Bagaikan 2 orang yang bertemu dalam perjalanan, bersama beberapa saat dan berpisah kala menemukan jalan bersimpang. Sempat akrab namun berlalu begitu saja.
Kira-kira seperti itulah hubungan antara Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin. Dua orang yang sangat berpengaruh dalam kabinet. Sama-sama orang Sumatera yang mengenyam tradisi pendidikan barat di Leiden, Belanda.
Amir Sjarifoeddin & Sutan Sjahrir di Madiun (dari google) |
Sama-sama menganut paham sosialis namun dengan kecenderungan berbeda. Amir dekat dengan paham komunis sedangkan Sjahrir anti komunis.
Menurut Soemarsono, tokoh pemuda dalam pertempuran Surabaya dan pemberontakan Madiun, Amir sempat diusulkan menjadi pembaca naskah proklamasi namun batal karena yang bersangkutan masih berada dalam penjara.
Hampir sama dengan Amir, nama Sjahrir pun disebut dalam testamen Soekarno sebagai salah satu penerima mandat jika ada apa-apa dengan Soekarno. Adapun Sjahrir yang sejak jauh-jauh hari mendesak Soekarno untuk segera merebut kemerdekaan dari tangan Jepang memilih tidak ikut dalam hiruk pikuk pembacaan proklamasi tersebut dikarenakan suatu sikap yang kukuh diyakininya.
Pertemuan pertama yang singkat terjadi saat konggres pemuda 28 Oktober 1928 di mana Amir mewakili Jong Batak sementara Sjahrir dari Jong Indonesie. Setelah itu tiada kontak, Sjahrir meneruskan studi ke Leiden sedangkan Amir sibuk memimpin Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) Siapa yang menduga bahwa mereka akan bertemu lagi 15 tahun kemudian, saat Jepang berkuasa. Saat itu para pemuda bersiasat, Soekarno dan Hatta akan bekerja sama dengan Jepang sementara Amir dan Sjahrir bergerak di bawah tanah menyebarkan anti fasis.
dari psidansutansyahrir blogspot |
Takdir menyambungkan nasib mereka di Komite Nasional Indonesia Pusat semacam DPR dimana Sjahrir menjadi ketua sedangkan wakil dijabat oleh Amir. Masing-masing membentuk partai beraliran sosialis. Amir membentuk Partai Sosialis Indonesia (Parsi) dan Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis (Paras). Akhirnya dua partai sosialis itu pun merger menjadi Partai Sosialis.
Apakah Sjahrir yang sosialis kanan dan Amir yang dekat dengan komunis betul-betul merasakan chemistry sebagai sesama penganut sosialis? entahlah. Soe Hok Gie dalam bukunya "Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan" menyatakan bahwa kolaborasi mereka hanya didasarkan pada kepentingan menghadang laju partai Persatuan Perjuangan yang diketuai Tan Malaka.
Yang jelas, dalam formatur kabinet dimana Sjahrir menjadi Perdana Menteri, Amir didapuk menjadi Menteri Pertahanan Rakyat. Baik Perdana Menteri maupun Menteri Pertahanan dalam kesempatan yang berbeda sama-sama pernah membuat geram tentara terlebih Soedirman sebagai Panglima Besar. Melalui tulisannya dalam Perdjoangan Kita, Sjahrir percaya bahwa kemerdekaan dapat dicapai melalui diplomasi dan bukan melalui peperangan membuang nyawa sia-sia sementara Amir dalam suatu kesempatan mengkritisi mental serdadu didikan NICA dan Jepang yang dianggap fasis.
Namun kerjasama keduanya retak setelah Sjahrir yang memimpin delegasi Indonesia menandatangani persetujuan Linggarjati. Wilayah Indonesia menciut menjadi sebatas Jawa, Sumatera dan Madura walaupun di saat kritis dengan cerdik Sjahrir berhasil menambahkan pasal arbitrase yang memungkinkan perselisihan Indonesia dan Belanda dibawa ke sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Toh, ketidakpuasan tidak dapat dibendung. Partai-partai oposisi dan koalisi sepakat menggoyang Sjahrir. Pun, Amir yang juga menjadi anggota delegasi perundingan Linggarjati malah ikut kubu penggoyang. Sjahrir pun meletakkan jabatan dan Amir naik menjadi Perdana Menteri. Harapan tinggi diletakkan pada pundak Amir, wakil dari golongan kiri.
Namun ternyata Amir juga keteteran saat perjanjian Renville yang menyebabkan wilayah RI makin menciut sehingga terjadilah hijrah besar-besaran pasukan Siliwangi. Mengulangi nasib sahabatnya, Amir pun terpaksa melepaskan posisi Perdana Menteri dan digantikan Hatta.
