Mudik.....sebagai warga muslim Indonesia tentu sudah sangat akrab dengan kata itu. Bisa dibilang mudik selalu berkorelasi dengan Lebaran. Di saat hari raya itulah puluhan bahkan mungkin ratusan ribu warga berduyun duyun kembali ke tanah leluhur, kembali ke asal sebagaimana fitrahnya sebagai manusia yang kelak kembali kepada pencipta-Nya.
Mengharukan melihat ribuan manusia yang kebanyakan sedang berpuasa itu serentak melakukan perjalanan panjang yang sering tersendat di tengah teriknya surya. Demi mereguk kembali kesegaran dan kebersihan spiritual di tempat asal. Di tanah leluhur itulah mereka me-recharge batin sebagai bekal menghadapi kembali siksaan rohani di tanah asing Jakarta.
Mudik memang milik Indonesia, sebuah kultur unik yang tidak akan ditemui di tanah Arab sebagai asal Islam. Sebuah kebudayaan yang nyaris menjadi ibadah wajib setelah sholat Ied dan zakat fitrah.
Mudik juga bisa berubah dari merekatkan tali silaturahim menjadi ajang pemanjaan nafsu komsumtif hasil didikan kota besar namun juga merupakan penggerak putaran ekonomi yang luar biasa bagi kampung halaman. Kuatnya panggilan untuk mudik bisa dilihat dari moda transportasi yang digunakan, bukan hal yang aneh perjalanan ke pelosok Jawa yang memakan waktu lebih dari 10 jam dilakukan oleh ayah ibu bersama 2 anak dengan motor, bahkan kadang ditambah dengan tas berisi pakaian yang diletakkan di belakang dengan bantuan sambungan bambu. Tidak jarang 10 orang mudik bersama dengan menggunakan mobil pick up terbuka yang hanya ditutupi terpal. Semua hanya demi bersilahturahmi dengan kerabat di kampung halaman.
Memang moment pulang kampung juga dikenal di negara barat seperti saat Thanksgiving atau Christmas hanya mungkin tidak sefenomenal di negara kita ini. Di Amerika misalnya kota kota termuka tidak hanya Washington sebagai ibu kota tapi juga ada LA, California, Ohio, Chicago, Seatle, Miami dan kota kota modern lainnya dimana penduduk negara adikuasa tersebut tidak perlu tumplek blek hanya di ibu kota untuk belajar atau mencari nafkah. Hal itu ditambah dengan infrastruktur antar kota bahkan negara bagian yang sangat baik.
Sekarang bandingkan dengan Indonesia, Jawa dengan Jakarta sebagai pusat dari segala pusat kegiatan baik ekonomi, pendidikan, pemerintahan dan bahkan juga kemaksiatan. Jakarta adalah tempat ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia dari berbagai pulau untuk tinggal, mencari nafkah dan juga menuntut ilmu. Kota kota seperti Surabaya, Bandung, Yogyakarta masih berfungsi hanya sebagai penyangga. Apalagi kota kota di luar jawa, SDM mereka tersedot ke jawa sehingga perkembangan kota mereka sendiri mandeg.
Jakarta yang hanya setitik kecil di peta Indonesia ternyata harus menampung para manusia dari pulau yang bahkan lebih besar dari Jawa; tidak heran infrastruktur di Jawa tidak pernah mampu mengejar angka urbanisasi yang mengikuti deret ukur. Saat kaum urban serentak bergerak saat itu pula kemacetan luar biasa melanda jawa. Bukankah fantastis keterlaluannya jika Jakarta-Yogya harus ditempuh selama 30 jam perjalanan darat, melebihi lamanya perjalanan Jakarta-Paris dengan pesawat.
Selama pemerintah Indonesia masih tetap mengikuti gaya VOC yang menempatkan Jawa sebagai sentra model pembangunan selama itu pulalah kesemrawutan akan terus berlangsung.
Mudik adalah suatu keindahan spiritual, alangkah dahsyatnya kekuatan mudik apabila pemerintah meninjau kembali kebijaksanaan pembangunan kota kota di jawa dan non jawa. Jangan sampai kota kota itu menjadi seragam karena para pemudik hanya mengenal satu kebudayaan. Kebudayaan Jakarta.
Mengharukan melihat ribuan manusia yang kebanyakan sedang berpuasa itu serentak melakukan perjalanan panjang yang sering tersendat di tengah teriknya surya. Demi mereguk kembali kesegaran dan kebersihan spiritual di tempat asal. Di tanah leluhur itulah mereka me-recharge batin sebagai bekal menghadapi kembali siksaan rohani di tanah asing Jakarta.
Mudik memang milik Indonesia, sebuah kultur unik yang tidak akan ditemui di tanah Arab sebagai asal Islam. Sebuah kebudayaan yang nyaris menjadi ibadah wajib setelah sholat Ied dan zakat fitrah.
Mudik juga bisa berubah dari merekatkan tali silaturahim menjadi ajang pemanjaan nafsu komsumtif hasil didikan kota besar namun juga merupakan penggerak putaran ekonomi yang luar biasa bagi kampung halaman. Kuatnya panggilan untuk mudik bisa dilihat dari moda transportasi yang digunakan, bukan hal yang aneh perjalanan ke pelosok Jawa yang memakan waktu lebih dari 10 jam dilakukan oleh ayah ibu bersama 2 anak dengan motor, bahkan kadang ditambah dengan tas berisi pakaian yang diletakkan di belakang dengan bantuan sambungan bambu. Tidak jarang 10 orang mudik bersama dengan menggunakan mobil pick up terbuka yang hanya ditutupi terpal. Semua hanya demi bersilahturahmi dengan kerabat di kampung halaman.
Memang moment pulang kampung juga dikenal di negara barat seperti saat Thanksgiving atau Christmas hanya mungkin tidak sefenomenal di negara kita ini. Di Amerika misalnya kota kota termuka tidak hanya Washington sebagai ibu kota tapi juga ada LA, California, Ohio, Chicago, Seatle, Miami dan kota kota modern lainnya dimana penduduk negara adikuasa tersebut tidak perlu tumplek blek hanya di ibu kota untuk belajar atau mencari nafkah. Hal itu ditambah dengan infrastruktur antar kota bahkan negara bagian yang sangat baik.
Sekarang bandingkan dengan Indonesia, Jawa dengan Jakarta sebagai pusat dari segala pusat kegiatan baik ekonomi, pendidikan, pemerintahan dan bahkan juga kemaksiatan. Jakarta adalah tempat ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia dari berbagai pulau untuk tinggal, mencari nafkah dan juga menuntut ilmu. Kota kota seperti Surabaya, Bandung, Yogyakarta masih berfungsi hanya sebagai penyangga. Apalagi kota kota di luar jawa, SDM mereka tersedot ke jawa sehingga perkembangan kota mereka sendiri mandeg.
Jakarta yang hanya setitik kecil di peta Indonesia ternyata harus menampung para manusia dari pulau yang bahkan lebih besar dari Jawa; tidak heran infrastruktur di Jawa tidak pernah mampu mengejar angka urbanisasi yang mengikuti deret ukur. Saat kaum urban serentak bergerak saat itu pula kemacetan luar biasa melanda jawa. Bukankah fantastis keterlaluannya jika Jakarta-Yogya harus ditempuh selama 30 jam perjalanan darat, melebihi lamanya perjalanan Jakarta-Paris dengan pesawat.
Selama pemerintah Indonesia masih tetap mengikuti gaya VOC yang menempatkan Jawa sebagai sentra model pembangunan selama itu pulalah kesemrawutan akan terus berlangsung.
Mudik adalah suatu keindahan spiritual, alangkah dahsyatnya kekuatan mudik apabila pemerintah meninjau kembali kebijaksanaan pembangunan kota kota di jawa dan non jawa. Jangan sampai kota kota itu menjadi seragam karena para pemudik hanya mengenal satu kebudayaan. Kebudayaan Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar