Tujuan Sumbawa sebenarnya muncul secara kebetulan saat atasan kantor mengenalkan suatu komunitas yang sering mengadakan perjalanan berbasis budaya.
Dan kebetulan mereka akan mengadakan cultural trip ke Sumbawa, jadilah saya bergabung.
Dari Denpasar, pesawat Merpati dengan baling-baling sudah
menunggu utk menuju Bima.
Sempat kaget karena baling-baling kiri dan kanan berputar tidak
bersamaan saat pesawat bergerak di landasan..hahah.
Saya belum pernah menaiki peswat baling-baling sebelumnya. Dan
ternyata getarannya cukup keras, salah seorang teman menyebutnya seperti duduk
di kursi pijat.
Sampai di airport Muhamad Salahuddin, Bima segera menuju rumah makan seberang bandara mencicipi bandeng khas Bima.
Mpisi |
Melewati rumah pembuat Minasarua. Minasarua adalah minuman khas bima yang terdiri dari
rempah2 dan ketan hitam. Bentuknya memang menyeramkan seperti kuah rujak..tapi
rasa tape ketan berpadu dengan hangat rempah cukup nikmat ternyata.
Kalero |
Sholat Ied di alun2 kota Bima tidak jauh dari hotel
Marina tempat kami menginap; karena terburu-buru kain mukena bawah saya malah
ketinggalan di kamar hotel, jadilah saya sholat mengenakan mukena atas dan celana panjang.
Sayang sekali di alun-alun banyak terdapat kotoran kuda
yang mengering sehingga agak sulit mencari tempat untuk meletakkan sajadah.
Selesai sholat Ied, masih dengan mukena terpasang, saya
bersama teman dari Natgeo Traveller bergegas menuju mesjid kuno Bima yang ada
di samping alun2.
Ada istana Asi Mbojo yang merupakan istana Raja Bima.
Tahun 2013 bulan Februari akan ada pelantikan Raja Bima.
Melewati kecamatan Wawo (atas) dalam perjalanan menuju
sumbawa timur setelah sebelumnya ke desa pengrajin tenun. Semua kain tenun khas
Bima yang merupakan buah ketekunan para penenun perempuan dijual dengan harga
300 ribu s/d 1 juta
Singgah di desa Maria Uma Lengge, desa tradisional di puncak bukit
dan menyaksikan tarian tabur beras kuning,
sambela ajo honggo (gadis yg mengurai rambut). Uma lengge sendiri, terkenal
dengan bentuk lumbung yg khas. Para gadis berparas ayu menari mengenakan kostum berwarna cerah merah,orange dan kuning
Para pria menyambut dengan tari Manca dan adu kepala. Temperatur kota Bima yang tinggi tidak menyurutkan semangat, walau keringat bercucuran.
Bertemu Siti Maryam seorangg filolog, doktor tertua yang
menguasai aksara mbojo. Ia yg menemukan
naskah bima kuno Bo Sangaji Kai. Beliau juga adalah salah satu adik raja Bima.
Bo Sangaji Kai adalah naskah tulisan tangan berisikan
ilmu yg dikumpulkan perlahan yang ditulis dengan huruf arab berbahasa melayu.
Henry Chamber Noir seorang filolog dari Leiden
mengundangnya. Ia juga mengedit hasil terjemahan Bo Sangaji Kai tersebut.
Salah satu naskah berasal dari tahun 1600, ditulis di
atas kertas perak dan tersimpan di Leiden.
Tahun 1984 Prins Bernhard mengundang Ibu Siti Maryam mengikuti pameran benda kuno.
Naskah yg compang camping ini menarik perhatian. Sehingga mendorong niatnya untuk mendokumentasikan demi kepentingan anak cucu.
Sempat menyaksikan Ibu Maryam mendemonstrasikan membaca naskah tersebut. Bo Sangaji Kai yang disimpannya sudah diawetkan sehingga tahan hingga 100 tahun ke depan
Bo Sangaji Kai |
Dilanjutkan menuju Dompu. Sinar matahari yang ganas
ternyata memang mempercantik landscape foto.
Di tengah perjalanan dihadang oleh iringan pawai
perkawinan. Selain arak arakan musik seperti gong, serunai, juga 3 sapi yg juga
menjadi serah serahan. Bis terpaksa berhenti sebentar. Saya dan beberapa orang pun turun dan berlari lari mengikuti pawai tersebut
Keasikan memotret sampai nyaris dipepet moncong sapi. Belum
lagi diteriaki mas Aulia disuruh cepat masuk kendaraan.