Saat eskalasi ketegangan antara Sovyet dan Amerika selepas perang dunia kedua meningkat dan berakibat munculnya blok barat dan timur, perselisihan Amir dan Sjahrir pun mencapai puncaknya. Amir menginginkan Partai Sosialis mendukung Moskow sedangkan Sjahrir bersikukuh untuk tetap berpegang pada politik bebas aktif dan tidak memihak.
Akhirnya Partai Sosialis pecah dan sekaligus mengakhiri kolaborasi kedua mantan Perdana Menteri ini. Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) sedangkan Amir mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Amir Sjarifoeddin (dari google) |
Sejak itu mereka pun bersimpang jalan. FDR Amir berafiliasi dengan Muso, pentolan PKI yang baru pulang dari Moskow, dan mereka pun sibuk dengan politik agitasi mengorganisir buruh dan petani.
Sjahrir dengan sifat dasarnya sebagai seorang intelektual membawa PSI menjadi partai kader. Tidak masif mengumpulkan anggota melainkan mendidik kader yang ada agar paham prinsip-prinsip sosialisme dan menyebarkannya.
Adalah tragedi saat Amir kejeblos dalam peristiwa Madiun dimana para kader FDR didukung PKI yang berusia muda tak sabar melihat situasi dalam negeri ditambah dengan aneka kabar burung membuat mereka mengambil tindakan sendiri dan memaksa Soekarno menerjunkan kolonel Gatot Soebroto menumpas gerakan mereka. Amir ditangkap dan dihukum mati di desa Ngaliyan, Solo medio Desember tahun 1948 bersama sepuluh pemuda lainnya. Soekarno tak lagi bisa menyelamatkan Amir seperti saat Jepang berniat menghukum mati Amir saat pendudukan Jepang dahulu.
Tinggal Sjahrir. Namun tragedi lain juga telah menunggu Bung Kecil ini. PSI yang dipimpinnya juga tidak berkembang seperti yang diharapkan. Sjahrir memang jago dalam diplomasi dan dikaruniai intelektual tinggi, namun ia lemah dalam mengumpulkan massa. Program-program yang dibaginya masih terlalu tinggi bagi rakyat kebanyakan.
Dalam pemilu 1955, PSI hanya meraih sedikit suara, kalah jauh dengan PKI dan Masyumi. PSI semakin mendekati ajal, saat salah satu kadernya Soemitro Djojohadikoesoemo yang menjabat menteri keuangan dalam kabinet Boerhanuddin Harahap masuk dalam daftar tangkap karena tuduhan terlibat korupsi yang menyebabkan ia bergabung dengan PRRI/Permesta. Belum lagi tuduhan keterlibatan Sjahrir dalam percobaan pembunuhan di Makasar tahun 1962 dimana iringan Presiden dilempar bom.
Sjahrir ditangkap dan dipenjara sampai kondisinya menurun dan harus berobat ke Swiss dan akhirnya meninggal dalam keadaan stroke di tahun 1966.
PKI sepeninggal Amir dan Muso di tahun 1948 tetap berkibar sampai peristiwa 1965 dan menjadi partai terlarang setelah itu. Sementara PSI dimatikan tahun 1960. Ajaran komunisme dilarang keras sementara ajaran-ajaran sosialisme yang ditularkan oleh Sjahrir dan pentolan PSI lainnya ternyata tetap meruak melalui kader-kadernya yang sedikit itu.
Tercatat ekonom Sarbini dan Soedjatmoko tetap berpegang pada ajaran sosialis ala PSI. PSI boleh mati sebagai partai namun simpatisannya ternyata tidak putus dan mewarnai perjalanan pemerintahan berikutnya. Sementara ajaran komunis yang semula berkembang masif dianggap berbahaya dan seiring pergerakan jaman dianggap usang dan akhirnya meranggas dengan sendirinya.
Di atas itu semua kita pun mahfum bahwa revolusi tak segan menelan anaknya sendiri. Amir dan Sjahrir, anak-anak yang hidup dalam naungan sayap revolusi telah membuktikannya.
Mengenang kedua tokoh terutama Amir Sjarifoeddin sama halnya dengan merayakan kesendirian para Bapak bangsa tersebut dalam menjemput takdir mereka. Sampai sekarang pun keterkucilan itu masih tetap melingkupi nama keduanya.
REFERENSI
- Orang Orang Di Persimpangan Kiri Jalan (Soe Hok Gie)
- Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil (Terbitan Tempo)
- Majalah Historia
- Indoprogress
- Berdikari Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar