17 April 2015

Film TJOKRO: Kala Teks Menjadi Film

Saat teks sejarah menjadi lakon, apa yang terjadi?

Bukan pekerjaan main-main memang saat memindahkan hidup seorang tokoh sejarah, apalagi sekelas Tjokroaminoto dari tulisan ke panggung bioskop.  Dalam lembar-lembar buku riwayat Tjokro dengan pergerakan Sarekat Islam-nya sanggup membius para penikmat sejarah. Dan saya adalah salah satu penikmat itu.

Saat tokoh Tjokro dihidupkan, mau tidak mau para pembaca harus menyiapkan diri menerima apa pun hasil interpretasi sutradara. 

Dan hasilnya dapat dilihat mulai tanggal 9 April lalu di bioskop.  Garin Nugroho sang sutradara yang sebelumnya pernah memfilmkan Kardinal Soegijapranata akhirnya tinggal menunggu tanggapan dari masyarakat tentang hasil pembacaannya atas Tjokro.  

Sejak melihat trailernya saya berharap-harap cemas akan film ini.  Saya menduga Garin akan menggarap Tjokro tak beda jauh dengan gayanya dalam Soegija.

Dua jam 40 menit.  

06 April 2015

Sekali Lagi Banten: Dari Kacamata Filologi

Laki-laki bertubuh kurus dengan kulit gelap, cambang dan brewok menghiasi wajahnya ditambah dengan rambut agak gondrong telah menunggu saya dan rombongan di halaman museum kepurbakalaan Banten lama.  Museum ini tutup karena tanggal merah, namun sebelumnya saya sudah berkoordinasi dengan pengurus museum agar menemui pak Mulangkara, juru pelihara keraton Kaibon yang selanjutnya akan mendampingi kami ke situs-situs purbakala Banten.

Pak Yadi, demikian saya menebak orang yang direkomendasikan oleh Bantenologi Laboratorium. Setelah dekat tak sengaja saya melirik kakinya yang hanya memakai sendal lusuh.  Orang ini ahli filologi, seorang filolog demikian saya mengingat pesan dari pak Ayatullah dari Bantenologi, berusaha menghapus keraguan sesaat.

Di bawah pohon Bidara

Tergesa-gesa saya dan mbak Ratih memperkenalkan rombongan, ada yang dari Jakarta Post, Pendidikan dan Kebudayaan dan radio.

Tanpa membuang waktu pak Yadi segera membahas Banten sebagai pusat perdagangan lada di abad silam sambil menuju bekas istana Surosowan dengan menembus lapak-lapak jualan yang berderet rapat sepanjang jalan antara museum sampai masjid.