Memasuki desa Ranggo kampung Fupu, terdapat sentra
pengrajin tenun Dahlia yang khusus memproduksi kain tenun bermotif khas Dompu.
Ternyata kemarau yang panjang telah mengeringkan air di
daerah ini. Menurut empunya rumah telah 3 bulan tidak ada air.
Harga kain tenun Dompu berkisar antara 150 sd 750 ribu rupiah. Dalam rumah permanen yang sederhana ini seorang wanita penenun sedang asyik menenun kain berwarna merah muda. Lagi-lagi karena asyik memotret saya kehabisan kain tenun dengan harga termurah..ha..ha, akhirnya terpaksa membeli kain cantik seharga Rp 400.000, itu untuk ibu saya
Melewati kota Dompu menuju sumbawa besar terdapat area
sawah menghijau dikelilingi bukit coklat meranggas.
Teluk Nangatumpu |
Melewati teluk Nangatumpu yg sangat indah disinari
matahari senja di tengah kelokan tajam ditemani monyet liar yang
berbondong-bondong menonton kami yang sedang memotret.
Perjalanan darat dari Dompu ke Sumbawa besar memakan
waktu 6 jam jika non-stop.
Namun karena sering berhenti untuk mengambil foto maka
molor menjadi 8 jam, kondisi tubuh sudah mulai turun karena kelelahan.
Waktu telah menunjukkan pukul 21:00 wita sementara kami
juga belum sampai hotel, masih di perjalanan.
Di tengah jalan yang tanpa penerangan sempat menyaksikan
orang-orang membawa parang dan panah yang sepertinya akan ada perang..waduh.
Menurut pak Alan Malingi, budayawan Bima; NTB dibangun
oleh 4 suku besar yaitu Bali, Bima, Sumbawa dan Lombok. Sering ada clash di antara mereka.
Akhirnya sampai juga di Sumbawa barat, sayang tadi tidak
melewati pelabuhan Pototano yang terkenal indah. Sempat melihat plang petunjuk arah pototano.
Sabalong Samalewa, motto Sumbawa yang tertulis di depan
kantor bupati. Saya agak bingung dengan arti motto ini. Menurut Pak Alan artinya seimbang antara dunia dan akhirat, sebagian lagi menyebut artinya adalah gotong royong...yang mana dong.
Singgah sebentar di RM Bengawan, yg biarpun namanya
berkesan jawa tapi menyajikan masakan Sumbawa asli seperti Sepat dan Singang
yang berbahan ikan kakap. Sepat sendiri
berkuah bening, sedikit dengan daun jeruk kecil2 untuk menghilangkankan amis serta terung. Sedangkan singang mirip tom yam. Mungkin bagi kita, agak bingung karena Sepat disajikan seperti sayur yang adem, karena tidak dihangatkan. Tapi ternyata memang seperti itu penyajiannya
Hotel cendrawasih tempat kita menginap terkesan tua dan
agak menyeramkan saat malam.
Kamarnya lumayan besar, kamar mandi hanya dilengkapi wc
jongkok, yang membuat orang-orang kota ini nyaris pingsan.
Salah seorang ibu yg modis sempat terlihat jijik melihat
lantai teras yang berdebu..#cengengesan..
Dalam Loka |
Menuju istana Dalam Loka (istana baru) yg terbuat dari
kayu jati dibuat tahun 1885 sebelumnya adalah istana Balabalong (istana bagus) yg
terbakar. Di Dalam Loka sendiri sudah tidak ada barang-barang peninggalan kerajaan jadi hanya ada foto-foto
Istana ini terdiri dari 99 tiang penyangga yg
melambangkan Asmaul Husna.
Abad 17 islam telah masuk di Sumbawa dengan pengaruh dari Gowa.
Sumbawa dipimpin awalnya oleh Dinasti Dewa Kuning yg
beragama Hindu.
Simbol bendera kerajaan Sumbawa adalah macan putih
mungkin mirip dengan Macan Ali namun bukan aliran Syiah melainkan Sunni.
Dari Dalam Loka kita bisa berjalan kaki menuju Balak Daturanga yang adalah tempat tinggal perdana menteri. Letaknya di tengah perkampungan. Saat ini menjadi rumah pribadi keluarga keturunan Perdana Menteri
Sayang sekali belum ada bantuan pemerintah untuk pemugaran walaupun sudah dimasukkan sebagai benda cagar budaya. Tatkala memasuki ruangan dalam istana Daturanga, terasa lantai kayunya sudah mulai bergoyang.
Balak Daturanga dibangun tahun 1883 lebih dulu dari Dalam Loka
Saat ini keluarga sultan Muhamad Kaharudin III bertempat tinggal di Dalam Bala Kuning yang juga merupakan kediaman pribadi.
Rumah ini berdiri tahun 1942 namun baru ditempati oleh
keluarga th 1959.
Rumah keluarga ini dibuka tahun 1988 demi kepentingan
umum.
Dalam Bala Kuning |
Di dalam Bala kuning sendiri masih terdapat benda
peninggalan kerajaan sumbawa.
Tempat rokok dari emas, keris dari kerajaan sumbawa
dengan pengaruh islam dan hindu.
Yg tertua adalah keris Batara Suken dengan pengaruh hindu
Masih ada Al Quran tulis tangan yg dibuat tahun 1784.
Namun itu bukan yg tertua, ternyata masih terdapat Al Quran mini berlapis emas yg diperkirakan dari dinasti Abasiyah sekitar abad 12.
Sumbawa juga terkenal dengan penghasil produk susu
seperti permen. Yang terkenal adalah desa Penyaring yang membuat permen dari
susu sapi hissar. Saat ke sana, saya melihat permen susu yang baru saja dipotong dan belum sempat dibungkus
Dusun Sameri di Moyo Utara terkenal dengan kerajinan
tenun sumbawa sampai ke luar negeri. Dengan menempuh jalan berbatu kita bisa
mencapai desa sameri menggunakankendaraan berbody tinggi. Disarankan jangan
menggunakan jenis sedan.
Harga kain tenun buatan warga berkisar antara 400 ribu
untuk ikat kepala dan 1.5 juta untuk kain plus selendang, namun kain buatan
warga hampir selalu habis sehingga hanya menyimpan sedikit untuk dipajang juga
disebabkan mahalnya bahan baku sehingga lebih cenderung memproduksi sesuai pesanan.
Ternyata di Sumbawa bukan hanya ada padang dengan pohon
meranggas, namun terdapat juga cagar alam Taman Nasiona Semongkat dengan pohon menghijau.
Taman nasional ini searah dalam perjalanan ke desa Semongkat, penghasil madu
alami Sumbawa.
Rute sepanjang taman nasional walaupun diaspal tapi penuh
kelokan dan sempit, namun masih dapat dilewati oleh bis.
Dalam taman nasional terdapat desa Semongkat yang
penduduknya menggantungkan hidup dari mencari sarang lebah liar di taman
nasional.
Di dekat kota, ada pantai Saliper ate yang menjadi tempat
warga Sumbawa berekreasi. Sayang
kebersihannya tidak terjaga. Sampah bertebaran dimana-mana, jarang sekali tempat
sampah, bahkan terdapat kotoran kuda. Tidak betah lama-lama berada di pantai tersebut
Dari tepian pantai Saliper Ate, Pulau Moyo tampak sayup sayup dari kejauhan, hanya bisa
mengurut dada untuk kapan bisa menjejak Moyo. Menurut pak Darmawan, butuh waktu 2 jam menyeberang dengan speedboat untuk mencapai pulau itu.
Tanjung Menangis, terletak di sebrang pantai dan terkenal
dengan kisah putri Sumbawa yang patah hati ditinggal kekasihnya.
Makan malam di Pantai Goa yang terkenal dengan tempat makan ikannya. Ikan
kakap merah, cumi dan sotong gede-gede berjejer di kotak kaca siap dibakar. Tapi lagi-lagi masalah kebersihan yang menjadi kendala. Gelas plastik dan sampah kecil lainnya yang dibuang sembarangan cukup membuat nafsu makan mendadak hilang.
Paginya dari hotel Tambora, kita berjalan kaki menuju pasar
setempat. Bisa melihat pisang kepok yang
baru selesai digoreng, penjual jagung bakar khas sumbawa yang berwarna
mirip susu tapi sangat legit. Dibakar
tanpa menggunakan bumbu apapun, dan tetap lezat.
Berhubung saya suka sekali snorkel, maka pergilah ke
pantai kencana yang letaknya agak sedikit di luar kota Airnya bening, ikannya
lumayan, walau belum seperti Karimun Jawa. Karena merupakan bagian dari sebuah resort, maka orang memang tidak banyak itu yang membuat kebersihannya relatif terjaga, walau lagi-lagi harus mengurut dada karena tetap ada plastik-plastik yang berserakan di beberapa tempat.
Sayang sekali sudah saatnya kembali ke Jakarta, padahal masih ada pantai Lakey, Maluk dan Sekongkang yang belum sempat dijajaki.
1 komentar:
Wah sampai sekarang sumbawa masih menjadi mimpi....
Posting Komentar