebabkan ia dicopot dari jabatan.
Bahkan Angkatan Darat kini yang bertindak lebih agresif, di tahun 1959 Angkatan Darat telah membentuk berbagai organisasi golongan fungsional yang lebih ditujukan untuk menghadapi PKI sementara Soekarno belum membentuk apapun.
Sementara Soekarno sibuk dengan usaha menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dengan membentuk Banas (Badan nasionalisasi) yang mengubah status perusahaan milik asing menjadi perusahaan negara.
Suhardiman yang masih berpangkat Kapten waktu itu dan menjabat sebagai sekretaris Banas mengusulkan pembentukan semacam perkumpulan karyawan perusahaan negara (PKPN) yang kini dikenal dengan nama SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Indonesia).
SOKSI nantinya akan berperan besar dalam masa awal pembentukan Golongan Karya
Tragisnya saat Soekarno berselisih dengan pimpinan Angkatan Darat ia malah berbalik kepada partai-partai yang masih loyal pada dirinya. Golongan Karya sempat menghadapi tahun-tahun sulit periode 1962-1965 saat Yamin dan Juanda meninggal dunia, demikian pula tokoh-tokoh anti partai telah banyak digeser dan Soebandrio yang dekat dengan PKI justru kian mendekatkan diri pada Soekarno.
Situasi Golongan Karya (Golkar) berubah pasca G30S dimana peraturan Presiden Nomor 2 tahun 1959 yang melarang PNS golongan atas menjadi anggota partai diterapkan. Ormas partai yang berada dalam kategori golongan karya harus dikeluarkan dan digantikan oleh anggota yang diangkat oleh Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar. Golkar sendiri memposisikan diri sebagai organisasi yang loyal kepada pemerintah dan selalu mendukung program-program pemerintah.
Pada 5 September 1966, Soeharto mengirim instruksi kepada 4 panglima angkatan dalam ABRI untuk menyediakan fasilitas seluas-luasnya bagi perkembangan sekber Golkar di pusat dan daerah.
Soeharto sendiri pada konggres tahun 1973 ditabalkan menjadi Pembina Tertinggi Golkar dan menjadi ketua umum dewan pembina di tahun 1978.
Bagi yang mengalami masa kejayaan Golkar di tahun 80-an masih menyimpan ingatan saat warna pagar-pagar kantor Pemda dan pohon berubah jadi kuning menjelang pemilu. Sistem perpolitikan yang dijalankan oleh orde Soeharto memang memungkinkan perintah pemenangan Golkar dapat dilakukan oleh pejabat dari eselon tertinggi sampai terendah dengan leluasa tanpa memeras keringat.
Pada akhirnya Golkar sejak terbentuknya di tahun 1957 berdasarkan gagasan Soekarno dalam perjalanannya pasca 1965 berubah menjadi matra anti PKI yang digunakan oleh Soeharto dan Angkatan Darat. Sedangkan dari tahun 1998 sampai sekarang Golkar bertransformasi menjadi partai yang diambil alih oleh para pengusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar