TWITTER

11 Februari 2018

Tegal dan Teh



Bermula dari ajakan untuk membantu penelitian teh yang sedang dilakukan oleh  seorang rekan dan tampaknya menarik sehingga perjalanan ini dilakukan.

Dengan menumpang kereta ekonomi plus Tegal Bahari yang cukup nyaman dan tepat waktu, kami menuju Tegal.  Kota Tegal sendiri walaupun akrab di telinga namun selama ini saya hanya sekedar melewati dan belum pernah menyinggahinya sama sekali .

Tegal yang dilewati rute jalan Anyer - Panarukan yang digagas oleh Daendels kini dikenal karena produksi tehnya, selain warteg yang bertebaran di seantero Jakarta.  Tercatat pabrik teh Tong Tji, teh 2 Tang dan teh Poci berada di kota serta kabupaten Tegal.

Jika ingatan bergeser ke tahun 1945, Tegal yang masuk dalam Karesidenan Pekalongan sempat membara saat peristiwa Tiga Daerah terjadi dan meninggalkan kenangan pahit bagi Raden Ayu Kardinah, adik bungsu RA Kartini.

Saat gejolak revolusi yang mengikuti proklamasi kemerdekaan RI, Tegal, Brebes dan Pekalongan menjadi daerah-daerah yang rentan dengan kekacauan. Euphoria rakyat akan pemerintahan sendiri yang bebas dari unsur asing dan feodalisme menjadi pendorong untuk sesegera mungkin mencopot jabatan di pemerintahan yang banyak didominasi oleh kalangan ningrat turun temurun.

Suami Kardinah, RM Haryono adalah Bupati Tegal yang mulai menjabat pada tahun 1908.  Di tahun 1945, menantu Kardinah yang bernama Sunarjo adalah bupati Tegal saat itu.

Kardinah selama menyertai suaminya menjabat sebagai Bupati banyak berbuat untuk bidang pendidikan.  Ia juga membangun rumah sakit dan juga rumah penampungan untuk orang miskin.

Sayang seribu sayang, amal perbuatan yang telah dilakukan Kardinah tampaknya terhapus dari memori masyarakat Tegal puluhan tahun sesudahnya.

Saat sekelompok orang menyerbu kediaman menantunya, Kardinah yang kebetulan sedang berkunjung tak bisa menghindar.  Tak seorang pun dari para penyerbu itu ingat akan Kardinah, tokoh wanita yang amat dihormati sekaligus adik kandung Kartini.  Ia sempat diarak massa, namun akhirnya dapat diselamatkan dan mengungsi ke luar kota, kabarnya ke Solo.

Di Tegal kini hanya tersisa rumah sakit kecil yang didirikan oleh Kardinah dan menjadi RSUD dengan nama RSUD Kardinah.  Rumah Kardinah pun sudah berganti rupa menjadi gedung komersial, demikian rekan yang menyambut kami di Tegal menunjukkan sebuah bangunan.

Malam ini kami menginap di sebuah hotel yang menjuluki dirinya sebagai Eco hotel, hotel yang ramah lingkungan di tepi jalur Pantura, agak di luar kota Tegal.  Hotel tersebut dikelilingi oleh karaoke dan panti pijat yang berada dalam komplek Nirmala, tapi sejauh ini tidak ada yang aneh-aneh.

Kembali ke soal teh.  Berbeda dengan tembakau yang di beberapa daerah penghasilnya dapat dengan mudah ditemukan rokok-rokok dengan merk lokal; ternyata tidak demikian dengan teh.  Kami tidak menemukan teh-teh dalam kemasan lokal kedaerahan melainkan sudah di-pak dengan merk terkenal seperti Tong Tji dan 2 Tang.

Penasaran, malamnya kami pergi ke beberapa tempat makan untuk melihat bagaimana kedudukan teh dalam masyarakat.  Satu kedai kopi yang bernama Wiji Kopi, dengan tempat kecil namun nyaman di daftar menunya menyajikan teh, namun saat ditanyakan ternyata mereka sedang kehabisan teh dari pemasok.  Teh yang disajikan adalah teh Jepang.  Saat ditanyakan mengapa mereka tidak menyediakan teh lokal dari perkebunan setempat.  Jawabannya cukup mencengangkan, ternyata kualitas teh lokal dianggap tidak memenuhi syarat, banyak campuran batang.

Di kafe lainnya yang cukup kondang, seperti kafe Yaul, teh tradisional yang disajikan memakai merk Tong Tji dengan poci khas Tegal.  Tidak ada yang istimewa.

Besoknya kami mencari perkebunan melati di daerah Maribaya.  Ternyata tidak banyak warga kota Tegal yang "ngeh" dengan keberadaan kebun melati ini.  Letaknya padahal tidak jauh dari kabupaten Tegal di jalur Pantura.  Para pelintas sepanjang jalur Pantura umumnya tidak sadar akan keberadaan kebun melati di sisi jalan.

Ke situlah kami menuju, sebuah kebun kecil yang diselingi oleh kebun jagung.  Seorang perempuan paruh baya sedang membungkuk memetiki putik melati.  Sebut saja namanya Rasminah.  Rasminah sudah beberapa tahun ini menjadi petani melati.  di lahan yang luasnya sekitar 100 meter itu ia merawat tanaman melatinya.


Namun Rasminah bukanlah pemilik tanah.  Ia mengaku hanya pinjam lahan untuk menanam.  Pemilik lahan tidak menarik sewa atas tanahnya.  Rasminah mengaku ia hanya membagi keuntungan, itupun bila harga pasaran sedang bagus.

Menurut Rasminah harga melati per kg memang cukup tinggi bisa mencapai di atas Rp 50.000/kg, namun bisa melorot menjadi hanya Rp 15.000/kg di kala stock melati di pasaran melimpah, seperti pada hari raya.  Ia juga masih harus mengeluarkan ongkos untuk membeli garam yang ditaburkan di atas tanah saat melati ditanam.  Paling tidak dibutuhkan sekitar 30 kg garam/bulan, di luar obat-obatan lainnya.

Dari Rasminah pula kami diberi tahu bahwa masih ada kebum melati lagi yang letaknya jauh masuk ke dalam kampung namun masih di desa Sidoharjo juga.  Di sana terlihat kebun melati yang cukup luas dengan latar jalur kereta api, beberapa perempuan sedang sibuk memetiki melati.

Sang pemilik lahan sedang berada di dalam gubuk di tengah kebun dan bersedia mengobrol dengan kami.  Dari pengakuannya bertani melati lebih menguntungkan dari padi.  Perawatannya mudah, panen tiap hari sehingga perputaran uang amat lancar.  Harga melati pagi tadi mencapai Rp 80.000/kg.  Dengan lahan seluas kurang lebih 1 hektar bisa menghasilkan 60 kg melati, tiap hari.


Khumeidi, pemilik lahan memberikan upah kepada para pekerjanya berdasarkan berapa mangkuk berisi melati yang berhasil dipetik yang disebut "cemong".  Butuh 6-7 cemong untuk mendapatkan 1 kg melati.  1 cemong dihargai Rp 600 s/d 1000. tergantung fluktuasi harga.

Melati dari lahan Khumeidi kebanyakan diekspor seperti ke Jepang, lalu ke pabrik teh dan perias pengantin.  Ia mengingat kilas balik saat kebutuhan akan melati luar biasa banyak yaitu saat ibu Tien Soeharto wafat belasan tahun silam.  Melati nyaris langka karena diborong untuk kebutuhan pemakaman pada masa itu.


TEH DI SEMUGIH
Perkebunan teh Semugih adalah sasaran selanjutnya.  Sayang kami hanya bisa melihat pabrik pengolahan teh tanpa bisa mengambil gambar karena masih belum mengantungi izin.  Ditemani manager pabrik kami berkeliling pabrik melihat proses produksi.  Pabrik Semugih ini mengolah kurang lebih 10 ton daun teh per hari.  Teh yang dihasilkan disesuaikan dengan kebutuhan pasar.  Yang untuk ekspor terlihat halus dan terdiri dari daun teh saja, sedangkan untuk kebutuhan umum ada campuran batang.  Pabrik teh di Tegal seperti Sosro dan 2 Tang juga mengambil stock dari Semugih untuk kemudian dioplos lagi sesuai keinginan.


Ya, teh Indonesia memang rata-rata dioplos sehingga agak susah mencari ciri khasnya, mungkin istilah Nasgitel (panas, legi,  kentel) cocok untuk teh Indonesia tapi teh merk asing seperti English Breakfast juga mempunyai ciri-ciri nasgitel.

Selain melati, kabarnya bunga kamboja juga dapat digunakan sebagai campuran teh.  Menurut supir yang mengantar kami, biasanya para pengumpul kamboja datang sore hari di sekitar makam untuk memunguti bunga kamboja yang telah gugur karena terlarang untuk memetik bunga kamboja dari pohonnya.



Sayang cerita ini belum dapat kami konfirmasikan lebih jauh karena saat kembali ke kota dan melewati makam hari sudah gelap.


PABRIK GULA
Ada beberapa pabrik gula di kabupaten Tegal seperti pabrik gula Pangka dan Jatibarang.  Pabrik Pangka masih full beroperasi sedangkan yang Jatibarang tahun 2018 ini akan stop menggiling tebu, jadi mereka hanya akan menghabiskan stock yang ada.



Di sekitar pabrik gula terdapat rumah-rumah bergaya kolonial yang merupakan aset pabrik.  seperti Rumah Besaran yang sering digunakan untuk pertemuan dan rumah tinggal biasa yang masih dihuni.








RUMAH KUNO
Di Tegal banyak ditemukan arsitektur bergaya Belanda.  Salah satunya rumah besar yang berada di pusat kota Tegal.  Dibeli oleh pemiliknya sejak tahun 1996.  Sebelumnya gedung ini merupakan kantor Veteran.



Kondisi luar masih bagus namun bagian dalamnya perlu banyak perhatian.  Saat ini ada beberapa keluarga yang menghuni rumah ini, mungkin sekitar 16 orang yang tinggal di situ.

Tidak semua rumah kuno dalam kondisi rusak.  Bersebelahan dengan rumah besar bekas kantor Veteran tersebut terdapat rumah dengan arsitektur  hampir sama hanya lebih kecil yang amat sangat terawat dan dijadikan rumah tinggal.  

Dalam lingkungan stasiun terdapat gedung SCS yang sempat disewa untuk universitas.  Kondisi di dalamnya amatlah baik dan terawat.  Kuda-kuda penyokong atap bangunan tampak sangat kokoh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar