20 Juli 2016

Punahnya Tradisi Intelektual

Seperti yang telah diketahui umum, tradisi ilmu pengetahuan yang mengakar sangat berperan penting terhadap perkembangan masyarakatnya.  Seperti dunia Islam pada masa kekalifahan dinasti Abbasiyah yang mencapai puncak kegemilangan justru karena ilmu pengetahuan benar-benar dihargai.  Kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan, Bait al Hikmah didirikan.  Tradisi menghormati ilmu pengetahuan yang demikian membuat dunia Islam surplus cendikiawan, dari dokter, ahli teknik sampai ahli fiqih semua berkumpul di Baghdad.

Kala Eropa masih bergelut dengan pengusiran setan ala gereja, Dunia Islam sudah memamerkan kemampuan berlogika.  Namun sayang seiring dengan runtuhnya dinasti Abassiyah, tradisi intelektual ini surut bahkan nyaris hilang.  Penghancuran Bait Al Hikmah, perpustakaan megah di Baghdad oleh Hulagu Khan, pemimpin bala tentara Mongol sepertinya menjadi faktor pemicu menjauhnya ilmu pengetahuan.  Sementara Eropa perlahan merangkak meninggalkan masa kegelapan dan menyerap tradisi yang semula dimiliki umat Islam

Di Indonesia sendiri, pembaharuan tradisi pengajaran dengan menggabungkan metode barat dipelopori salah satunya oleh ulama Muhamadiyah, KH Ahmad Dahlan.  Langkah ini terbukti jitu memajukan pendidikan pada masa itu.  Abad ke 20 para intelektual pribumi bermunculan, salah satunya juga berkat politik etis yang dijalankan pemerintah kolonial pada masa itu.

Monumen penghargaan terhadap jasa mereka dapat dilihat di buku-buku sejarah, patung bahkan film untuk beberapa tokoh tertentu.  Tapi apakah semua penghargaan itu juga sekaligus pertanda  tradisi intelektual yang dipunyai para tokoh tersebut diwariskan? belum tentu.

Dalam perjalanan selanjutnya yang berkembang adalah kepopuleran atau lebih parah lagi ke-eksis-an seseorang.  Tak heran bila "Vickinisasi"sempat populer, merangkai kalimat ala Vicki, mantan pacar pedangdut Zaskia Gotic.  Atau mantan asisten Farhat Abbas yang mendadak tenar gara-gara memacari Farhat Abbas sehingga Farhat menceraikan Nia Daniati.

Belum lagi acara-acara macam "Alayers" atau berantem-beranteman orang pacaran yang di-shoot kamera.

Saat mengurusi pameran Jalur Rempah tahun lalu, kami sebagai team content tentu harus selalu berhubungan dengan narasumber yang terdiri dari sejarawan, arkeolog dan antropolog.  Selain membimbing, meminjamkan buku-buku dan selalu bersedia ditanyai macam-macam, mereka juga menjadi pembicara di acara berbagi, membagikan pengetahuan mereka pada khalayak umum. Dengan tugas dan keahlian yang mumpuni.

Berapa honor mereka?  Saya hampir menangis saat menyerahkan amplop kepada bapak dan ibu, profesor dan doktor itu.  Malu dan jengkel, bagaimana tidak, sesuai aturan ternyata honor mereka berkisar antara Rp 1.000.000,- s/d 1.500.000.  Tidak sebanding dengan keahlian dan jerih payah dalam membantu suksesnya program ini.  Sementara artis yang berfungsi hanya sebagai icon, well, gak ngaruh sih sebenarnya ada artis atau nggak, wong cuma senyum-senyum doang di acara pembukaan, honornya bisa puluhan kali lipat.

Pameran Para Pemelihara