30 Maret 2017

Yang Muda Yang Menggali Sejarah


Sabtu Sore, halaman depan kantor penerbit Komunitas Bambu di Beji-Depok yang tidak seberapa luas itu penuh sesak dengan kehadiran anak-anak muda.

Di depan terdapat satu meja penuh buku-buku yang akan dijual.  Salah satunya adalah tentang Njoto, salah satu tokoh  penting PKI di samping DN Aidit yang ditulis oleh Fadrik Aziz Firdausi.  Di sisi kanan terdapat meja dengan minuman teh, kopi dan pisang goreng untuk yang hadir.

Ada beberapa orang pria dengan usia tergolong senior sedang berbincang-bincang, salah satunya adalah sejarawan senior Peter Kasenda.  Yang namanya Fadrik pastilah salah satu teman berbincang beliau.

Yang hadir segera mengambil tempat duduk saat moderator sekaligus MC mengumumkan acara bedah buku akan dimulai. 

Seorang anak muda bertubuh kurus dan berkacamata ikut duduk di samping moderator, ternyata itulah Fadrik Aziz Firdausi, sang penulis. Pemuda kelahiran 1991 itu duduk di sebelah sejarawan senior mengesankan kelahiran generasi sejarawan muda yang turut memberi warna terhadap tafsir sejarah.


Menjadi semakin menarik karena penulis ini berlatar belakang Nahdlatul Ulama yang sebelum peristiwa 1965 banyak terlibat konflik dengan PKI.
Cerita-cerita tentang konflik itulah yang membuatnya tertarik untuk menggali lebih dalam tokoh-tokohnya.  Dan, Njoto yang menjadi pilihannya.  Judul yang dipilih adalah Njoto: Biografi Pemikiran 1951-1965

16 Maret 2017

Saat Dokter Tentara Menjadi Gubernur


"Biar berapa miliar pun mereka  bayar saya, saya tidak mau jadi gubernur di sini" demikian Azwar Anas yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat berkomentar tanpa basa basi saat diajak meninjau Nusa Tenggara Timur.
Nusa Tenggara Timur (NTT), dulunya merupakan bagian dari Sunda Kecil yang baru diberi mandat untuk menjadi provinsi sendiri pada tahun 1958 merupakan daerah yang amat miskin.  NTT mepunyai puluhan suku dan bahasa yang kadang begitu berbeda sehingga komunikasi antar suku menjadi terkendala.
Ada anekdot getir yang memplesetkan NTT menjadi Nusa (S)engsara Timur, Nanti Tuhan Tolong, Nasib Tak Tentu, menggambarkan betapa provinsi ini seakan ditakdirkan menjadi tanah penderitaan bagi warganya karena topografi yang ekstrim, terbatasnya akses ekonomi dan pendidikan, musim kering yang panjang dan kendala kultural