Rupanya kasus benda pencurian benda purbakala di Radya Pustaka Solo masih belum selesai.
Kasus kematian arkeologi senior diindikasikan sebagai pembunuhan...tidak adanya luka yg terdapat pd korban kecelakaan namun lehernya patah yg menurut ketua team forensik Sardjito bisa karena 3 hal : terbentur, dipukul atau dipuntir.
Dari hasil investigasi dan wawancara, majalah Tempo lebih lebih setuju pada kemungkinan ke 3 yaitu leher korban dipuntir.
Masalahnya, jika mau Polisi dengan mudah bisa melacak identitas pembunuh berdasarkan keterangan seorang pembantu rumah tangga yang kebetulan mendengar bunyi mencurigakan saat kematian sang Arkeolog. Nampaknya kasus ini sengaja dihilangkan.
Ada yang menduga pembunuhan itu dilakukan oleh Runner atau dalam dunia arkeologi dikenal sbg makelar. Tugas Runner memastikan barang aman dari penjual sampai diterima kolektor, jadi ia melakukan semua tugas lapangan dari mencari barang, memalsukan dokumen, menyuap sampai membersihkan pihak2 yg berniat menghalangi.
Tempo juga menulis saat BP3 melakukan penelitian didapatlah fakta dari 85 koleksi arca perunggu di museum Radya Pustaka hanya 33 yang asli........wah..wah...
kabarnya di pasar Triwindu Solo juga terselip artefak asli diantara yg imitasi..berarti terang terangan dong.....
Ada wawancara dg PB XIII, menurutnya barang2 bersejarah peninggalan wangsa sebelumnya yang ada di pura Mangkunegaran sudah habis, justru di karaton Solo inilah, artefak dan barang bersejarah itu masih terhitung komplet.
Menurutnya merupakan hak keluarga Raja utk menjual barang barang peninggalan keluarga karena menurut hukum internasional Raja punya hak prerogatif....hmmm..apa iya? sptnya aku hrs buka buku nih...
Subsidi pemerintah yg hanya Rp 1,1 m setahun dinilai kurang utk memelihara warisan sejarah yg tidak ternilai. Sementara keluarga karaton tidak semuanya mampu secara finansial utk memelihara keutuhan peninggalan kerajaan yang merupakan bagian dari warisan imperium masa silam.
Beban yang ditanggung pihak karaton memang sangat berat, disaat pemasukan kerajaan tua itu hanya didapat dari karcis masuk dan subsidi sekedarnya dr pemerintah disisi lain ada ratusan abdi dalem yang harus digaji, pemeliharaan bangunan, pusaka, upacara2 yang menghabiskan dana milyaran rupiah pertahunnya.
Tak heran banyak pihak keluarga maupun abdi dalem yang gelap mata, didesak oleh kebutuhan hidup.
Nampaknya pemerintah tidak boleh menutup mata atas kenyataan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar