Tahun ini adalah tahun yang cukup melelahkan bagi Asyar, anak saya dan mendebarkan bagi saya. Bagaimana tidak di tahun ini ia harus meninggalkan Seruni, TK yang dicintainya, meninggalkan bunda bunda guru yang telah mengasuhnya selama 3 tahun sejak playgroup. Ia harus melaju menuju sekolah barunya sebuah SD dengan kondisi yang secara psikologis berbeda dengan TK Seruni.
Mulailah saya menyusun jadwal kunjungan ke SD-SD. Saya juga membaca brosur brosur sekolah yang dijejalkan hampir tiap hari di ransel Asyar. Betapa banyaknya sekolah baru bermunculan. Dari SDIT sampai SBI.
Berbekal hasil psikotest dan pembicaraan dengan psikolog anak dari TKnya yang menjadi panduan saya dalam mencari sekolah, Ibu dan anak ini mengukur jalan mendatangi sekolah demi sekolah nyaris di seantero Depok. Dari SPP yang 20 ribu per bulan (saya menggeleng geleng, tapi kondisi sekolahnya lumayan juga), sampai yang SPPnya 1,8 juta per bulan (menghela nafas, tapi memang fisik bangunannya mewah betul, lebih layak disebut kantor)
Setelah menetapkan beberapa sekolah tujuan. Mulailah pengambilan formulir dari yg Rp 100 ribu s/d Rp 500 ribu (bukan main formulir SD saja mahal sekali).
Kasihan anak itu, ia harus menjalani psikotest selama 2 jam di suatu sekolah sebelum akhirnya diterima (hasil psikotest yang sangat lengkap). Sebuah sekolah yang hanya menerima murid sebanyak 15 anak dalam satu kelas. Dengan fasilitas lengkap dengan biaya yang lengkap juga dalam menguras kantong orang tua, ini bukan yang SPP-nya 1,8 juta loh, tidak sanggup. Sisi baiknya sekolah ini sangat menghargai keunikan bakat tiap anak.
Namun, masih ada keraguan dalam hati saya. Melihat fasilitas selengkap itu ada ketakutan dalam hati bahwa anak ini akan tumbuh menjadi anak manja. Padahal ia adalah anak laki laki. Seorang anak laki laki haruslah mandiri dan tangguh.
Maka berbekal informasi dari Kepala Sekolah TK Seruni, saya meluncur menuju sebuah SD di daerah pondok cabe. Nampaknya situasi sekolah ini lebih sesuai dengan keinginan saya.
Sekali lagi Asyar mengikuti tes penerimaan murid baru di hari Sabtu yang untungnya hanya 30 menit. Untunglah ia menjalani tes ini dengan ceria. Seusai tes saya segera memeluknya dan mengajaknya makan es krim di kantin sekolah untuk sekedar menekan perasaan bersalah atas beban yang harus ditanggung oleh anak yang berumur belum genap 6 tahun. Dalam hal ini ribuan anak seusianya mengalami hal yang sama. Orang tua yang panik berusaha mendapatkan sekolah terbaik untuk anak mereka dan membuat sang anak harus menjalani segala macam ujian masuk yang melelahkan.
Namun lagi lagi saya merasa risau, saat menunggui tes saya mendengar pembicaraan beberapa Ibu yang menceritakan bahwa sekolah ini bagus tapi juga cukup berat penekanannya di sisi akademis.
Tiba tiba saya teringat hasil tes yang saat ini mengacu pada multiple intellegence. Di mana setiap anak mempunyai kecerdasannya sendiri. Tes IQ jaman dulu hanya menggarap sisi logika dan bahasa sementara ada banyak sisi yang bisa dikembangkan seperti musikal, kinetik, interpersonal, intrapersonal, natural dan lain lain.
Ketakutan saya bagaimana jika sekolah ini hanya menekankan sisi akademis yang berpegang pada logika dan bahasa saja dan tidak peduli dengan kemampuan anak yang variatif dan unik. Mampukah anak saya beradaptasi dengan situasi ini. Bagaimana jika di tengah tengah pendidikan ternyata bakat non akademis yang menonjol
Hasil tes pertama sementara ini menunjukkan ia mempunyai minat yang cukup baik terhadap matematika dan musik. Hal ini membuat saya ingin ia mengembangkan otak kanannya sebagai penyeimbang.
Saya tidak ingin memaksannya menjadi seorang yang kuat secara akademis jika ia tidak ingin atau tidak mampu. Impian saya adalah Asyar menjadi orang yang mandiri, dapat menjalani pekerjaan yang dicintainya entah itu menjadi seniman, pemusik atau penari sekalipun dan bisa menghidupi dirinya dengan pekerjaan itu.
Tapi nampaknya jalan masih sangat panjang. Untuk masuk SD saja ia masih harus berada dalam kebingungan orang tuanya.
Mulailah saya menyusun jadwal kunjungan ke SD-SD. Saya juga membaca brosur brosur sekolah yang dijejalkan hampir tiap hari di ransel Asyar. Betapa banyaknya sekolah baru bermunculan. Dari SDIT sampai SBI.
Berbekal hasil psikotest dan pembicaraan dengan psikolog anak dari TKnya yang menjadi panduan saya dalam mencari sekolah, Ibu dan anak ini mengukur jalan mendatangi sekolah demi sekolah nyaris di seantero Depok. Dari SPP yang 20 ribu per bulan (saya menggeleng geleng, tapi kondisi sekolahnya lumayan juga), sampai yang SPPnya 1,8 juta per bulan (menghela nafas, tapi memang fisik bangunannya mewah betul, lebih layak disebut kantor)
Setelah menetapkan beberapa sekolah tujuan. Mulailah pengambilan formulir dari yg Rp 100 ribu s/d Rp 500 ribu (bukan main formulir SD saja mahal sekali).
Kasihan anak itu, ia harus menjalani psikotest selama 2 jam di suatu sekolah sebelum akhirnya diterima (hasil psikotest yang sangat lengkap). Sebuah sekolah yang hanya menerima murid sebanyak 15 anak dalam satu kelas. Dengan fasilitas lengkap dengan biaya yang lengkap juga dalam menguras kantong orang tua, ini bukan yang SPP-nya 1,8 juta loh, tidak sanggup. Sisi baiknya sekolah ini sangat menghargai keunikan bakat tiap anak.
Namun, masih ada keraguan dalam hati saya. Melihat fasilitas selengkap itu ada ketakutan dalam hati bahwa anak ini akan tumbuh menjadi anak manja. Padahal ia adalah anak laki laki. Seorang anak laki laki haruslah mandiri dan tangguh.
Maka berbekal informasi dari Kepala Sekolah TK Seruni, saya meluncur menuju sebuah SD di daerah pondok cabe. Nampaknya situasi sekolah ini lebih sesuai dengan keinginan saya.
Sekali lagi Asyar mengikuti tes penerimaan murid baru di hari Sabtu yang untungnya hanya 30 menit. Untunglah ia menjalani tes ini dengan ceria. Seusai tes saya segera memeluknya dan mengajaknya makan es krim di kantin sekolah untuk sekedar menekan perasaan bersalah atas beban yang harus ditanggung oleh anak yang berumur belum genap 6 tahun. Dalam hal ini ribuan anak seusianya mengalami hal yang sama. Orang tua yang panik berusaha mendapatkan sekolah terbaik untuk anak mereka dan membuat sang anak harus menjalani segala macam ujian masuk yang melelahkan.
Namun lagi lagi saya merasa risau, saat menunggui tes saya mendengar pembicaraan beberapa Ibu yang menceritakan bahwa sekolah ini bagus tapi juga cukup berat penekanannya di sisi akademis.
Tiba tiba saya teringat hasil tes yang saat ini mengacu pada multiple intellegence. Di mana setiap anak mempunyai kecerdasannya sendiri. Tes IQ jaman dulu hanya menggarap sisi logika dan bahasa sementara ada banyak sisi yang bisa dikembangkan seperti musikal, kinetik, interpersonal, intrapersonal, natural dan lain lain.
Ketakutan saya bagaimana jika sekolah ini hanya menekankan sisi akademis yang berpegang pada logika dan bahasa saja dan tidak peduli dengan kemampuan anak yang variatif dan unik. Mampukah anak saya beradaptasi dengan situasi ini. Bagaimana jika di tengah tengah pendidikan ternyata bakat non akademis yang menonjol
Hasil tes pertama sementara ini menunjukkan ia mempunyai minat yang cukup baik terhadap matematika dan musik. Hal ini membuat saya ingin ia mengembangkan otak kanannya sebagai penyeimbang.
Saya tidak ingin memaksannya menjadi seorang yang kuat secara akademis jika ia tidak ingin atau tidak mampu. Impian saya adalah Asyar menjadi orang yang mandiri, dapat menjalani pekerjaan yang dicintainya entah itu menjadi seniman, pemusik atau penari sekalipun dan bisa menghidupi dirinya dengan pekerjaan itu.
Tapi nampaknya jalan masih sangat panjang. Untuk masuk SD saja ia masih harus berada dalam kebingungan orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar