Sejarah bisa ditafsirkan beragam baik oleh pemenang atau pihak yang kalah. Yang membedakan mungkin hanya masalah akses yang diberikan untuk mengetahui bahwa selalu ada versi sampingan setelah versi resmi.
Seperti epos Rama dan Rahwana, epos Minakjingga dari Blambangan atau kisah Siti Jenar. Dalam versi lain Rahwana dan Minakjingga tidak selalu berupa raksasa berwatak bengis. Pun selalu ada pandangan berbeda dalam menyikapi ajaran Siti Jenar.
Begitu pula dalam sejarah Pajang dan Jipang. Kita telah kenyang dengan dongeng kehebatan Jaka Tingkir. Babad Tanah Jawi tak kurang puja pujinya terhadap Hadiwijaya muda ini.
Bagaimana dengan Penangsang? Buku buku resmi sejarah mencatat adipati Jipang ini sebagai manusia brangasan dengan kumis tebal melintang dan mata merah menyala, seperti yang dimainkan di pementasan ketoprak. Yang semata mata menuntut tahta Demak sepeninggal Sunan Prawoto.
Penangsang adalah anak sulung Pangeran Sekar Kikin atau yang kemudian dikenal sebagai Sedo Lepen. Raden Kikin merupakan anak tertua dari Raden Patah. Sepeninggal Raden Patah, seharusnya tahta Demak jatuh kepada Raden Kikin namun rapat Dewan Wali memutuskan Raden Yunus Surya atau Sabrang Lor menjadi Sultan Demak. Sabrang Lor wafat dalam usia muda, tahta jatuh ke tangan Raden Trenggono lalu ke tangan Sunan Prawoto anak Trenggono.
Untuk memuluskan ayahnya memegang tahta, Prawoto muda yang bernama Bagus Mukmin membunuh Raden Kikin, saat itu Penangsang baru saja dilahirkan.
Versi resmi jelas mengatakan Raden Kikin dibunuh oleh Pangeran Prawoto. Pangeran Prawoto bisa melenggang dengan aman ke tahta Demak tanpa tuntutan atas perbuatannya.
Sang Ratu Kalinyamat diam, kerabat istana diam dan para wali pun tidak berbuat apa apa atas pembunuhan ini. Utang Pati nyaur Pati, begitulah Penangsang menuntut balas.
Membaca dekonstruksi Penangsang memang harus menyingkirkan gambaran yang telah terbentuk sebelumnya. Tidak lagi memihak Pajang sebagai pemenang tapi membuka diri terhadap kemungkinan adanya versi paminggir dari sejarah resmi.
Namun ada 1 hal yang sama baik dalam versi umum maupun versi paminggir, yaitu pertentangan para wali dalam hal penyebaran Islam dan dalam pemilihan calon penguasa Demak.
Jika Penangsang berhasil menduduki tahta Demak, maka mungkin tidak akan ada Mataram. Babad Tanah Jawi tak kan pernah ada. Jaka Tingkir akan digambarkan dengan topeng berwajah merah dan garang dalam pertunjukan ketoprak.
Sayang nasib menggariskan lain, Penangsang mati oleh kerisnya sendiri saat pertempuran melawan Sutawijaya di tepi Bengawan Sore. Ia mati dengan gagah di atas punggung Gagak Rimang, kuda kesayangannya.
Riwayat Penangsang pun kelam sebagai pemberontak, walaupun ia juga pemegang hak atas tahta Demak.
Penggambaran Penangsang setelah itu makin menegaskan sejarah memang milik pemenang.
25 Desember 2010
14 Desember 2010
Daerah Istimewa
Kekompakan masyarakat Jogja sangat menarik bagi saya.
Memang konflik kepala DIY harus melalui penetapan atau pemilihan banyak memancing reaksi politis maupun non politis. Wacana SBY yang disampaikan kurang bijak mengenai sistem monarki dalam negara demokrasi tak pelak memancing reaksi dahsyat terutama dari warga Jogja apalagi mereka baru tertimpa musibah.
Sudah pasti ada agenda tertentu dibalik pernyataan itu, utk men-demokrat-kan DIY mungkin. Di lain pihak Sultan HB X bukan tidak mempunyai maksud politis, seperti kata sahabat saya, sang kuncen Solo. Beliau runtang runtung bersama Surya Paloh dengan Nasional Demokrat. Surya Paloh sudah menjadi rahasia umum, mempunyai rasa sakit hati terhadap SBY akibat janji yang tidak ditepati.
Draft RUUK sudah dimuat di surat kabar. Isinya memang memberikan kekuasaan sangat besar kepada Sultan. Namun saya juga sekilas meraba adanya celah celah yang akan dipakai untuk menempatkan orang tertentu dari partai tertentu.
Jika yang menjadi alasan adalah demi demokrasi maka monarki harus dihapuskan. Maka mungkin masyarakat Jogja sudah membuktikan bahwa demokrasi tetap ada dalam monarki. Bahwa segala teori tentang monarki bisa diselaraskan dengan derap kekinian.
Siapa bilang pemilihan adalah cara yang terbaik dalam mengangkat kepala daerah. Banyak kejadian di Indonesia, pilkada adalah kegiatan buang buang duit dengan hasil yang jauh dari memuaskan. Pilkada adalah lahan subur bagi massa bayaran. Dengan sistem yang amburadul pilkada sama sekali tidak berguna.
Bisa jadi dalam bayangan rakyat Jogja lebih baik mengikuti agenda politik Sultan yang orang asli Jogja dari pada diobok obok oleh agenda politik orang luar Jogja. Mungkin sekali rakyat Jogja lebih cerdas dari kita yang mengaku pakar, mereka sudah melihat ricuhnya Pilkada dan tidak ingin hal itu menimpa kota kelahirannya.
Anak sulung Republik ini sudah terlanjur meradang akibat kurang bijaksananya pemerintah dalam bersikap.
Adapun saya hanya orang yang buta hukum yang merasa memiliki keterikatan dengan Jogja dan merasa sayang bahwa Jogja kini gonjang ganjing. Biarlah mereka mereka yang hidup dan mati di Jogja menentukan sendiri cara apa yang mereka inginkan dalam penentuan kepala daerah. Pemerintah tidak usah kuatir kalau kelak Sultan HB dan keturunannya tetap menguasai Jogja. Rakyat Jogja tidak akan segan segan turun ke jalan jika sang raja dianggap tidak lagi mengayomi rakyatnya.
Memang konflik kepala DIY harus melalui penetapan atau pemilihan banyak memancing reaksi politis maupun non politis. Wacana SBY yang disampaikan kurang bijak mengenai sistem monarki dalam negara demokrasi tak pelak memancing reaksi dahsyat terutama dari warga Jogja apalagi mereka baru tertimpa musibah.
Sudah pasti ada agenda tertentu dibalik pernyataan itu, utk men-demokrat-kan DIY mungkin. Di lain pihak Sultan HB X bukan tidak mempunyai maksud politis, seperti kata sahabat saya, sang kuncen Solo. Beliau runtang runtung bersama Surya Paloh dengan Nasional Demokrat. Surya Paloh sudah menjadi rahasia umum, mempunyai rasa sakit hati terhadap SBY akibat janji yang tidak ditepati.
Draft RUUK sudah dimuat di surat kabar. Isinya memang memberikan kekuasaan sangat besar kepada Sultan. Namun saya juga sekilas meraba adanya celah celah yang akan dipakai untuk menempatkan orang tertentu dari partai tertentu.
Jika yang menjadi alasan adalah demi demokrasi maka monarki harus dihapuskan. Maka mungkin masyarakat Jogja sudah membuktikan bahwa demokrasi tetap ada dalam monarki. Bahwa segala teori tentang monarki bisa diselaraskan dengan derap kekinian.
Siapa bilang pemilihan adalah cara yang terbaik dalam mengangkat kepala daerah. Banyak kejadian di Indonesia, pilkada adalah kegiatan buang buang duit dengan hasil yang jauh dari memuaskan. Pilkada adalah lahan subur bagi massa bayaran. Dengan sistem yang amburadul pilkada sama sekali tidak berguna.
Bisa jadi dalam bayangan rakyat Jogja lebih baik mengikuti agenda politik Sultan yang orang asli Jogja dari pada diobok obok oleh agenda politik orang luar Jogja. Mungkin sekali rakyat Jogja lebih cerdas dari kita yang mengaku pakar, mereka sudah melihat ricuhnya Pilkada dan tidak ingin hal itu menimpa kota kelahirannya.
Anak sulung Republik ini sudah terlanjur meradang akibat kurang bijaksananya pemerintah dalam bersikap.
Adapun saya hanya orang yang buta hukum yang merasa memiliki keterikatan dengan Jogja dan merasa sayang bahwa Jogja kini gonjang ganjing. Biarlah mereka mereka yang hidup dan mati di Jogja menentukan sendiri cara apa yang mereka inginkan dalam penentuan kepala daerah. Pemerintah tidak usah kuatir kalau kelak Sultan HB dan keturunannya tetap menguasai Jogja. Rakyat Jogja tidak akan segan segan turun ke jalan jika sang raja dianggap tidak lagi mengayomi rakyatnya.
11 Desember 2010
Kyai Merah Dari Surakarta
Mungkin Kyai Misbach adalah satu satunya anggota Komunis yang berpredikat Haji. Dukungan Misbach pada komunis seakan untuk membuktikan bahwa ajaran komunis dan ajaran Islam bisa berjalan selaras.
Haji Misbach yang dikenal kemudian sebagai Haji Merah berasal dari keluarga perjabat keagamaan di kraton Surakarta. Misbach pernah menjadi saudagar batik yang cukup sukses. Saat itu lazim jika para saudagar pribumi bergabung dengan Syarikat Islam yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Misbach yang berwatak radikal tidak puas dengan sikap SI yang moderat dan non politik. SI sebagai organisasi yang besar saat itu menarik perhatian ISDV (cikal bakal PKI) untuk menempatkan anggotanya dalam jajaran pengurus SI.
Anggota anggota ISDV yang berwatak revolusioner dan anti kapitalis dengan cepat menarik perhatian Misbach. Ia pun mulai mempelajari komunisme dan merasakan adanya kesesuaian antara ajaran komunis dan Islam yaitu sama sama memperjuangkan masyarakat non kelas, dan membela rakyat dari penindasan.
Pengaruh komunis yang meluas di kalangan anggota SI tentu membuat gerah Tjokroaminoto, sehingga keluar kebijakan disiplin bahwa anggota SI dilarang berpolitik dan menjadi anggota organisasi lain, dalam hal ini lebih ditujukan kepada komunis.
Atas pelarangan ini Misbach pun berang, SI segera terpecah menjadi SI merah dan SI putih. SI merah dipimpin oleh Semaun, tokoh komunis utama waktu itu selain Tan Malaka.
Misbach juga menerbitkan koran Medan Muslimin tahun 1915, ia juga menjadi redaktur koran Islam Bergerak, 2 surat kabar ternama saat itu. Tulisan tulisannya banyak mengupas ajaran komunis dan Islam, dengan caranya ia mengingatkan kaum muslimin tentang tugasnya di dunia.
Bagi Misbach komunisme merupakan nyawa untuk menerapkan perjuangan masyarakat tanpa kelas. Baginya kapitalis adalah ajaran serakah, dimana setiap orang mengejar keuntungan tanpa mempedulikan orang lain.
Anggapannya tentang kapitalis ini bertentangan dengan Tjokro yang berpendapat adanya kapitalis yang baik dan kapitalis buruk.
Misbach juga terlibat dalam pemogokan kaum tani di klaten sebelum tahun 1920 yang menyebabkan ia diseret ke penjara. Di Surakarta ia ikut membidani kelahiran PKI. Kegiatan kegiatan radikalnya menyebabkan ia dibuang ke Manokwari sampai akhir hayatnya.
Misbach tidak pernah gentar dalam memperjuangkan masyarakat anti kelas, anti penindasan. Apa yang dipelajarinya memberikan keyakinan bahwa Islam dan komunisme sesungguhnya dapat berjalan beriringan walaupun berangkat dari awal yang berbeda.
Haji Misbach yang dikenal kemudian sebagai Haji Merah berasal dari keluarga perjabat keagamaan di kraton Surakarta. Misbach pernah menjadi saudagar batik yang cukup sukses. Saat itu lazim jika para saudagar pribumi bergabung dengan Syarikat Islam yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Misbach yang berwatak radikal tidak puas dengan sikap SI yang moderat dan non politik. SI sebagai organisasi yang besar saat itu menarik perhatian ISDV (cikal bakal PKI) untuk menempatkan anggotanya dalam jajaran pengurus SI.
Anggota anggota ISDV yang berwatak revolusioner dan anti kapitalis dengan cepat menarik perhatian Misbach. Ia pun mulai mempelajari komunisme dan merasakan adanya kesesuaian antara ajaran komunis dan Islam yaitu sama sama memperjuangkan masyarakat non kelas, dan membela rakyat dari penindasan.
Pengaruh komunis yang meluas di kalangan anggota SI tentu membuat gerah Tjokroaminoto, sehingga keluar kebijakan disiplin bahwa anggota SI dilarang berpolitik dan menjadi anggota organisasi lain, dalam hal ini lebih ditujukan kepada komunis.
Atas pelarangan ini Misbach pun berang, SI segera terpecah menjadi SI merah dan SI putih. SI merah dipimpin oleh Semaun, tokoh komunis utama waktu itu selain Tan Malaka.
Misbach juga menerbitkan koran Medan Muslimin tahun 1915, ia juga menjadi redaktur koran Islam Bergerak, 2 surat kabar ternama saat itu. Tulisan tulisannya banyak mengupas ajaran komunis dan Islam, dengan caranya ia mengingatkan kaum muslimin tentang tugasnya di dunia.
Bagi Misbach komunisme merupakan nyawa untuk menerapkan perjuangan masyarakat tanpa kelas. Baginya kapitalis adalah ajaran serakah, dimana setiap orang mengejar keuntungan tanpa mempedulikan orang lain.
Anggapannya tentang kapitalis ini bertentangan dengan Tjokro yang berpendapat adanya kapitalis yang baik dan kapitalis buruk.
Misbach juga terlibat dalam pemogokan kaum tani di klaten sebelum tahun 1920 yang menyebabkan ia diseret ke penjara. Di Surakarta ia ikut membidani kelahiran PKI. Kegiatan kegiatan radikalnya menyebabkan ia dibuang ke Manokwari sampai akhir hayatnya.
Misbach tidak pernah gentar dalam memperjuangkan masyarakat anti kelas, anti penindasan. Apa yang dipelajarinya memberikan keyakinan bahwa Islam dan komunisme sesungguhnya dapat berjalan beriringan walaupun berangkat dari awal yang berbeda.
06 Desember 2010
Dari Masa Silam
Ada permintaan konfirmasi masuk ke facebookku.
Tersentak melihat nama yang tertulis disitu. Seseorang dari masa silam.
Apa maunya? memang sudah biasa masa lalu menjadi teman di dunia maya. Tapi untuk yang ini terasa kurang nyaman. Bertahun berpisah begitu saja tanpa kabar. Bukan salah siapa siapa memang keadaan yang mengharuskan seperti itu.
Tanpa sengaja pula terkoneksi online. Singkat ia menceritakan kehidupannya sekarang, pekerjaan dan lain lain
Aku mengangguk angguk membaca ketikan online-nya. Ia menanyakan kenapa tidak mengundangnya saat aku menikah dulu. Sederhana aku menjawab, tidak tahu harus mengirim kemana. Yah,,,jarak sebagai kendala. Hati hati sekali aku menelaah setiap pertanyaan demi menghindari salah tafsir.
Semoga orang orang dari masa lalu lainnya tidak serentak menyerbu facebookku....halah lebay....
Tersentak melihat nama yang tertulis disitu. Seseorang dari masa silam.
Apa maunya? memang sudah biasa masa lalu menjadi teman di dunia maya. Tapi untuk yang ini terasa kurang nyaman. Bertahun berpisah begitu saja tanpa kabar. Bukan salah siapa siapa memang keadaan yang mengharuskan seperti itu.
Tanpa sengaja pula terkoneksi online. Singkat ia menceritakan kehidupannya sekarang, pekerjaan dan lain lain
Aku mengangguk angguk membaca ketikan online-nya. Ia menanyakan kenapa tidak mengundangnya saat aku menikah dulu. Sederhana aku menjawab, tidak tahu harus mengirim kemana. Yah,,,jarak sebagai kendala. Hati hati sekali aku menelaah setiap pertanyaan demi menghindari salah tafsir.
Semoga orang orang dari masa lalu lainnya tidak serentak menyerbu facebookku....halah lebay....
04 Desember 2010
SABTU INI
Hari Sabtu ini kembali saya tergesa-gesa. Tidak terlalu sih, cuma memang saya ada acara di Rumah Cahaya sekitar jam 10:00. Memang tidak mungkin datang tepat waktu karena harus membereskan urusan rumah dulu.
Asyar tidak ingin ikut, mau di rumah aja katanya. Ok,lah saya pamitan. Baru saja 1 menit berjalan kaki, ternyata anak itu lari menyusul sambil menangis. Tentu saja saya tercengang, ternyata ia mendadak berubah pikiran, mungkin kangen dengan ibunya yang kerap pulang malam.
Akhirnya saya balik ke rumah untuk menyiapkan barang barang tambahan. Tambah 1 gembolan berisi mainan, baju ganti, bedak talc :), karena akan berada seharian di Rumcay. Seperti biasa, depok macet.
Diskusi sudah berjalan saat saya tiba. Saya sangka pembahasan puisi akan membosankan tapi kelihatannya cukup menarik. Apalagi pertemuan berikutnya akan membahas Amir Hamzah, angkatan pujangga baru. Segarrr..me-refresh otak saya.
Makan siang tiba, saya mengajak Asyar ke warteg...ha....ha....biarlah anak itu belajar hidup orang orang pinggiran. Nyatanya anak itu lahap lahap saja makannya. saya seperti biasa, sup tanpa nasi.
Sampai sore menjelang, barulah kita pulang. Ternyata saya punya janji untuk mencukur rambutnya. Baiklah, mampir dulu ke tukang cukur untuk merapikan rambut keritingnya.
Harus berlari lari menuju terminal karena hujan rintik rintik, payung saya ketinggalan di rumcay. Sampai di rumah hampir Isya, istirahat ? belum ternyata karena ternyata Asyar minta dibuatkan nasi goreng.
Setelah nasi goreng siap...tangan saya gatal ingin membersihkan kompor. Jadilah saya kembali menyingsingkan lengan baju membersihkan kompor dan bak cuci piring setelah itu baru mandi.
Baru ingat saya berencana membantu teman saya menyiapkan writing camp. harus browsing untuk mencari patokan harga AC portable bekas. Selesai juga ternyata...saatnya waktu untuk diri saya sendiri....fiuuhhhh! capek tapi senang.
Asyar tidak ingin ikut, mau di rumah aja katanya. Ok,lah saya pamitan. Baru saja 1 menit berjalan kaki, ternyata anak itu lari menyusul sambil menangis. Tentu saja saya tercengang, ternyata ia mendadak berubah pikiran, mungkin kangen dengan ibunya yang kerap pulang malam.
Akhirnya saya balik ke rumah untuk menyiapkan barang barang tambahan. Tambah 1 gembolan berisi mainan, baju ganti, bedak talc :), karena akan berada seharian di Rumcay. Seperti biasa, depok macet.
Diskusi sudah berjalan saat saya tiba. Saya sangka pembahasan puisi akan membosankan tapi kelihatannya cukup menarik. Apalagi pertemuan berikutnya akan membahas Amir Hamzah, angkatan pujangga baru. Segarrr..me-refresh otak saya.
Makan siang tiba, saya mengajak Asyar ke warteg...ha....ha....biarlah anak itu belajar hidup orang orang pinggiran. Nyatanya anak itu lahap lahap saja makannya. saya seperti biasa, sup tanpa nasi.
Sampai sore menjelang, barulah kita pulang. Ternyata saya punya janji untuk mencukur rambutnya. Baiklah, mampir dulu ke tukang cukur untuk merapikan rambut keritingnya.
Harus berlari lari menuju terminal karena hujan rintik rintik, payung saya ketinggalan di rumcay. Sampai di rumah hampir Isya, istirahat ? belum ternyata karena ternyata Asyar minta dibuatkan nasi goreng.
Setelah nasi goreng siap...tangan saya gatal ingin membersihkan kompor. Jadilah saya kembali menyingsingkan lengan baju membersihkan kompor dan bak cuci piring setelah itu baru mandi.
Baru ingat saya berencana membantu teman saya menyiapkan writing camp. harus browsing untuk mencari patokan harga AC portable bekas. Selesai juga ternyata...saatnya waktu untuk diri saya sendiri....fiuuhhhh! capek tapi senang.
Langganan:
Postingan (Atom)